Senin, 31 Agustus 2020

Mengusir Mental Miskin

 Oleh Syaifuddin



Menulis itu satu cara menolak bermental miskin. Menurut Jack Ma, orang yang bermental miskin punya satu kesamaan sikap: sepanjang hidup mereka hanya menunggu. Menulis adalah pekerjaan mendatangi, aktif, bergerak, tidak pasif atau menunggu.

Menurut Jack Ma, orang bermental miskin adalah orang yang paling susah dilayani. Diberi peluang gratis katanya jebakan. Diberi penawaran investasi kecil, tidak mau, karena hasilnya tidak banyak. Diajak berbisnis besar, tidak punya modal, tak ada uangnya.

Diajak melakukan hal baru, katanya tidak ada pengalaman. Ditawarkan bisnis tradisional seperti jualan makanan, berat terlalu banyak pesaingnya. Ditawarkan model bisnis baru, wah itu Multi Level Marketing/MLM. Diajak buka toko, merasa tidak bebas. Semua jenis bisnis yang ditawarkan, selalu alasannya tidak punya keahlian.

Mereka punya kesamaan : bertanyanya ke Google, patuh dengan kawan kawanya seangkatan sepenanggungan tukang mengeluh dan putus asa. Berpikir lebih banyak dari profesor, bertindak lebih sedikit dari orang buta.

Ayo kita lihat diri kita apakah alasan untuk menunda menulis. Mental seperti itu pernah menjadi bagian dari hidup saya. Diajak menulis yang sederhana, menulis bebas, buat apa tulisan seperti itu, tidak bermutu, tidak berguna. Diajak menulis artikel dengan standar akademik yang rigit, alasan berat, tidak ada waktu, susah harus cari referensi.

Diajak latihan menulis di media sosial atau blog, merasa remeh amat. Diminta mengirim ke media masa, takut ditolak. Diajak menulis yang sederhana, merasa tidak penting, diajak menulis yang penting merasa tidak mempunyai keahlian.

Kebiasaan yang saya tinggalkan. menilai tulisan semua orang selalu salah, tapi disuruh menulis takut salah. Malu menulis, takut menulis, tapi ingin punya karya. Lebih banyak menimbang kata daripada merangkai kata. Lebih sering merencanakan menulis daripada membuka gadget langsung menulis. 

Bangga membagikan tulisan orang lain, daripada menulis pendapat dan opininya sendiri. Mati matian membela pendapat orang, tapi lupa dengan aspirasi dan gagasannya sendiri.

Sebelum membangun Alibaba, perusahaan holding yang membuat Jack Ma menjadi orang kaya, ditawarkan gagasan kepada teman-temannya, semuanya menolak, mau menunggu hasil kerja Jack Ma. Ketika dia sukses dengan Alibabanya, orang orang itu sudah tak sanggup lagi mengejarnya, meskipun hanya membeli saham.

Mereka berpikiran, Jack Ma memang beda. Semuanya sama. Sebenarnya yang membedakan hanya satu berbuat, bertindak, melakukan.

Mungkin diantara kita ada yang berpikir seperti teman-teman Jack Ma. Saat diajak menulis banyak sekali pertimbangan : belum waktunya, tidak punya keahlian, tidak bisa menulis, nanti kalau ada waktu luang, takut salah, malu, tidak penting menulis, tidak ada alat tulis, banyak sekali kegiatan yang lebih penting dan prioritas, menulis itu pekerjaan jurnalis novelis, begini saja sudah dapat gaji, puas dengan keadaan saat ini dan banyak lagi.

Sekali lagi yang membuat perbedaan Jack Ma dengan teman-temannya adalah action. Bukan yang pintar, bukan yang punya banyak waktu, bukan yang mempunyai koleksi referensi melimpah, bukan yang mempunyai fasilitas tanpa batas untuk menulis, bukan imbalan besar, bukan insentif pajak, bukan pembajak, bukan yang punya rencana besar, bukan yang terlatih. Yang menentukan perbedaan adalah menulis dan terus menulis.

Tatkalah banyak temannya menanti perubahan, menunggu peluang, Jack Ma melakukan tindakan untuk berubah. Kalau kita menunggu masa yang tepat untuk menulis sampai kapan? Lebih baik salah, lebih baik malu, lebih baik gagal menghasilkan tulisan berkualitas tapi kita sudah melakukan daripada menunggu sampai perubahan menjauh dan meninggalkan kita.

Action. Lakukan. Menulislah. Maka akan kau temukan keajaiban.

Sangaji Ternate 

31 Agustus 2020

#113



Sabtu, 29 Agustus 2020

Belajar Menulis Dari Sang Imam

 



Oleh Syaifuddin

Sebagai peneliti dan penulis atau orang yang sedang belajar menulis, selayaknya kita berguru pada apa yang dikerjakan oleh Imam Bukhari. Beliau mengerjakan sebuah karya yang tidak ada duanya dengan ketekunan, pengorbanan waktu, harta dan tenaga. Magnum opusnya al-Jami’ al-Sakhih. Kitab hadith nomor satu. Setingkat di bawa Alquran, kalamullah. Hadith bukanlah kitab karangan, maka apa yang dilakukan oleh Imam lebih tepatnya sebagai mencatat, dan membukukan. Hadith Shahih Bukhari, disusun dengan tingkat kecermatan tingkat dewa, kehatia-hatian tingkat wali, dan ketelitian riset tingkat mahagurunya mahaguru riset. Tidak dapat dibayangkan, tanpa hadith ini, milyaran umat Islam kesulitan menjalankan agama.

Waktu yang Imam habiskan untuk menulis, meneliti dan menelusuri hadith sakhihnya adalah 16 tahun, dan itu dilakukan setiap hari. Sekretaris Imam bernama Abu Hathim menceritakan, dalam satu malam beliau bangun antara 15-20 kali, untuk mengambil tinta, menyalakan lampu minyak untuk melakukan koreksi terhadap hadith yang dikumpulkannya. Kita menulis satu hari satu kali yang mungkin perlu waktu 1 jam, setelah 100 hari mungkin sudah mengeluh, merasa lelah, jenuh dan putus asa. Tidak ada apa-apanya dengan yang dilakukan oleh Imam Bukhari, bekerja non stop 5.600 hari.

Imam Bukhari mengumpulkan hampir satu juta riwayat hadith dari 85.000 periwayat, dan memilih 9.082 hadith. Penelitian yang tidak main main. Menyelidiki kualitas hadith, sehingga yakin betul bahwa hadith itu shahih diperlukan penelitian yang panjang dari ribuan narasumber, di wilayah yang terbentang ribuan kilometer. Memerlukan stamina dan mental baja untuk mengerjakan ini. Melakukan perjalanan penelitian berkeliling dari Siria ke Mesir dua kali (1.182 km kalau lurus), mengunjungi Bashrah dan Baghdad empat kali (545 km) , tak terhitung perjalanan ke Mekkah, Madinah, Kufah dan Baghdad. Mungkin puluhan ribu kilometer jalan yang ditempuh Imam Bukhari untuk memastikan catatannya Shahih.

Belum ditemukan tandingannya, ilmuwan yang melakukan perjalanan penelitian sedemikian jauh dan lamanya termasuk Wallace atau Marco Polo dan Ibnu Bathutah. Kita berhutang teladan yang luar biasa dari cara Imam Bukhari melakukan penelitian. Zaman ketika tidak ada referensi semelimpah sekarang, dibandingkan sekarang ketika demikian mudahnya menelusuri rujukan tanpa harus beringsut dari tempat duduk. Imam Bukhari bekerja tanpa didukung oleh manajemen sitasi online seperti mendeley atau zotero. Bekerja tanpa didukung kemudaha fasilitas seperti saat ini yang menyediakan ratusan media tulis, platform dan aplikasi. 

Dengan segala keterbatasan fasilitas riset pada masa itu, tapi Imam Bukhari mampu membuat standar penelitian kualitatif lapangan yang bahkan tetap digunakan dalam penelitian masa kini. Standar akademik riset dengan narasumber yang kredibel, kecukupan dan kelayakan narasumber. Imam Bukhari bahkan menggunakan verifikasi data penelitian bukan hanya triangulasi bahkan multiangulasi. Kalau riset sekarang dengan melakukan uji silang tiga metode verifikasi sumber, maka Imam Bukhari menerapkan banyak sekali verifikasi silang yang bahkan dilakukan berlapis lapis.

Misalnya sebuah hadith dinyatakan shahih jika diriwayatkan oleh banyak narasumber. Setelah itu perjalanan ringkaian periwayatan pun diteliti. Setiap mata rantai dicek kebenaran informasinya, kualitas kejujuran dan kecerdasan, preferensi politiknya, kualitas agamanya dan seterusnya. Super njelimet. Yang sekarang disebut sebagai takhrij hadith. Saya menyerah kalau mendalami kajian studi hadith. Begitu tidak mudahnya melakukan riset hadith.

Kalau kita sekarang menulis bebas, dengan standar tulisan biasa, kadang kadang akademik, seringkali semi akademik, dan kadang fiksi. Apa yang kita lakukan belum sampai sepersatujutanya pekerjaan Imam Bukhari. Mengapa demikian mudahnya kita menyerah.

Imam Bukhari juga dikenal sebagai intelektual yang santun dalam menggunakan kalimat. Tidak pernah menggunakan istilah yang merendahkan narasumbernya. Perawi menempati posisi penting menentukan kualitas sebuah hadith. Kritik beliau terhadap perowi yang kurang krdibel pun dibungkus dengan bahasa yang halus. Tentang perawi yang jelas jelas pembohong digunakan kalimat “perlu dipertimbangkan”, “para ulama’ meninggalkannya” atau “para ulama’ berdiam diri terhadap hal itu”. Untuk perawi yang hadithnya tidak jelas, beliau menyatakan “hadithnya diingkari”. Ketika mengabaikan perawi yang diragukan kejujurannya, beliau membuat pernyataan: ”Saya meninggalkan sepuluh ribu hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadith hadith dalam jumlah yang sama atau lebih hadith hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang perlu dipertimbangkan”.  Alhafidz Ibnu Hajar menjelaskan profil beliau. Imam Bukhari sangat jarang menggunakan kata kadzab/pembohong, wadda’/mengarang hadith palsu. Diksi Imam Bukhari sangat halus, perasaannya lembut, penghargaannya terhadap narasumber dengan tidak mengobral kata kata tercela, meskipun itu benar.

Dari sini kita belajar tentang bagaimana menentukan diksi atau pilihan kata dalam menulis dengan pilihan yang baik dan sopan. Meskipun diksinya santun tapi tetap tajam dan jelas. Imam Bukhari ditengah demikian panjang dan melelahkan pengerjaan karya akademik, tetap memberikan perhatian penuh pada diksi yang santun dan jelas. Diksi yang lembut bukan berarti mengabaikan akurasi pengertian dan data.

Tulisan acapkali mencerminkan akhlak dan kadar intelektual penulisnya. Penulis yang beradab menggunakan banyak pertimbangan dalam menghasilkan sebuah tulisan, walaupun tanpa meninggalkan produktifitasnya. Hati hati bukan berarti berhenti, waspada tidak bermakna tak bergerak. Produktifitas tulisan ditentukan oleh keterampilan yang dihasilkan dari jam terbang. Sedang kehati-hatian dalam memilih kata ditentukan oleh paradigma penulisnya.

Dalam menulis Imam Bukhari menyertainya dengan laku spiritual. Setiap memasukkan hadith yang telah diteliti dengan superketat ke dalam karya magnum opusnya, selalu didahului dengan shalat istikharah dua rakaat. Imam Bukhari dalam melakukan perjalanan penelitian hadith tinggal seruangan terus menerus, kecuali ke kamar mandi, sehingga sekretarisnya tahu apa saja yang diperbuat oleh beliau dalam dua puluh empat jam. Setiap bangun untuk mengoreksi hadithnya, Imam Bukhari mengerjakan sendiri, karena tidak mau mengganggu tidur sekretarisnya.

Imam Bukhari bukanlah orang miskin atau dari keluarga miskin. Beliau mewarisi kekayaan yang banyak dari orang tuanya. Tetapi lebih memilih jalan zuhud, dengan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam sehari hari beliau hanya mengganjal lapar dengan  2-3 butir kacang. Waktu sakit, tabib memeriksa air seni beliau, dan mendapati penyakit kurang gizi. Pada masa pendidikannya dulu, saking prihatinnya Imam Bukhari terpaksa makan rumput karena kelaparan, dihari ketiga ada orang yang memberinya uang.

Belajar dari Imam Bukhari , untuk meneruskan profesi kepenulisan, apapun pekerjaan kita, dosen, guru, ASN, pebisnis, mahasiswa, jurnalis, karyawan dan seterusnya, kita dapat belajar banyak dari apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari. Mungkin tidak musti selevel beliau, minimal kita menerapkan prinsip ketekunan, keseriusan, kesantunan, kejujuran dalam melakukan aktifitas menulis. Meletakkan niat ibadah sebagai fondasi dasar dalam melakukan aktifitas menulis, sehingga apa yang kita tulis berasal dari hati dan akan sampai di hati. Menulis dengan niat ibadah membuat tindakan kita tidak akan sia sia. Menulis dengan niat ibadah melahirkan energi yang berlimpah dan tak kunjung padam.

Sangaji Ternate 

30 Agustus 2020

#112


Tantangan Ekonomi Islam

 Oleh Syaifuddin


Pengkajian ekonomi Islam masih sangat menarik. Karena tantangan dan peluangnya masih sangat besar. Dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan syari’ah di angka 9 persen, maka literasi dan inklusi ekonomi syari’ah sangat jauh di bawa angka tersebut. Dengan rendahnya tingkat pemahaman dan tingkat praktik ekonomi Islam, terdapat tantangan cukup besar, yaitu meyakinkan 80 persen penduduk Indonesia menjadikan ekonomi Islam sebagai jalan hidup berekonomi.

Peluang ekonomi syari’ah juga sangat besar. Sektor ekonomi Islam di Indonesia baru menyentuh sedikit aspek. Sektor industri keuangan syari’ah di bawah 5%, ekonomi zakat baru menggarap 3 % dari potensi, industri halal baru dimulai, wisata syari’ah baru beberapa hal, wakaf belum seberapa. Masih puluhan sektor utama dan ratusan subsektor yang belum tersentuh. Bila pada sektor mikro ekonomi baru beberapa aspek saja yang mendapat perhatian dari ekonomi syari’ah, maka di sektor makro belum sama sekali tersentuh. Kebijakan makro ekonomi pemerintah sangat disandarkan dengan konsep ekonomi sekuler yang menjadi pilihan bersama kita sebagai bangsa.

Seringkali kita dengar sistem ekonomi pancasila atau sistem ekonomi kerakyatan pada masa orde baru dan orde lama. UUD negara Republik Indonesia secara eksplisit mengisyaratkan sistem ekonomi sosial. Dalam praktik berekonomi lebih menunjukkan watak ekonomi liberal dan kapitalisme. Maka lebih tepatnya, sistem ekonomi kita adalah sistem ekonomi campuran, kadang sosialis, kadang kapitalis.

Pemikir ekonomi Pancasila atau kadang disebut ekonomi kerakyatan, seperti Mubyarto menggambarkan sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang digali dari nilai nilai agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pasal pasal ekonomi dalam UUD 1945 digali dari falsafah dan nilai nilai agama. Berarti sejak lama para pendiri bangsa ini mengambil spirit Islam dalam sistem ekonomi kerakyatan, hanya saja tidak menggunakan istilah dan terma iqtishad/ekonomi lazimnya zaman kiwari.

Tokoh utama pergerakan Indoonesia di awal abad 20 seperti HOS Cokroaminoto menggunakan syarikat Islam sebagai bentuk melaksanakan ekonomi Islam dalam kehidupan muslim yang sedang terjajah. Nahdhatul Ulama juga mengembangkan ekonomi Islam dalam gerakan ekonomi Nahdhatut Tujar. Pun demikian dengan Muhammadiyah, selain pergerakan melalui pendidikan, juga pemberdayaan pedagang batik pribumi.

Istilah ekonomi Islam mungkin sulit dijangkau oleh angan-angan kaum pergerakan, sementara Indonesia belum ada dan bumi pertiwi belum merdeka. Gerakan gerakan ekonomi sporadis yang dimunculkan oleh organisasi organisasi pergerakan, menunjukkan kegelisahan untuk terwujudnya ekonomi Islam bagi masyarakat muslim dan penduduk pribumi.

Kelembagaan ekonomi di Indonesia saat ini, lebih mencerminkan watak dominasi ekonomi kapitalis ketimbangan ekonomi sosialis. Koperasi sebagai representasi kelembagaan ekonomi gotong royong dan berwatak sosial, tidak cukup mampu berkembang. Di luar itu adalah kelembagaan ekonomi kapitalis yang berorientasi pada profit dan mekanisme pasar. Sistem perbankan, sistem pasar, sistem perdagangan, sistem industri dan sistem ekonomi lainnya sangat kapitalistik.

Ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam pada satu sisi adalah upaya mengeksplisitkan dan menegaskan watak ekonomi pancasila dan ekonomi kerakyatan yang terlampau samar dalam UUD. Praktik ekonomi syari’ah seharusnya menghidupkan praktik ekonomi yang berkeadilan dan memberikan kesempatan ekonomi secara merata. 

Ekonomi Islam dengan kata lain harus menjadi perwujudan kembali elan vital ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila. Ekonomi Islam tidak seharusnya bermetamorfosa menjadi ekonomi kapitalis dalam Islam. Jika kelembagaan ekonomi meletakkan profit sebagai tujuan dan bukan falakh/kesejahteraan sebagai tujuan, maka ekonomi Islam lebih mendekat kepada gagasan kapitalisme. 

Jika orientasi perkembangan ekonomi Islam di Indonesia adalah kelanjutan dari praktik ekonomi saat ini, besar kemungkinan akan menjauh dari nilai nilai dan prinsip prinsip ekonomi Islam. Dari sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh perkembangan ekonomi Islam, disinilah terletak tantangan terbesar.

Sangaji Ternate 

29 Agustus 2020

#111


Jumat, 28 Agustus 2020

Nahdhiyin wa Muhammadiyin

 Oleh Syaifuddin


Di Indonesia warna keberagamaan sangat ditentukan oleh dua organisasi massa yang dominan di nusantara yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perilaku konsumen muslim sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh perilaku ekonomi kaum nahdhiyin dan warga Muhammadiyah. Demikian pula perlilaku nasabah, preferensi nasabah, minat nasabah pada lembaga keuangan syari’ah. Sayangnya pemahaman dan kesadaran ini belum menjadi perhatian industri keuangan syari’ah di tanah air.

Lembaga keuangan syari’ah (LKS) terlampau sibuk untuk menonjolkan perbedaannya dengan lembaga keuangan konvensional dari aspek bunga sebagai riba. Berusaha menggali sebanyaknya referensi yang dapat membuat LKS leluasa membentuk dan mendesain produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tetapi lupa bahwa konsumen muslim yang drepresentasikan dua ormas tersebut punya kecenderungan yang mungkin sebagian besar tidak dipahami oleh LKS.

Karakteristik perilaku ekonomi nahdhiyin dan warga Muhammadiyah berbeda satu sama lain, meskipun tidak berkonotasi teologis dan fiqh. Tanpa kesadaran mengidentifikasi karakteristik konsumen potensial itu, maka sulit berharap pangsa pasar bank syari’ah bisa melejit meninggalkan angka 5%.

Warga Muhammadiyah lebih familiar dan terlebih dahulu menerima konsep bank syari’ah dibandingkan nahdhiyin. Ditingkat elit nahdhiyin memahami status riba bunga cukup jelas, tetapi tidak demikian di lapisan lapisan bawahnya. Tidak demikian dengan pemahaman mayoritas warga Muhammadiyah terhadap bunga sebaga riba, bahkan cenderung anti bunga. Hanya bank syari’ah yang layak dijadikan mitra bisnis, tidak mengambil bunga di bank konvensional jika terpaksa harus berhubungan dengan bank konvensional.

Studi studi tentang perilaku konsumen muslim ini membuat hubungan antara LKS dengan konsumen muslim seperti berada di jalurnya masing masing. Rencana pengembangan LKS berdasarkan persepsinya sendiri, sementara konsumen muslim juga mempunyai rencana sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Munculnya fenomena bank syari’ah membiayai kegiatan sektor ekonomi korporasi, dengan meninggalkan konsumen muslim di sektor ritel merupakan suatu fakta, bahwa LKS berjarak dengan konsumen muslim. Bagaimana konsumen muslim mendekat ke industri keuangan syari’ah, sementara mereka tidak paham dan tidak dipahami oleh LKS.

Industri keuangan syari’ah asik dengan membangun arsitektur keuangan syari’ah yang menasional dan mengglobal, lupa dengan basis masyarakat muslim yang merupakan elemen kunci dari arsitektur masyarakat ekonomi syari’ah. Perkembangan ekonomi syari’ah ahirnya bercorak elitis, fasih dipahami oleh kalangan elit, tetapi membingungkan kalangan awam.

Konsumen muslim Muhammadiyah familiar dengan LKS, mendukung sepenuhnya, bahkan mengidentifikasi diri sebagai loyalis, konsekuensinya intensif mempromosikan. Pada tahap tertentu hanya mau bertransaksi dengan LKS. Sikap demikian tidak berlaku dengan sebagian besar konsumen muslim nahdhiyin. Keuangan syari’ah merupakan alternatif dari keuangan yang biasa. Wajar jika berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dan syari’ah secara bersama. Masing masing mempunyai fungsi dan peran. Tidak perlu fanatik dan radikal. Bunga dan bagi hasil itu hanya istilah, ujung ujungnya sama. Bunga yang tidak boleh hanya pinjaman yang bunga berbunga, pinjaman yang eksploitatif. Menetapkan bunga kecil itu wajar dan boleh, kan lembaga keuangan perlu berubah, perlu keuntungan. Konsumen muslim ini lebih permisif terhadap bunga tetapi juga tidak menolak kehadiran LKS.

Bila ingin membumikan ekonomi syari’ah, membangun perilaku konsumen muslim yang sehat, mendekatkan antara dunia keuangan syari’ah dengan konsumen muslim, maka pemahaman ekonomi syari’ah harus disederhanakan menjadi pola pikir ekonomi masyarakat muslim kebanyakan. Penelitian penelitian karaktersitik perilaku konsumen muslim nahdhiyin dan warga Muhammadiyin harus terus diperkuat. LKS juga sebaiknya lebih serius memikirkan konsumen muslim sebagai basis pengembangan ekonomi syari’ah. Tidak terlalu berorientasi pada pertumbuhan asset tetapi minim partisipasi konsumen muslim.

Sangaji Ternate 

28 Agustus 2020

#110


Kamis, 27 Agustus 2020

Membaca Alquran

 Oleh Syaifuddin


Di sebagian besar masyarakat kita membaca Alquran lebih penting daripada membaca huruf lainnya. Biasanya anak anak di surau/musholah/langgar belajar membaca kitab suci terlebih dahulu, setelah itu baru masuk sekolah formal, belajar menulis dan membaca abcd. Terlebih dahulu mengerti huruf hijaiyah ketimbang alfabet. 

Sebuah aib bagi kanak kanak yang tak kunjung bisa membaca Alquran. Belum boleh khitan, kalau belum bisa baca Alquran. Dan sholatnya belum sah, olok olok yang membuat semua anak kecil berlomba untuk menguasai kemampuan membaca Alquran. Tradisi tahun 1970 an di pedesaan Jawa ini tetap juga berlaku di kota kota pada tahun 2020, meskipun dalam balutan tradisi yang berbeda.

Menandai remaja memasuki akil baligh dengan khataman Alquran, sebagai tanda sudah sah menjadi seorang muslim, yang diiringi dengan khitan. Sebaik baik kalian adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Besarnya nanti bercita cita jadi dokter, jadi insinyur, jadi apapun, tapi pelajaran Alquran yang ditanamkan terlebih dahulu.

Namun tidak semua wilayah di nusantara ini mempunyai kebiasaan membaca Alquran seperti itu. Di Ternate, perguruan tinggi Islam menghadapi tingginya calon mahasiswa yang tidak bisa baca Alquran. Penyebabnya sangat kompleks, mulai dari pendidikan agama di tingkat paling dasar sampai tinggi tidak cukup memadahi untuk memfasilitasi masyarakat dekat dengan Alquran. Sedikitnya jumlah taman pendidikan Alquran, madrasah, diniyah dan pesantren. Pesantren-madrasah-taman pendidikan Alquran, adalah mata rantai yang saling mempengaruhi. Jangan pernah berharap pengajaran Alquran jalan baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal, kalau pesantrennya redup, sebab membaca Alquran tidak bisa diselesaikan oleh software atau program komputer.

Ada solusi jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek program baca tulis Alquran dan diniyah yang sedang dikerjakan oleh pemerintah kota Ternate bisa menyelesaikan masalah ini. Sembilan kabupaten dan kota lain di Propinsi Maluku Utara, dapat mengadopsi program ini sesuai dengan karakteristiknya masing masing.

Kampus Islam semestinya mengoptimalkan dalam memfungsikan ma’had al-jami’ah (pondok pesantren perguruan tinggi) dalam menghilangkan buta huruf Alquran di kalangan mahasiswa. Dengan kapasitas yang terbatas, tidak mungkin semua mahasiswa baru ditampung selama satu tahun penuh. Jalan keluarnya, satu angkatan bergantian tinggal di ma’had dalam 5 gelombang. Setiap mahasiswa baru mengalami masa dua bulan penuh tinggal di ma’had. Kampus merancang kurikulum keagamaan khusus semacam shortcours yang outcomesnya adalah mahasiswa menguasai baca tulis Alquran, dan ilmu ilmu keagamaan tingkat dasar.

Bagaimana pendanaannya dan manajemen kepesantrenan dengan sumberdaya insani yang terbatas? Ma’had aljami’ah Sunan Ampel UIN Maliki Malang dan Pesantren Padanglampe Universitas Muslim Indonesia Makassar sudah puluhan tahun menerapkan pola ini. Kedua perguruan tinggi itu akreditasinya A. Yang satu negeri yang satu swasta, kemungkinan besar ini berkah ma’had dan berkah Alquran.

Untuk membumikan Alquran, dalam jangka panjang dapat dilakukan dengan membangun tradisi pendidikan Islam melalui pangaji dan pondok pesantren.

Melanjutkan tradisi pengajaran pendidikan Islam melalui pangaji, yang menjadi warisan kearifan lokal. Tradisi ini tidak sekedar digali dan dihidupkan kembali, tetapi harus mengalami penyegaran konsep dan modernisasi manajemen. Yang tetap harus dipertahankan adalah perannya sebagai lembaga informal yang menjaga vitalitas pengajaran pendidikan Islam.

Menumbuhkan sebanyak mungkin pondok pesantren. Syukur syukur pondok pesantren yang mengajarkan turats, sehingga tradisi pengajaran keagamaan kitab-kitab klasik dapat terus lestari. Nyaris tidak mungkin mengajarkan khazanah kitab klasik tanpa mengajarkan baca tulis Alquran. Sebab melalui Alquran lah maka pengembangan tradisi intelektual, kajian keagamaan, tafaquh fiddin dapat berlangsung hingga kini. Pertumbuhan pondok pesantren yang pesat akan memberikan efek samping pada tumbuh kembang lembaga pendidikan keagamaan baik formal, informal maupun non formal.

Pesantrenlah yang membuat lahirnya pondok pesantren baru, lahirnya madrasah-madrasah, lahirnya diniyah-diniyah, lahirnya ma’had ali, lahirnya perguruan tinggi keagamaan Islam, lahirnya taman pendidikan Alquran, lahirnya halaqah halaqah ilmu diniyah. Pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan khas nusantara, adalah warisan kelembagaan para ulama’ yang patut kita syukuri, hargai dan kembangkan. Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Dua warisan yang membuat agama ini tidak akan pernah padam di negeri tercinta, Indonesia.

Sangaji Ternate 

27 Agustus 2020

#109


Rabu, 26 Agustus 2020

Gelombang Berkarya

 Oleh Syaifuddin


Membaca sangat diperlukan untuk memberikan input untuk menulis. Membaca dan menulis bagaikan dua sisi literasi yang saling mempengaruhi. Meskipun erat kaitannya memerlukan keterampilan dan penguasaan yang berbeda beda. Pembaca yang baik belum tentu menjadi penulis yang baik. Masing masing perlu latihan dan pembiasaan. Menulis tanpa didukung dengan bacaan yang cukup pada ahirnya, melambat, layu dan tidak berlanjut, seperti motor yang kehabisan bahan bakar. Bacaan adalah salah satu energi dan bahan baku tulisan.

Membaca juga punya banyak tingkatan keterampilan. Ada orang yang membaca dengan bersuara, tentu tidak secepat orang yang membaca dengan diam. Ada keterampilan membaca cepat. Ada tekniknya, ada metodenya. Membaca dengan cara ini beberapa kali lebih cepat tanpa kehilangan kesempatan menangkap dan mengumpulkan makna dari bacaan. Tanpa keterampilan membaca cepat, waktu kita habis digunakan untuk membaca. Tidak efisien.

Selain membaca cepat ada pula membaca efektif. Untuk membaca efektif diperlukan strategi. Dibutuhkan perencanaan sebelum memilih dan memilah bacaan. Membaca efektif ditentukan oleh kemampuan mengenali anatomi sumber bacaan, melakukan seleksi pada informasi informasi bacaan yang relevan dengan tujuan membaca. Semakin terlatih menggunakan cara membaca efektif semakin cepat kita menghimpun bahan. Di dalam membaca efektif terdapat unsur membaca dengan diam dan membaca cepat.

Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan kemampuan mengorganisir bahan. Ada sebagian orang yang mengendapkan bahan dalam pikiran untuk waktu yang lama, saat diperlukan untuk dituangkan dalam tulisan, bahan bahan tersebut berinteraksi dalam pikiran membentuk gagasan baru, informasi baru, kisah baru. Tidak banyak yang mempunyai kemampuan dan keterampilan seperti ini. Karenanya bahan bahan bacaan yang akan dijadikan bahan tulisan harus disusun secara sistematis dalam file file yang mudah diperiksa kembali. Atau buku buku yang menjadi rujukan bahan tulisan dikumpulkan dalam perpustakaan dan mudah untuk dibaca secepatnya.

Menulis efektif ditentukan oleh tujuan, disampaikan dengan cara yang benar supaya menghasilkan kebaikan dan memberikan manfaat.

Namun menulis tidak selalu melewati masa lempang dan lapang, ada kalanya turun dan terperosok, atau mendaki jalan terjal. Setiap pengalaman memperkaya kecerdasaan intelektual sekaligus spiritual. Banyak orang yang kurang menulis, tidak mengalami bahwa ketika menulis emosi, perasaan terlibat dan memberikan kesan kuat. Tulisan kadang semacam anak spiritual yang lahir dari pergulatan pemikiran dan emosional.

Pada titik titik tertentu, kita merasa tidak ada lagi yang bisa dilanjutkan untuk menulis. Tidak puas dengan tulisan kita sendiri. Tulisan dianggap stagnan dari kebaruan cara penyampaian. Bukan kehabisan bahan, tapi kita merasa bahan itu levelnya sama dengan yang sebelumnya. Kehilangan gairah. Merasa semua jenis cara sudah diupayakan tapi pikiran kita tidak beringsut. Penulis tertentu harus melibatkan kopi dan ultraflu atau berliter liter kopi kental untuk mendongkrak perasaan. Itu masih lebih baik, daripada berhenti dan menyerah untuk menulis. 

Kita hidup dalam lingkungan dengan berbagai macam kesibukan dan tanggungjawab. Bertumpuknya permasalahan yang dihadapi oleh mahluk sosial, menyeretnya pada kehampaan. Mengalami Lelah spiritual. Kondisi yang dapat mendorong menjadi produktif atau kontraproduktif. Masalah timbul bukan dari kemampuan menulis atau kehabisan ide dan bahan. Masalah yang dihadapi meminggirkan atau menutup penuangan gagasan.

Karena kurang hati hati mobil nabrak pembatas jalan, nyaris masuk selokan, tidak ada korban. Diderek ke bengkel, biayanya puluhan juta. Tanpa dikira tanpa diduga, tiba tiba dapat surat, berisi tagihan ratusan juta dari pemeriksa keuangan. Membuat pernyataan mengembalikan uang ke negara karena ada prosedur administrasi yang salah atau tidak lengkap. Berpikir keras antara bagaimana cara menyelesaikan tagihan dan menangani pengeluaran kedepan yang semakin berat. Karena covid-19 penyakit jantungnya tidak tertangani dengan semestinya, diobati di rumah sakit cemas, tidak diobati lemas. Berulangkali menerima kabar duka, kerabat dan saudara dekat wafat. Belum pulih duka pertama, disusul duka kedua. Baru selesai tahlil ke empat puluh, disusul tahlil ketuju.  Apakah masalah yang datang bertubi dan silih berganti tidak mempengaruhi perasaan penulis?

Selalu menulis, menjaga produktifitas ditengah suasana hati yang bergelombang. Di antara persoalan yang datang dan pergi, tidaklah pekerjaan mudah. Diperlukan seni menguasai keadaan untuk tidak mempengaruhi ritme menulis. Keterampilan mengisolasi persoalan supaya tidak menjalar terlalu jauh menguasai perasaan. Tantangan baru yang dihadapi pembelajar menulis.

Sangaji Ternate 

26 Agustus 2020

#108


Selasa, 25 Agustus 2020

Kebun Pala


Oleh Syaifuddin

Mengelilingi pulau Ternate sejauh 54 kilometer disebut dengan eron dari kata Inggris, around. Kebiasaan eron dilakukan dengan beragam cara, lewat darat melewati jalan aspal yang membentuk cincin luar, atau lewat laut menggunakan moda transportasi air, kapal kayu atau speedboat. Ada tradisi kololie kie yang sarat makna dan beragam nilai adiluhung, yaitu tradisi mengelilingi pulau Ternate.

Uniknya gerakan mengelilingi pulau dilakukan seperti perputaran thawaf, pulau di sebelah kiri dan laut disebelah kanan. Ke luar pusat kesultanan, dimulai dari kelurahan Salero, Dufa Dufa, Akehuda, Tafure, Tabam, Tarau dan memasuki kota dimulai dari kelurahan Sasa, Fitu, Ngade dan Kayu Merah. 

Eron pada masa kini menjadi rute rekreatif, pada masa lampau sarat makna politis, budaya dan religius. Eron adalah kristal dari kearifan lokal, sublim dari berbagai nilai kesadaran kosmis yang berakar kuat dari masyarakat kepulauan. Kearifan yang terjaga melewati lintasan masa yang panjang lebih dari lima abad, seperti nasib kebun dan petani buah pala yang dari masa ke masa tak kunjung berubah.

Petani buah Pala mungkin tak semujur petani cengkih. Walaupun sama sama rumpun rempah yang menggoda bangsa Arab, Eropa dan China. Entah apa sebabnya nasib cengkih dan pala berbeda. Harga, fungsi, tata niaga, tata kelola komoditas yang berbeda, membuat nasib pala tak semujur cengkih.

Di masa penjelajah Eropa, harga pala ditentukan oleh rebutan monopoli rempah. Berbagai peperangan, berdirinya benteng Toloko, Oranye, Kastela sebuah bukti bahwa rempah diperjuangkan dengan keras. Tingginya harga dan langkanya komoditas tidak berarti membuat makmur para pemilik kebun pala. Monopoli diusahakan mati matian bertujuan memberikan keuntungan maksimal, menakan harga serendah rendahnya, menjual dengan harga setinggi tingginya. Biaya ekspedisi yang tidak murah, biaya peperangan yang mahal, ongkos melanggengkan kekuasaan dibebankan kepada pemilik kebun. Saat VOC bangkrut dan diambil alih oleh kerajaan Belanda, tekanan terhadap pemilik kebun tidak semakin berkurang, justru semakin menguat. Biaya tata niaga Pala beralih dari BUMN kepada negara yang target keuntungannya diharapkan lebih tinggi. Target pemasukan tidak lagi untuk perusahaan tetapi untuk negara, kerajaan Belanda.

Setelah hegemoni Belanda mapan, monopoli stabil menjadi hak milik sepenuhnya, terlebih setelah tercipta kesepakatan Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugal. Nasib baik tak juga datang kepada pemilik kebun pala. Coba lihat catatan sejarah di berbagai tempat, posisi kerajaan atau kesultanan terjepit diantara berbagai kepentingan. Kalau memihak kepada rakyat akan berhadapan dengan bangsa asing, dan eksistensi rapuh. Kebanyakan penguasa pribumi takluk dalam kepentingan penjajah. Beberapa pengecualian melawan seperti yang dilakukan Sultan Nuku, Sultan Baabullah dan Sultan Khairun, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Hasanuddin. Konsekuensi yang diterima berat, diperangi oleh para penjajah, ditawan dan diasingkan jika masih hidup.

Beberapa rezim penguasa pribumi bukan saja tidak melindungi rakyatnya, bahkan menjadi broker/calo komoditas, sehingga rakyat mengalami. Dalam naskah naskah kajian tentang nusantara di abad 17-19, kita akan dapatkan banyak sekali penguasa model ini, tidak hanya di wilayah Ternate. Epos epos kepahlawanan sering kita baca, perlawanan rakyat pada pemerintah pribumi yang berselingkuh dengan penjajah untk mendapatkan komoditas secara ajeg, baik dengan tujuan menumpuk kekayaan oleh penjajah maupun untuk kepentingan lainnya. Kolaborasi antara penguasa pribumi dan penguasa asing membuat petani komoditas seperti pala dan rempah rempah lainnya selalu sebagai subjek penderita. 

Zaman berubah, musim berganti. Dari penjajah beralih ke pribumi. Kemerdekaan sudah berlalu 75 tahun. Penguasa yang silih berganti, tidak demikian dengan pemilik kebun pala di Ternate. Posisi sub ordinat, seperti menjadi label sejati. Para pemilik kebun pala karena alasan usia, kemampuan dan berbagai hal lainnya, terikat dengan kontrak kontrak yang merugikan. Kesepakatan antara pemilik kebun pala dengan para penyewa, investor atau pembeli, dengan dalih adat kebiasaan, menempatkan pada posisi yang lemah.

Statusnya sebagai pemilik kebun, penguasa lahan, pemelihara pala, tapi keuntungannya mengalir kepada para investor. Kontrak sewa lahan dengan sejumlah pohon pala di atasnya menggunakan akad sewa, padahal yang dibeli sebenarnya komoditas dengan pola ijon. Ijon umumnya menangguk untung atau ada kalanya merugi, transaksinya dilakukan setiap musim. Kontrak pala ini lebih eksploitatif lagi karena biasanya kontrak dilakukan dalam jangka panjang, yang dari waktu ke waktu pemilik lahan menyaksikan hasil buminya dinikmati investor.

Praktik ini menjadi budaya, adat istiadat yang terus dilanggengkan. Praktik yang tidak adil, strukturnya memiskinkan pemilik lahan. Jangan hanyak karena saling rela berarti muamalah ini sah. Tidak. Justru muamalah ini mengandung cacat rukun dan syaratnya. Akadnya ijarah/sewa tetapi praktiknya jual beli/buyu’. Disebut sewa tidak obyek yang dimanfaatkan. Pala tidak diambil manfaatnya, tetapi dipetik buahnya. Karena yang dijadikan objek perikatan adalah komoditas, lebih layak kalau disebut jual beli.

Ketidakadilan berikutnya adalah harga sewa, seharusnya harga beli tidak pernah mengalami penyesuaian. Dalam Islam praktik mu’amalah jual beli dengan cara ijon ini hukumnya batal, tidak sah. Supaya akad itu sah harus dipastikan pada awal kontrak perjanjian tentang kepastian kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan komoditas. Dengan adanya kepastian itu memberikan peluang koreksi pembayaran disesuaikan dengan kondisi pada saat panen pala. Koreksi ini memberikan keadilan kepada kedua belah pihak. Tidak ada bisnis spekulasi dan untung untungan.

Toboleu Puncak Ternate 

25 Agustus 2020

#107


Senin, 24 Agustus 2020

Menulis : Niat, Tekat dan Bakat

 Oleh Syaifuddin

Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan niat dan tekat. Orang kerap menampik menulis, karena tidak punya bakat. Bakat sering dijadikan alibi dan kambing hitam, untuk menghindar menjadi penulis. Kalau menulis itu bakat, ratusan ribu bahkan jutaan orang tidak bisa menyelesaikan tugas ahir, skripsi, tesis dan disertasi. Karena untuk menyelesaikan karya ilmiah itu perlu bakat. 

Nyatanya, ratusan ribu setiap tahun mahasiswa diwisuda sarjana. Untuk sampai mengenakan toga, pasti melalui ujian karya ilmiah yang prosesnya tidak mudah. Yang katanya tidak ada bakatpun, bisa menyelesaikan tulisannya, karya ilmiah. 

Bakat yang sering disebut sebut sebagai biangnya menulis, sebenarnya sudah melekat pada setiap manusia. Menulis adalah salah satu bentuk komunikasi yangg ditempuh oleh manusia. Bakat itu seperti pisau baja, kalau dibiarkan teronggok, tidak diasah takkan menjadi pisau tajam. Baja bermacam macam kualitasnya, ada baja bagus, baja, sedang dan baja jelek. Baja berkarat tumpul menjadi berguna kalau dirawat dan selalu diasah dengan baik, sehingga dapat digunakan untuk membelah, memotong. Baja sebagus apapun tidak akan berguna bila tidak ditempa dan diasah. Baja akan selamanya menjadi potensi hebat, tertutup karat, seperti onggokan besi tua yang tidak berguna.

Yang membuatnya menjadi pisau tajam, karena dirawat dan diasah terus menerus bukan karena bajanya. Bakat yang tidak dirawat secara konsisten pada ahirnya juga tidak berfungsi. 

Apa yang dicapai oleh Leonel Mesi, Thomas Alfa Edison, Alber Einstain, tekat atau bakat? Mesi terlahir dengan tubuh yang kecil dan tidak ideal untuk menjadi pemain bola sehingga harus mendapat treatmen husus. Sejak belia sudah berlatih bola dan hanya bermain bola, tidak ada yang lain. Di akademi sepakbola Barcelona, dia dibentuk dengan latihan latihan keras. Dari bangun tidur sampai tidur lagi yang dikerjakan hanya latihan bola, mimpinyapun mungkin mimpi bola. 

Edison terlahir sebagai anak biasa biasa saja, tidak istimewa, bahkan dianggap rendah. Karena dianggap bodoh, dia dikeluarkan dari sekolah. Ibunya yang mendidik dan menemukan sisi kemanusiaan Edison, menemukan bakatnya. Dan untuk mencapai reputasinya Edison bekerja tekun dan keras, dia bekerja dan belajar 12-14 jam dalam sehari. Untuk menemukan bola lampu, dia melakukan eksperimen berulangkali sampai seribu kali mencoba. Halayak hanya melihat hasilnya, tidak melihat ketekunan dan kerja keras prosesnya.

Albert Einstein si jenius penemu teori relatifitas, acapkali menerima nasib buruk, diberhentikan sebagai dosen di daratan Eropa. Ketekunannya membawa dia menyeberang ke benua Amerika dan mendapat pengakuan sebagai fisikawan paling brilian abad 20. Penerima nobel prize bidang fisika. Dia akan menjadi dosen biasa biasa saja kalau tidak mengusahakan riset riset dengan keras. Bakat tidak akan keluar, bila tidak diasah. Talenta tidak berwujud jika hanya didiamkan saja.

Niat menulis adalah kesungguhan dan keserius untuk menulis terus menerus secara periodik. Niat menulis dimulai dengan langsung menulis setiap hari. Menulis sedikit atau banyak tergantung pada kebutuhan dan tujuan menulis. Meskipun sehari 250 kata dan dilakukan terus menerus. Tidak terganggu oleh apapun bahkan yang lebih penting. Uzur dimungkinkan pada kondisi yang menghalangi untuk menulis, misalnya di dalam air laut sepanjang hari atau di atas dahan sepanjang hari. Bila itu dilakukan, baru disebut niatnya ada. Tapi kalau niatnya belum diubah menjadi tindakan, berarti baru niat rencana menulis.

Niat menulis ditandai dengan kesediaan meluangkan waktu, menyediakan peralatan yang memudahkan untuk menulis dan menentukan tempat yang nyaman untuk menulis. Setiap manusia mempunyai jam tubuh yang unik. Perasaan paling nyaman dan cocok untuk diri setiap orang berbeda. Sehingga harus diusahakan waktu yang paling sesuai. Saya mencoba bereksperimen mencari waktu yang tepat untuk menulis  dari mulai jam 3 pagi sampai jam 12 malam. Setiap waktu sudah saya coba dan saya jelajahi. Ternyata waktu terbaik saya untuk menuangkan gagasan tulisan adalah antara jam 16.00-23.00, dan waktu terbaiknya setelah sholat isyak. Di luar jam itu bisa untuk mengedit, memperbaiki tulisan. Bila dipaksakan untuk menulis, bisa tapi hasilnya tidak maksimal.

Niat harus diwujudkan dalam rencana rencana yang jelas, jangka panjang dan berkelanjutan. Tekat yang mewujudkan rencana rencana tersebut. Niat kuat yang diikuti dengan rencana menulis dalam jangka panjang akan dihadapkan pada banyak sekali rintangan. Perasaan malas, malu, takut, bosan, cemas, hawatir, merasa tidak penting adalah perasaan yang muncul selama menulis. Dicemooh, ditertawakan, tidak dianggap, dilecehkan, diabaikan, dikritik adalah hambatan hambatan yang membuat melanjutkan menulis berat.

Perasaan dan situasi setiap manusia mengalami pasang surut. Mood menulis juga bergelombang kadang bersemangat, biasa saja, dan tidak jarang berada di titik nadir. Kalau tidak ada ihtiar menyelesaikan berbagai hambatan dari luar dan kelemahan dari dalam. Maka dengan mudah kita akan menyerah. Apalagi bagi sebagian diantara kita yang profesinya tidak berhubungan dengan kemampuan menulis, dengan cepat akan menyerah di tengah  jalan, atau bahkan menyerah sebelum melangkah.

Yang dapat melanjutkan mewujudkan niat menjadi kenyataan, yang mempu menaklukan kelemahan dan hambatan hanya tekat yang kuat. Ada berbagai macam cara untuk memperkuat tekat. Ada yang menggunakan pendekatan spiritual, ada yang menggunakan pendekatan manajemen, ada yang menggunakan teori motivasi dan seterusnya. Semuanya sah dan boleh, sesuai dengan karakteristik masing masing.

Dengan niat yang kuat dan tekat yang bulat, tidak ada sesuatu yang tidak bisa dikerjakan. Yakinlah semua manusia diberi bakat menulis. Dengan niat dan tekat, maka bakat akan keluar.

Sangaji Ternate 

24 Agustus 2020

#106


Sabtu, 22 Agustus 2020

Mengusir tikus


Pandemi membuat hidup saya menyempit. Tinggal di ruang 20 meter persegi sendirian. Mulanya terasa nyaman, terutama bagi yang senang tinggal sendirian. Setelah lewat tujuh hari semua jadi membosankan. Ini mungkin sebab ada tahlil tujuh hari. Dan waktupun berlalu, menderik seperti berjalan lamban. Satu satunya yang menghubungkan, bahwa di dunia luar kehidupan masih berjalan adalah layar 11 inci.

Italia, Spanyol berlomba memecahkan rekor penularan virus, video dan berita duka melayang layang dalam jagat maya. Wuhan mulai mereda, Amerika semakin jumawa. “Flu Wuhan itu flu biasa, di Amerika korban meninggal akibat flu jumlahnya ratusan ribu, Amerika tak kan tersentuh”, sesumbar presiden negara adikuasa.

Penularan virus di Indonesia, awalnyapun berjalan lamban. Walau dengan bahasa yang agak berbeda, nyatanya masyarakat dan para pemimpin, dengan nada sangat percaya diri meyakinkan bahwa virus tidak akan menjamah. Ada nasi kucing, ada rempah-rempah, matahari melimpah dan banyak do’a. Tapi ahirnya jatuh korban juga. Bukan tidak ada penularan virus, tapi tidak terdeteksi penularan. Sikap pertama yang salah. Tapi ya sudah, konsekuensi sikap bersama, yang harus dipikul secara berjamaah sebagai sebuah bangsa.

Dari rumah mungil ini, jalanan terdengar semakin lengang. Suara sirine ambulan semakin sering meraung raung, whatsapp mengabarkan mulai jatuh korban. Dari masjid sekitar rumah mungil makin sering ada pengumuman, setelah salam lanjut “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, yang lanjut usia atau yang muda meninggal, berlanjut dengan dengug suara tahlilan.

Di dalam rumah, semakin terasa ramai. Binatang pengerat paling kecil ternyata merajalela. Keadaan yang tidak pernah saya insafi selama ini. Intensitas dari ruang ke ruang, berdiam dari waktu ke waktu, menyadarkan saya bahwa rumah ini sudah meriah dengan mahluk halus tapi nyata. Apa hendak dikata, saya pikir rumah ini steril dari semua jenis pengerat, ternyata banyak sekali. Semakin dekat semakin paham. 

Mau keluar cari pembasmi semua toko tutup, sampai warung makanan yang buka pun tinggal sedikit, untuk langkah pengamanan sampai menyediakan logistik sampai setelah lebaran. Karena pandemi waktu itu, tidak tahu sampai kapan. Tapi tidak berlebih lebihan menghimpun stok seperti di luar sana sampai timbul kelangkaan pangan. Tinggal tersisa satu jalan, yaitu berdamai dengan keadaan. Membiasakan dengan lalu lalang banyak pengerat yang sudah berkembang biak.

Pengerat ini tinggal karena tiga alasan. Ada jalan masuk, ada tempat persembunyian dan ada makanan. Menutup rapat sampai celah yang terkecil, bentuk usaha mustahil. Membongkar tempat potensial sebagai perumahan pengerat, tidak bisa. Dipindah kemanapun, dia akan ikut. Mau pindah pindahkan barang setiap waktu, mau bongkar bongkar tempat setiap waktu. Tinggal satu peluang, tidak boleh ada sisa makanan sampah yang tercecer meskipun  sebutir nasi.

Setiap hari sampah harus langsung dibuang. Sampah makanan mikro diamankan dalam kotak plastik tertutup. Ada kesempatan buang. Dua minggu ahirnya teman teman jerry yang paling mungil berkurang drastis. Tersisa satu dua, mungkin yang mampir sesekali untuk mengamankan bekal wilayah jarahannya. Atau jerry yang mencoba mencari peruntungan siapa tahu penghuni rumah lengah.

Sebagai manusia kita berada di dalam dua dunia. Jagat makro dan jagat mikro. Kadang karena terlalu asik dengan dengan dunia makro, kita lalai dan abai terhadap jagat mikro kita. Terlalu sibuk dengan urusan urusan besar, urusan jasmani, dunia luar, ruhani kita, jiwa kita, aspek mikro kita telah rimbun bersemak, bahkan bersemayam hama yang pada ahirnya membuat ruhani sakit. Harus ada usaha menyeimbangkan jasmani dan ruhani kita, karena dua jagat tempat kita tinggal saling mempengaruhi. Kalau ruhani kita sakit akan berpengaruh kepada jasmani kita demikian pula sebaliknya.

Intensitas kita dengan ruhani, akan membuat kita punya kepekaan, normal atau tidak normal. Jangan sampai pengerat pengerat jiwa telah beranak pinak, berkuasa dalam ruhani kita tanpa pernah kita sadari. 

Saat kita sadar bahwa dalam jagat mikro kita ada penyakit, ada hama sebaiknya segera lakukan perbaikan. Pembersihan terus menerus, menjaga kejernihan jiwa, kesehatan ruhani sehingga penyakit itu tidak betah tinggal dalam jagat kita. Rajin membersihkan sampah sampah ruhani yang menjadi asupan penyakit jiwa. Mungkin dia sesekali datang untuk berniat tinggal lagi. Tapi tidak akan betah bila jiwa kita rajin dibersihkan dan tidak tersisa sampah yang membuat penyakit ruhani ingin tinggal berlama lama.

Sangaji Ternate 

23 Agustus 2020

#106


Optimis Menyambut Krisis

 Oleh Syaifuddin

Agustus dua puluh dua tahun yang lalu ekonomi Indonesia sedang didera krisis, sama seperti yang terjadi saat ini. Namun kondisinya lebih parah banyak bank dilikuidasi, harga sembilan kebutuhan pokok meroket. Masyarakat menyebutnya ganti harga, bukan harganya naik, karena besarnya angka kenaikan harga barang. Nilai Tukar rupiah nyungsep, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika, naik 7 kali lipat, dari 2.350 rupiah menjadi 16.000 rupiah.Banyak perusahaan kolaps dan bangkrut, pengangguran meningkat pesat. Ekonomi mengalami pertumbuhan negatif 13,7%.

Sekarang ini kita juga mengalami krisis ekonomi dan memasuki resesi seperti negara negara tetangga, Singapura, Malaysia, Thailanda, Pilipina dan Vietnam. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan sehingga turun dari rata rata 5% menjadi 1,3%. 

Tanggal 14 Agustus di tahun 1998, Bu Sri Mulyani bertemu Pak Jokowi. Bu Sri ekonom yang diundang dalam sebuah seminar di Solo. Diminta menjelaskan tentang krisis ekonomi yang terjadi saat itu dan bagaimana menyelamatkan ekonomi Indonesia ke depan. Pengundang dan sponsor acaranya pengusaha meubel, yang sedang membuka peluang ekspor furniture ke mancanegara, pak Jokowi. Krisis waktu itu menjadi berkah bagi eksportir, karena penerimaan ekspor naik enam kali lipat.

Siapa yang mengira 22 tahun kemudian, dua orang itu dipertemukan kembali untuk menghadapi krisis ekonomi. Pak Jokowi Presiden Republik Indonesia, Sri Mulyani menjadi menteri keuangan. Dengan posisi yang berbeda, presiden Jokowi sekarang berupaya mengatasi krisis akibat Covid-19. Program ekonomi terus digenjot untuk membantu masyarakat. Anggaran belanja negara tahun 2020 ditata ulang untuk bersiap menanggulangi krisis. Program pemulihan usaha kecil dan menengah ditingkatkan untuk menumbuhkan kembali perekonomian.

Beruntung negara ini krisis datang setelah pemilihan umum, setelah even politik telah terlewati. Disaat sebagian besar suksesi kepemimpinan di banyak wilayah dan daerah sudah selesai. Gonjang ganjing politik sudah berlalu. Pada saat menghadapi krisis pandemi covid-19, fragmentasi dan friksi dalam masyarakat sudah mulai mereda, sehingga tidak memberikan beban terlampau berat kepada krisis kesehatan. 

Meskipun kritik bertubi tubi terkait respon awal terhadap pandemi dan penanganan pandemi yang setangah hati. Lambat karantina terbatas, cepat new normal. Gontok gontokan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun pada ahirnya, bangsa ini dapat melewatkan sebagian perjalanan dengan kondisi yang relatif baik. 

Singapura yang lockdown berulang kali, ekonominya tertekan dan dengan cepat memasuki resesi. Malaysia yang menerapkan penguncian wilayah juga mengalami nasib yang sama, ekonominya tertekan, meski tekanannya tidak sekuat yang dialami oleh Singapura. Thailand yang menerapkan strategi sama, juga mengalami tekanan ekonomi kuat, pengangguran meningkat, ekonominya limbung. Pilipina setali tiga uang dengan Malaysia, akibat lockdown yang sangat ketat sampai melibatkan militer, negara itu dapat mengerem laju krisis kesehatan tapi tidak dapat menghindar dari dampak ekonominya. Vietnam dengan strategi yang berbeda, melakukan pencegahan penularan virus dengan sangat ketat, pemeriksaan kesehatan yang tinggi walaupun tidak memperlakukan lockdown. Tingkat penularan yang rendah, tetapi di ahir krisis negara yang lain Vietnam malah mengalami peningkatan penularan dan pelemahan ekonomi secara dahsyat.

