Sabtu, 11 Juli 2020

Ludruk Klangenan


Saat hiburan masyarakat masih terbatas televisi dan radio adalah hiburan terindah. Tidak semua keluarga punya tivi, hanya orang kaya dan beberapa tokoh masyarakat yang memilikinya. Listrik belum ada, jadi tivi monochrome itu hidup menggunakan daya aki, yang harus disetrum ke kota beberapa kilometer jauhnya untuk mendapatkan listrik. Radio menjadi hiburan kebanyakan keluarga. Radio zaman itu masih menggunakan baterei ABC atau eveready, supaya baterei bisa dipakai dalam waktu lama harus sering dijemur. Bersukur kalau ada baterei sisa dari senter/sentolop. Lumayan bisa mendengar radio ramai ramai. Radio menjadi sangat penting kalau sedang jam siaran sandiwara radio Saur Sepuh.

Ludruk merupakan seni peran berbahasa Jawa pasaran atau Madura. Bagi kami yang tinggal di daerah Cak, wilayah tapal kuda, mulai daerah Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Jombang, Mojokerto, Gresik, Surabaya, Sidoarjo Pasuruan, sampai Jember, lebih familiar dengan ludruk daripada wayang. Selain ditampilkan dalam seni pertunjukan di panggung hiburan, lakon ludruk juga biasa disiarkan melalui radio seperti sandiwara radio berbahasa Jawa. Di beberapa acara hajatan setelah dhuhur biasanya yang diputar di kaset dan disiarkan melalui pengeras suara adalah ludruk. Karena saking seringnya diputar kami anak anak hafal alur ceritanya. Lakon Sogol Pendekar Sumur Gemuling atau Sarip Tambakoso sangat kami hafal. 

Ludruk berasal dari kata gela gelo (tolah toleh) dan gedrak gedruk (menghentakkan kaki). Dua gerakan yang dilakukan oleh penari remo. Ada yang berpendapat dari kata molo molo dan gedrak gedruk,  karena penari remo melantunkan kidungan dengan menghentakkan kaki. Menurut Dukut Imam Widodo dalam bukunya : “Surabaya Tempo Doeloe”, kata ludruk diambil dari ucapan pemuda pemuda Belanda ketika akan menonton pertunjukan “Mari kita leuk en druk”, yang penting enjoy, happy sambil nonton. Leuk en Druk, lambat laun diucapkan menjadi ludruk.

Seni ludruk sudah ada sejak 1907 yang dimulai dari istilah lerok, besut, lerok besut dan lerok ludruk. Cak Durasim di tahun 1933 mendirikan Ludruk Organizatie (LO), nama Cak Durasim diabadikan sebagai nama gedung seni di daerah Gentengkali. Di masa inilah ludruk menjadi alat perjuangan melawan Belanda dan Jepang. Seni ludruk ini pernah berkembang pesat. Di era 1980-1990 an ada 104 perkumpulan ludruk di Surabaya, yang cukup populer Ludruk RRI, Ludruk Susana, Ludruk Sidik CS, Ludruk Mandala dan Ludruk Bakotas. Nama nama seniman ludruk yang cukup tenar antara lain Cak Kartolo, Cak Markeso, Cak Baseman dan Marlena.

Jika masyarakat Jawa Tengah punya seni pertunjukan peran Ketoprak, maka Jawa Timur punya Ludruk. Ketoprak membawakan cerita cerita masa lalu berbentuk sejarah/dongeng , yang kadang dimodifikasi seperti ketoprak humor, ludruk mengangkat  lakon  yang dekat dengan realitas sehari hari dalam cara berkomunikasi yang sederhana yang mudah dipahami khalayak. Ludruk dimulai dengan tarian remo solo. Tidak ada aturan yang pakem dalam ludruk, jumlah pemain, jumlah babak dan seterusnya, yang dipentingkan adalah kemampuan para pemain berimprovisasi dari alur cerita yang sudah dibuat. Di sela sela tayangan biasanya disisipkan jula juli, tembang khas ludruk yang diiringi dengan gamelan. Pemain ludruk harus piawai dalam mengemas komunikasi hiburan baik lewat ucapan maupun tingkah laku.

Konon ludruk adalah seni perlawanan terhadap penjajah Belanda. Para pejuang, melakukan propaganda, penyamaran dan mencari nafkah dari seni pertunjukan ini. Tak heran jika sampai dengan era kemerdekaan lakon lakon yang dibawakan tentang perlawanan terhadap Belanda. Para pejuang juga mengajarkan nilai nilai perjuangan, kebaikan dalam ludruk. Bahasa ludruk juga jawa ngoko, bahasa yang paling pasaran, bahasa masyarakat kebanyakan di daerah tapal kuda. Kadang kita merindukan ungkapan ungkapan bahasa jawa ludrukan, untungnya sekarang ada JTV yang melestarikan penggunaan bahasa jawa Suroboyoan atau Jawa Timuran. Bahasa Suroboyoan inilah yang banyak dipakai dalam ludruk sedangkan bahasa  Jawa Mataraman yang banyak dipakai dalam pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang kerap menggunakan bahasa Jawa yang lebih tinggi yaitu kromo inggil dan kawi. Saya juga banyak yang tidak memahami.

Menjelang kepunahan ludruk dari dunia saya, hiburan malam yang paling nikmat adalah mendengar ludruk dari RRI. Ludruk di RRI mengambil lakon cerita yang lebih beragam dan kontemporer, kadang kadang membawa pesan terselubung program keluarga berencana, transmigrasi dan klompencapir.  Siaran seminggu dua kali di hari Senin dan Kamis.  Jam 21.00 WIB sudah mulai pra siaran ada ulasan ulasan, gojlokan, parikan. Masa itu pendengar dan yang menanti siaran itu cukup banyak. Di satu kampung kalau pas bersepeda dari ujung desa ke ujung lainnya beberapa rumah mendengarkan siaran yang sama. Bila lakonnya sangat digemari, ludruk bisa dibuat berseri seri. Setiap siaran rata rata 3 jam. Karena capek, sering lakon masih berlangsung pendengarnya sudah tidur, bangun tidur sudah ganti acara. Nanti cerita yang hilang bisa tanya ke tetangga. Begitu pentingnya ludruk.

Telah sepuluh tahun berlalu, tak pernah lagi mendengar ludruk apalagi menonton. Tiga pemain ludruk yang masih pernah saya dengar dan tonton adalah suami istri Kartolo dan Kartini serta Safari. Tembangan dan dagelan Kartolo masih kadang kadang saya cari di youtube. 

Membandingkan dengan keberadaan ludruk yang semakin terpinggir, saya sering melihat togal juga mempunyai nasib yang kurang lebih sama. Mulai terpinggir dan hanya menjadi hiburan generasi kolonial. Generasi milennial sudah tidak terlalu mengenal kesenian togal. Togal merupakan tarian adat suku Makian dengan syair dan pantun yang diiringi alat musik tifa, fiol dan Saragi. Togal seni yang paling terkenal Di Maluku Utara karena tradisi ini dibawah oleh penduduknya yang sudah berdiaspora hampir di seluruh wilayah Maluku Utara. Togal berasal dari kata “toga” dan “gala”. Toga pakaian para hakim atau widusawan. Gala berarti pesta besar.

Ludruk sebagai mana seni tradisi lainnya juga mengalami tantangan perubahan,  menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau punah, setiap zaman ada seninya, setiap seni ada zamannya.

#62

2 komentar:

  1. Kartolo, baseman, sapari, baseman yang biasa jadi kalah kalahan dan dibully

    BalasHapus
  2. Ludruk cenderung maskulin, walau tdk selalu. Dua perempuan saja yg agak ngetop Kartini dan Marlena.

    BalasHapus