Batu seukuran avanza di depan pintu, seakan mau bertamu, tertunduk lesu setelah menghantam tembok pojok rumah. Bangunan dapur lebih dulu lenyap, tersapu banjir. Pasir setinggi satu meter menenuhi dalam rumah. Daun pintu dan jendela roboh, berserakan. Tidak ada lagi barang tersisa di dalam rumah. Seperti medan perang, tanpa darah dan api, porak poranda. Lemari lemari buku dan semua meubeler rumah raib, tersisa kulkas dan mesin cuci teronggok ratusan meter dari rumah yang lunglai.
Hujan gerimis, membuat situasi makin muram, langit masih gelap tak ada tanda kehidupan. Sudah tidak ada lagi yang dapat diselamatkan. Ribuan buku itu terkubur di mana, juga sulit dijelaskan.
Tinggal di seputar gunung berapi aktif, harus siap dengan segala konskuensi. Menerima kebaikannya, juga murkanya. Gunung Gamalama yang meletus di bulan Oktober sebelumnya, memang terasa aneh. Yang dihawatirkan adalah lahar pijar membentuk padang luas berwarna hitam, lahar yang membatu. Masyarakat Ternate menyebutnya batu angus. Guguran material gunung yang menumpuk diatas bukit jutaan kubik tidak diperkirakan kalau jebol dan menutup sungai mati/barangka hampir di seluruh penjuru aliran sungai dari puncak gunung.
Sebelum lahar dingin meluluh lantakkan pabrik di sebelah rumah Tubo, banjir material ini telah merusak beberapa rumah di bagian atas agak jauh. Banjir bandang yang sangat besar, penduduknya sudah diungsikan ke rumah rumah penampungan. Selang beberapa bulan lahar dingin juga menerjang pemukiman yang lebih jauh lagi di arah Dufa Dufa. Banyak rumah terkubur, bahkan banyak korban Jiwa yang terseret jasadnya ke laut dan tidak pernah ditemukan lagi.
Banjir bandang, lahar dingin yang merobohkan rumah Tubo ini adalah bencana ketiga di musim letusan gunung yang sama. Karena besarnya kandungan material yang tertahan di puncak gunung mungkin ratusan tahun. Bebannya semakin berat ketika hujan turun deras di puncak gunung berhari hari. Setelah dua kali banjir, semua sungai jalur material sudah penuh, maka material besar terahir yang besar meluncur dari puncak gunung, belok ke kiri menerjang pemukiman yang seharusnya tidak mungkin.
Di bulan Juli rombongan anak anak sudah menuju Surabaya, setelah satu tahun tinggal di Ternate. Beberapa bulan terakhir tinggal sendirian di rumah yang besar dengan kebun buah buahan yang lengkap. Semua tanaman bisa tumbuh subur, berbuah segar walaupun tidak pernah diurus. Berkah hara material Gamalama. Pisang kepok, pisang bulu bebek (tidak tahu nama aslinya), mangga, pepaya, nangka, muris, limau, alpukat, nanas, tomat, cabai dan semua jenis sayur liar ada. Pemilik rumah sebelum menyerahkan kunci rumah, juga mewariskan puluhan ekor ayam siap santap, tapi tak pernah diurus, karena mereka tinggal di atas pohon mangga. Di dahan pohon rendah tiap hari selalu menemukan 2-3 butir telur segar.
Dari jendela rumah tiap pagi dan sore menikmati pemandangan indahnya Gamalama dari sela sela pohon samping rumah. Minum secangkir kopi atau segelas air guraka ditemani pisang goreng dan colok dabu dabu, adalah surga yang datang di dunia. Tiba tiba saja, dalam sekejap surga itu berubah menjadi pemandangan horor dan muskil. Beruntung bencana itu datang saat rumah kosong. Ketika penghuninya sedang di Jawa. Supaya tidak trauma, maka rumah diserahkan ke yang empunya dan kembali jadi pengelana.
Saya baca di catatan harian saat itu bunyi tulisannya : Hidup adalah perjalanan singkat, menuju ke negeri abadi. Semakin sedikit bawaanya makin ringan perjalanannya. Dari satu kontainer menjadi 2 kardus, membuat hidup lebih ringan. Perjalanan makin ringan untuk melanjutkan pengabdian di Ternate. Hidup ini permainan, seperti perjalanan mampir minum, mampir ngopi atau mampir ngguyu. Hidup bisa dijalani tanpa beban yang penting tujuan hidup dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Kalau pisang ditebas pangkalnya, tidak dapat memilih, dia akan tumbang. Tapi bagi orang yang percaya memilih tegak berdiri. Musibah tidak seperti tebasan parang, tapi bagai abu vulkanik, berbahaya untuk mesin pesawat, namun pupuk penyubur tanaman. Atau bagaikan air hujan, bisa menjadi rahmat, dapat pula menjadi bencana, tergantung respon manusia.
Sekali lagi, tidak ada yang kebetulan, semuanya dalam perencanaan Dia. Kita yang menentukan jalan kanan atau jalan kiri, memilih beriman atau
kufur, memilih lurus atau belok, memilih tegak atau tumbang.
#56
#56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar