Cara mendidik untuk mencapai kemandirian, mungkin berbeda antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, antar budaya satu dengan budaya lainnya. Sebaiknya usia berapa anak dianggap cukup usia untuk bertanggungjawab pada hidupnya sendiri. Ahir ahir ini, semakin langka kita menemukan para pejuang. Setiap masa ada insan insan ulet yang mampu mentransformasikan hidup mereka menuju strata yang lebih tinggi secara sosial.
Sebutlah seorang mahasiswa baru bernama Indra. Berdarah campuran Bugis Jawa anak ini sedang membentuk jati dirinya. Merantau semakin timur untuk mendapat pendidikan tinggi yang lebih layak. Ia mungkin mewarisi DNA moyangnya yang merantau dari Jawa atau darah Bugisnya juga perantau jauh dari utara di sekitar Cina daratan pada masa prasejarah. Kita patut bersyukur dianugerahi talenta muda di mana mana yang punya semangat juang untuk berubah.
Beberapa mahasiswa mencoba dengan ulet untuk mandiri, dalam hati saya sering haru campur bangga. Pada mereka kita melihat diri kita yang menggeliat dari ketidakberdayaan dengan keteguhan penuh. Sebagian besar tindakan itu didorong oleh keadaan yang serba sulit, tapi tidak semuanya.
Indra sejak mulai masuk bangku kuliah berjuang untuk mendapat bidik misi supaya memperoleh kemudahan, terbebas dari biaya kuliah. Untuk itu dia harus terus menjaga performa prestasinya agar tetap layak untuk mendapat santunan pendidikan dari negara. Untuk biaya hidup rupanya diapun harus mencari pekerjaan. Membantu cuci piring di warung martabak sore hari. Satu ketika saya tegur, mengapa tugas kuliahnya kedodoran. Itu pak saya mencari pekerjaan tambahan di sela sela jam kuliah, karena upah sore tidak cukup untuk biaya hidup.
Saya memakluminya, karena pernah dalam situasi seperti yang dialami Indra. Dia sedang belajar di dua tempat dan untuk dua masa. Indra sedang belajar menghidupi hari harinya sekaligus belajar mempersiapkan hidup di masa depannya. Dia belajar pada kuliah kuliah di dunia nyata yang dosennya adalah masalah, sekaligus belajar di bangku kuliah yang dosennya pendaras teks yang tidak semua mudah dipahaminya.
Dua tahun tidak memperhatikan perkembangannya. Saya agak acuhkan karena sikapnya yang kurang adab. Setelah saya perhatikan lagi. Saya berkesimpulan saya cepat membuat penilaian negatif. Mengapa? Indra mahasiswa mandiri, bertahun tahun tidak bersama orang tua. Dengan daya budinya dia belajar secara otodidak. Semua lingkungan adalah gurunya. Bila keliru langkah, salah tindak itu tidak sepenuhnya salah dia. Seharusnya pemuda pemuda ini bagian tanggungjawab kita. Kita berpikir seragam dan perspektif yang serupa bahwa setiap masalah adalah urusan masing masing.
Masuk tahun keempat sudah terlihat kedewasaan mahasiswa. Mulai saya ajak berbicara sebagai orang tua dengan anak. Ndra bagaimana perkembangan kegiatanmu di luar kampus? Alhamdulillah pak setelah pernah ngojek, membersihkan AC, servis AC, sekarang ini penghasilan usaha semakin stabil. Terlihat dia sudah punya sepeda motor, sebelumnya dia jalan kaki. Ini pak beli motor bekas, lumayanlah untuk membantu gerak saya. Ke mana mana tidak naik ojek atau angkot.
Sekarang lagi jualan minuman di sekolah. Join dengan investor yang membiayai sebagian besar modal. Pengelolan bergantian. Sudah mulai banyak waktu setelah kuliah. Di tahun keempat lebih banyak tugas mandiri, praktik lapangan, kuliah kerja nyata dan penyelesaian tugas akhir. Lumayan sudah bisa nabung. Buat lanjut kuliah S2 atau kawin.
Saya biarkan dia menggambar masa depannya. Dia layak mendapatkan keinginan yang diperjuangkan sejak dia mulai merantau ke Ternate sekaligus kuliah.
Sejarah para pendiri negeri ini, mereka menggelorakan pergerakan menuju Indonesia merdeka di usia belia. Antara umur 20 sampai dengan 30 tahun. Mengapa pemuda pemuda kita pada usia itu masih masih bergantung pada subsidi orang tua. Belum berpikir untuk mandiri.
Setelah wisuda dia pamit. Pak saya mau pulang ke kampung sudah empat tahun tidak bakudapa dengan orang tua. Sekalian mau mengadu nasib jadi abdi negara di kampung halaman. Senyumannya sudah dewasa dan sopan. Lakukanlah yang terbaik, kamu layak mengejar impianmu, pulanglah.
Di satu sore setelah satu tahun berlalu, tiba tiba Indra muncul lagi di kampus. Pak sepertinya saya tidak bisa lepas dari Ternate, biarlah saya cari kerja lagi dengan ijazah sarjana. Sekitar dua bulan kemudia Indra sudah berkutat lagi dengan kesibukan jualan di sekolah sore hari dan paginya bekerja di perusahaan penyedia layanan internet.
Setelah pandemi dia datang dengan senyum merekah. Pak saya diterima sebagai manajer sebuah jaringan ritel toko nasional yang sedang ekspansi bisnis besar besaran di Ternate dan akan menyebar ke pulau pulau di seantero Maluku Utara. Di Ternate sudah ada 21 jaringan yang merata hampir di sekujur kota. Dia tidak sendirian beberapa temannya yang sarjana juga diterima bekerja tapi jadi anak buahnya. Bagaimana ceritanya? Teman teman banyak yang menggunakan ijazah SMA, karena iseng saja. Tidak betul betul mempersiapkan diri bekerja menjadi profesional. Indra menerima gaji dua kali lipat dari teman temannya.
Keberuntungan tidak datang dengan sendirinya. Keberuntungan akan menyertai orang orang yang siap. Indra yang bertahun tahun membangun kepribadian dan etos kerja, ahirnya mendapatkan ganjaran yang setimpal dari semua usahanya. Teman temannya yang lebih mapan ekonomi tidak sekuat usahanya untuk memantaskan diri menjemput taqdirnya.
Selamat Indra. Sunnatullah berlaku dalam setiap keadaan. Proses tak akan menghianati hasil.
Sangaji Ternate
30 Juli 2020
#81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar