Selasa, 07 Juli 2020

Mengembalikan Bank Syari’ah ke Jalurnya (Part 2)


Bank syari’ah yang didirikan tahun 1991 juga memberikan pengaruh signifikan dan strategis pada bidang ekonomi syari’ah di tanah air terutama pada berkembangnya organisasi profesi, perkumpulan dan juga lahirnya perundang undangan.

Organisasi Profesi ekonomi syariah yang memberikan kontribusi pemikiran ekonomi syari’ah di Indonesia diantaranya adalah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Organisasi ini dibentuk untuk mengembangkan pemikiran pemikiran ekonomi syari’ah di Indonesia dan mendeseminasikan melalui perguruan tinggi dan forum forum ilmiah. IAEI  melakukan pengkajian, pengembangan, pendidikan dan sosialisasi ekonomi Islam.  Organisasi profesi ini dideklarasikan 3 Maret 2004  di kampus Universitas Indonesia Salemba, setelah pelaksanaan konvensi nasional ekonomi Islam di istana wakil presiden RI. 

IAEI dideklarasikan oleh para tokoh nasional yang mewakili pihak Bank Indonesia, DSN-MUI, BAZNAS dan lain lain. Yang menjabat Ketua umum IAEI sejak periode pertama antara lain Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, Prof. Bambang Brojonegoro, dan Sri Mulyani Indrawati, Ph.D.

Sebelumnya juga lahir organisasi perkumpulan Masyarakat Ekonomi Syari’ah (MES). Keanggotaan MES lebih beragam yaitu perorangan, lembaga keuangan, lembaga kajian dan badan usaha yang tertarik untuk mengembangkan ekonomi syariah. Organisasi lahir sebagai upaya membumikan ekonomi syari’ah. MES berdiri di Jakarta, pada 1 Muharram 1422 H atau 21 Maret 2001 M. Banyak yang sudah dikerjakan organisasi terutama kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk menghasilkan inovasi kelembagaan, inovasi produk keuangan, inovasi ijtihad dalam persoalan persoalan praktis, program program kerja yang membangun kesadaran di tingkat akar rumput, dan seterusnya.

Organisasi profesi dan perkumpulan inilah yang memprakarsai pendirian bank bank syari’ah dan lembaga keuangan mikro syari’ah di daerah daerah. Beberapa BPRS di Ternate dan Baytul mal wa tamwil di Maluku Utara dan Ternate adalah berkat kerjasama MES dengan pemerintah daerah dan penggiat ekonomi syari’ah. Hal ini juga terjadi di beberapa kota dan daerah lain.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengadopsi hukum ekonomi Islam dalam sistem perekonomian Indonesia. Selain UU perbankan Syari’ah, ada UU Zakat, UU Wakaf, UU Koperasi (yang didalamnya mengakomodasi koperasi syari’ah), UU Lembaga Keuangan Mikro (yang didalamnya mengakomodasi Lembaga Keuangan Mikro syari’ah).

UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999, disempurnakan menjadi UU Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011. Perkembangan UU Zakat ini memberikan perluasan manajemen zakat baik yang dikelola oleh badan pemerintah maupun yang dikelola oleh organisasi non pemerintah. Ekonomi zakat juga berkembang pesat sejak hadirnya UU ini. Regulasi ini memberikan dampak efektifitas dan efisiensi serta optimalisasi penghimpunan dan pengelolaan zakat. Dana zakat yang dihimpun oleh lembaga lembaga pengelola zakat setara bahkan bisa lebih besar daripada dana haji yang selama ini menjadi incaran banyak pihak. Yang lebih menggembirakan potensi zakat juga berkembang terus sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dana zakat bisa menjadi kluster ekonomi Islam tersendiri.

Bank Syari’ah melaksanakan praktik perbankan syari’ah untuk pertama kalinya menggunakan UU nomor 7 tentang perbankan yang kemudian disempurnakan oleh UU nomor 10 tahun 1998. Bank syari’ah mendasarkan pada pasal 1 ayat 1 dan ayat 12. Perbankan syari’ah mengambil inisiatif memberikan pembiayaan dengan sistem bagi hasil, karena di ayat 12 pasal 1 di UU tersebut, membolehkan bank menyalurkan kredit dengan cara bagi hasil. Inilah yang membuat masih tertanama dalam benak halayak bahwa bank syari’ah adalah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Sedangkan pemahaman sekarang yang seharusnya sebagaimana termaktub dalam UU Perbankan Syari’ah nomor 21 tahun 2008, bank syari’ah adalah bank berdasarkan prinsip prinsip syari’ah.

Perundang undangan wakaf juga merupakan pengaruh dari munculnya perbankan syari’ah dan geliat ekonomi syari’ah. UU nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf . Tujuan dari UU ini adalah meningkatkan tata kelola wakaf sehingga harta/asset wakaf mempunyai dampak yang lebih baik dalam pelaksanaan ibadah maupun peningkatan kesejahteraan umum menurut syari’at. Bila dalam pengelolaan Zakat muncul Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), maka di dalam pengelolaan wakaf ada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

UU wakaf telah beberapa kali mengalami perubahan peraturan pemerintah. Pertama ada Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Selanjutnya Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2018 tentang pelaksanaan UU nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Perubahan perubahan itu menunjukkan dinamika ekonomi dalam pengelolaan wakaf dan respon pemerintah yang cukup sigap dalam memberikan solusi peraturan dan perundang undangan.

Itulah sebagian dampak positif dari keberadaan bank syari’ah di Indonesia terhadap perkembangan praktik, wacana dan legislasi hukum Islam. Apakah penting dan bermanfaat keberadaan bank syari’ah? Inilah rangkaian kedua dari tulisan yang berusaha melihat peran dan kiprah bank syari’ah, sebelum kita sampai pada kritik kita terhadap bank syari’ah.

#58

6 komentar:

  1. Catatan berkelas. Informatif. Bermanfaat.

    BalasHapus
  2. Suwun pak Doktor, sudah membangun spirit literasi. Manfaatnya sudah kami rasakan.

    BalasHapus
  3. Nderek sinau pak, mudeng gak mudeng tak jejel jejelne neng njero utekku, mugo mugo manfaat👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti bahasane perlu disederhanakan menjadi bahasa semesta ya pak. Dicoba supaya bukunya nanti bisa menjadi pop ilmiah.

      Hapus
  4. Sudah agak mulai nampak, hari-hari baik ekonomu yg berkeadilan; perbankan syariah, ekonomi syariah yg berkelas...

    BalasHapus
  5. Masih menyusun materi demi materi supaya menjadi buku kajian bank syari'ah edisi kritis. Agar bank syariah lebih 'maqashidi'

    BalasHapus