Setelah sebelas tahun ini untuk pertama kalinya kembali berkhutbah di tapal batas, balik gunung. Momennya juga tepat sama sama khutbah Idul Adha. Jika sebelas tahun yang lalu di kelurahan Gambesi, maka tahun ini di kelurahan Ngade. Masjid Annur Ngade berada tepat di sebelah laguna. Kalau pembaca melihat pemandangan tiga pulau kecil berbentuk gunung di birunya laut, pemandangan dari atas bukit yang didahului oleh laguna, maka itulah tempat saya maksudkan dengan kelurahan Ngade, disebutnya Ngade puncak. Masjid An-Nur di Ngade pantainya.
Masyarakat Ternate punya sebutan perkampungan di balik gunung. Sebagaimana kita mafhum pulau Ternate di puncaki dengan gunung Gamalama di tengah tengah. Pusat pemerintahan, fasilitas publik dan tempat tempat keramaian berada di pulau pada sisi sebelah timur, kiblatnya mengarah ke gunung. Sedangkan di sisi barat, daerah perbukitan dengan pantai kebanyakan bertebing dan arah guguran lahar dan lava mengalir disebut sebagai balik gunung.
Karena medannya yang sulit, bertebing menghadap ke laut lepas, sehingga hanya sedikit penduduk Ternate yang tinggal di wilayah itu. Dengan sendirinya wilayah balik gunung kurang berkembang. Sementara sisi timur pulau Ternate penduduknya padat dengan berbagai fasilitas publik perkotaan yang semakin maju. Karena sisi barat yang masih alami dan cenderung sunyi sebenarnya cocok untuk tinggal bagi yang tidak suka dengan keramaian. Tapi karena Ternate ini sudah pulau dan kota yang tenang, mengapa juga cari tempat yang lebih sunyi lagi?
Tema khutbah saya kali ini bertema literasi dalam arti luas, biasanya saya selalu membawakan tema terkait ekonomi syari’ah. Seakan akan ekonomi syari’ah menjadi topik utama khutbah saya, baik pada khutbah Jum’at maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun bertema literasi tetapi kali ini tetap dikaitkan dengan literasi ekonomi syari’ah. Apa hubungannya idul adha dengan literasi?
Ibadah Kurban sebagaimana disampaikan dalam QS 51:56 adalah ditujukan untuk mengingatkan kaum muslimin, orang orang yang beriman pada tujuan hidupnya yaitu semata untuk beribadah kepada Allah Swt. Kurban dimaksudkan sebagai ujian ketaqwaan, kepatuhan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah. Literasi adalah pintu gerbang untuk menjangkau, memahami perintah dan larangan Tuhan sebagai jalan menuju ketaqwaan. Tanpa literasi manusia berada dalam kegelapan.
Literasi adalah jalan menuju cahaya kebenaran, suluh pengetahuan. Pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai masyarakat literasi jauh lebih besar daripada pengorbanan untuk pemenuhan kebutuhan perut. Di dalam masyarakat yang sudah kelebihan gizi, maka penyakit yang muncul dalam masyarakat modern justru kelebihan gizi. Maka perngorbanan untuk memajukan pengetahuan terus selalu harus diingatkan melalui momen Idul Adha/Idul Qurban.
Kurban mengandung makna simpul solidaritas sosial. Kaum muslimin diperintahkan mematikan ego, mementingkan diri sendiri, sekaligus menumbuhkan kepekaan sosial. Kurban memerintahkan kita berubah dari berpusat kepada diri sendiri menjadi untuk kepentingan orang lain atau kepentingan sesama mahluk Allah. Kurban dari kata qurban, taqaruban yang berarti mendekatkan diri. Yaitu mendekatkan diri orang orang beriman kepada Tuhan Nya, dengan cara mematikan dan mengasampingkan individualismenya dengan menyerahkan hewan kurban untuk disembelih dan dibagikan kepada orang orang yang membutuhkan. Bukan darah dan daging kurban yang sampai kepada Tuhan, tetapi ketaqwaan dan kepatuhan yang menjadi esensi pokok/nilai inti dari ibadah kurban.
Titik temu kurban dengan literasi adalah kepatuhan kepada Allah Swt. Literasi adalah perintah pertama dalam wahyu Tuhan kepada Nabi ahir zaman. Iqra’, bacalah adalah perintah untuk memasuki dalam dunia pengetahuan. Esensi dari semua gerakan pendidikan adalah literasi. Membaca adalah pintu gerbang literasi. Melalui membaca orang mempunyai perspektif baru, mempraktikannya, mengembangkannya kemudian menulisnya dalam sebuah karya. Proses yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat.
Dalam gerakan literasi nasional misalnya, mencanangkan enam literasi dasar yang wajib dikembangkan. Enam literasi itu diantaranya literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.
Umat Islam tidak bisa buta sejarah dan menafikan bahwa dalam berekonomi, umat Islam bersentuhan dengan keuangan, dan literasi finansial syari’ah atau literasi keuangan syari’ah. Kalau pengetahuan dan kesadaran ini tidak menjadi keseharian kehidupan keuangan orang Islam, maka orang orang yang berpengetahuan, para alim, para ahli hukum Islam, para pelaku ekonomi syari’ah yang tidak memberikan suluh penerangan dengan mewujudkan literasi keuangan syari’ah, menanggung dosa.
Karena itu literasi dan lebih husus literasi keuangan syari’ah tidak lagi sifatnya fardhu kifayah, tapi sudah menjadi fardhu ain. Kewajiban semua ummat Islam untuk menggelorakan literasi keuangan syari’ah, karena literasi inilah yang mendekatkan diri kita kepada taqwa. Taqwa dalam arti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya.
Larangan Allah Swt terhadap muamalah maliyah, atau aktifitas ekonomi adalah menghilangkan unsur riba, gharar, maysir dan dhalim dalam kegiatan keuangan. Keuangan yang mengandung unsur riba harus diketahui oleh khalayak bentuk dan cirinya. Umat Islam yang tidak tahu membedakan transaksi riba dengan yang syar’i berarti belum syari’ah financial literete. Demikian pula maysir (gambling) , gharar (tidak pasti) dan dhalim (tidak pada tempatnya) harus menjadi pengetahuan umum umat Islam. Kesadaran dan pemahaman ini hanya bisa dilakukan melalui literasi yang terencana, masif dan berkesinambungan.
Qurban atau ihtiar mendekatkan diri kepada Allah melalui literasi adalah pengorbanan yang lebih besar dan menyentuh substansi kurban yang lebih esensial. Semangat kurban yang diejawentahkan dalam semangat literasi sesungguhnya adalah mewujudkan ketaqwaan yang lebih relevan dengan kebutuhan umat Islam Indonesia pada ahir ahir ini.
Mengapa umat Islam Indonesia selalu terlilit dalam kemiskinan, berada dalam lingkaran masalah yang tidak berkesudahan dan tidak bisa menaikkan peradaban? Salah satu sebab utamanya adalah dalam segala segi kehidupan umat Islam tidak menjadikan al-Qur’an dan spirit dan nilai nilai pengetahuan yang terkandung di dalamnya sebagai praktik sehari hari. Masyarakat non muslim di negara negara maju justru mempraktikkan spirit literasi dan spirit al-Qura’an dalam berpengetahuan.
Spirit literasi menjadi penting bagi umat Islam di Ternate, karena anugerah kekayaan alam tidak kunjung memberikan manfaat diTersebabkan masih dominannya budaya pengetahuan lisan. Budaya yang mempunyai keterbatasan. Kekayaan pengetahuan yang tidak dapat berkembang dan terwariskan dengan lancar dari generasi ke generasi inilah tujuan utama dari pentingnya gerakan literasi di Ternate. Para pengelana barat yang rajin mencatat justru yang menikmati pengetahuan dari negeri rempah ini. Alfred Russel Wallace seorang sarjana yang membuat catatan terhadap beberapa spesies di sebagian besar wilayah nusantara selama delapan tahun. Meskipun bukan seorang ilmuwan biologi, tapi ketekunannya mengantarkan perjalananya sejauh 22.400 kilometer dan mencatat ratusan ribu spesimen fauna. Catatan itu kemudian dibukukan dalam karyanya yang berjudul “The Malay Archipelago”. Kerja kerasnya membuat Wallace mendapat reputasi sebagai naturalis, antropolog dan “Bapak Biogeografi”. Karya itulah yang memberi inspirasi kepada Charles Darwin untuk membuat teori evolusi dalam bukunya yang berjudul “On the Origin of Species”.
Ini pelajaran sangat penting bahwa literasi tulis, merubah dari budaya pengetahuan lisan ke budaya pengetahuan tulis mempunyai perbedaan yang sangat besar bagi pengetahuan dan perkembangan peradaban.
Danau Laguna Ngade
31 Juli 2020
#82
Wah dapat ang pao dong.Meski di kaki bukit, literasi digelorakan.
BalasHapusPokoknya bercahaya pak Doktor, seperti nama masjidnya AN NUR. Nurun fawqa nurin.πππ
BalasHapusNek disampaikan neng nggonku koyone temane rodok kemetiten pakππ
BalasHapusTema menyesuaikan dg audiens, bukan audiens menyesuaikan temaππ¬ππ³
BalasHapus