Pandemi covid-19 telah memberikan pengaruh krisis ekonomi secara meluas dan merata. Nyaris tidak ada satupun negara di dunia ini yang mengalami krisis ekonomi, termasuk negara negara kuat seperti Tiongkok dan China. Kita seharusnya tetap bersukur dan berbuat lebih untuk segera bersama sama keluar dari krisis. Apa yang terjadi di negeri ini tidak sengeri yang diperkirakan. Penularan dan jumlah korban akibat virus tidak sedikit, tetapi bila dibandingkan dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia, angka yang relatif kecil. Aktifitas ekonomi sudah dijalankan secara kreatif, menyesuaikan dengan pandemi yang belum sepenuhnya pergi.

Tanda tanda optimisme sudah mulai terbit. Bandara sudah dibuka. Perjalanan antar daerah meskipun masih terbatas tapi sudah mulai lancar. Belum semuanya pulih, tapi tanda tanda kehidupan sudah mulai berjalan.

Sangaji Ternate 

22 Agustus 2020

#105


Kamis, 20 Agustus 2020

Tionghoa Peranakan

 Oleh Syaifuddin

Rasulullah Muhammad Saw., adalah manusia pilihan, hamba Allah dan utusan Nya, sosok manusia dengan penuh teladan. Pergaulannya dengan sesama manusia, cara menghormati sesama manusia, meskipun berbeda agama layak dijadikan teladan. Suatu ketika Rasulullah berhenti berdiri khidmat menghormati jenazah orang Yahudi yang sedang diusung menuju ke sebuah pemakaman. 

Masyhur sebuah kisah relasi Nabi dengan seorang Yahudi. Di masa Nabi, tinggallah seorang pengemis Yahudi buta yang tinggal di pojok sebuah pasar. Entah apa yang dirasakannya, sehingga selalu kampanye negatif tentang Muhammad, bahkan melarang siapapun untuk mendekat. Sebagai manusia yang mulia ahlaknya, Nabi tidak pernah memasukkan ke dalam hati kelakuan si pengemis ini. Setiap pagi Nabi menyempatkan menyuapi pengemis buta dengan penuh kasih sayang. Itu dilakukan sampai wafatnya Baginda. Ketika Rasulullah sudah berpulang, Sayyidina Abu Bakar bertanya kepada Aisyah kebiasaan Nabi yang luput dari pengamatan para sahabatnya. Maka Abu Bakarpun mencoba mengikuti jejak Nabi menyuapi si Yahudi di pojok pasar.

Saat suapan pertama, masuk ke mulutnya, pengemis bertanya, kau siapa? Aku orang yang biasanya menyuapimu. Pengemis bilang tidak. Orang yang biasa menyuapiku, tidak seperti ini, ia menyuapiku dengan lembut, makanan sebelum dimasukkan ke mulutku dikunyahnya terlebih dahulu. Abu Bakar tidak dapat menahan rasa sedihnya, dengan berlinangan air mata menjelaskan kepada pengemis. Ketahuilah bapak tua, orang yang biasanya menyuapimu adalah Muhammad, dan dia telah wafat. Si Yahudi merasa haru, terguncang jiwanya, tersentuh kemanusiaannya, kagum dengan agungnya budi pekerti Rasul. Orang yang selalu dihina, bahkan di depan yang bersangkutan, tidak sakit hati bahkan sepanjang sisa hidupnya berbuat baik untuk orang yang selalu memfitnahnya.

Dari cerita ini kita tahu bahwa lingkungan hidup Nabi di Madinah adalah kosmopolit, tidak ada segregeasi berdasarkan suku, ras, agama dan golongan. Kaum muslimin bercampur dengan masyarakat non muslim. Nabi dan para pengikutnya berbisnis, bertransaksi dengan siapapun. Kehidupan masyarakat muslim, kalau kita baca sirah, sejarah, tarikh mulai dari masa kepemimpinan Nabi sampai masa masa kemajuan dunia Islam, pusat pusat peradaban itu bersifat multikultural. Cara cara hidup yang kita jalani saat ini dengan beragam agama, suku, bangsa dan bahasa adalah hal yang biasa. Nabi berinteraksi dengan sesama masyarakat lainnya secara inklusif.

Bagaimana seharusnya pola hubungan masyarakat sebaiknya mengikuti teladan Nabi. Nabi tidak hidup dalam perkampungan muslim secara eksklusif dan hanya bermuamalah dengan orang orang Islam. Nabi memberi teladan, bagaimana membentuk masyarakat, memberi contoh dalam bergaul dengan sesama manusia dalam berbagai suku, ras agama dan golongan. Sesungguhnya bangunan relasi kita sangat ditentukan oleh bagaimana sikap saling mengenali dan memahami perbedaan. Tak kenal maka tak sayang. Munculnya prasangka, timbulnya sikap curiga karena kurang saling mengenal.

Sebagai muslim, sebagaimana pengalaman saya, pemahaman kita sangat ditentukan oleh interaksi. Dulu,  saya merasa punya jarak dengan etnis Tionghoa, kaarena di lingkungan desa saya tidak ada Tionghoa, begitupula dengan etnis lain. Lambat laun persepsi itu berubah seiring dengan pergaulan dan lingkungan, prasangka itu lama lama menjadi pemahaman yang lebih baik, setelah saling mengenal. 

Tetangga saya pertama saat masih tinggal di kontrakan adalah perempuan Tionghoa muslim. Walaupun sesama muslim ternyata terasa berbeda pada awalnya. Adat istiadat, cara berbicara orang Jawa dengan orang Tionghoa bertolak belakang. Interaksi setiap hari kemudian menciptakan tenggang rasa. Dua puluh tahun berlalu masih sering silaturahmi, walaupun tidak bertemu langsung. Masih saling bertukar kabar, meskipun si Noniknya tinggal di Hawai.

Setelah pindah rumah, tetangganya lebih pelangi lagi. Mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk belajar menghargai perbedaan. Menerima perbedaan sebagai anugerah. Karena Allah sengaja membuat keragaman dan perbedaan, jika mau mudah bagi Nya membuat umat ini menjadi satu. Kanan  rumah saya Tionghoa, ada Bu Yulia, menantunya mas David, cucunya Mathew. Kiri rumah saudara saya dari NTT Om Yustinus Fabiano Tibo yang semua keluarganya nasrani. Anaknya lelaki satu satunya mas Yanus, kalau tahlilan ikut melafalkan tanpa teks yasin dan tahlil, hafal dan lancar sekali. Cucunya Alfonso biasa bermain dengan anak anak saya. Menantunya, mbak Lusi juga saling bantu jualan, membantu kelahiran anak anak saya di klinik.

Saya merasa Rasul manusia idola, begitu indahnya berinteraksi dengan Yahudi yang miskin, buta dan nyinyir, tak pernah berhenti memfitnah, tapi Rasul memperlakukannya dengan penuh kasih, menyuapinya tiap pagi. Mengapa saya tidak mengikuti cara beliau. Agama bukan pemisah, agama adalah perekat kemanusiaan. Allah jadikan menausia bersuku suku dan berbangsa bangsa supaya saling mengenal.

Di lingkungan yang baru saya lebih mengenal indahnya perbedaan. Meskipun saya takut anjing tapi tidak mengurangi interaksi dengan tetangga tetangga saya yang baik hati lagi suka menolong. Lebar mata kami berbeda, warna kulit gradasinya jauh, tahlilannya lain, adat istiadatnya tidak sama, dengan saling mengenali, prasangka menjadi hilang. Dengan saling mengenal kita belajar bertenggang rasa. Perbedaan membuat hidup kita lebih berwarna.

Bila tidak mengenal dekat dengan saudara saya yang Tionghoa mungkin prasangka saya yang lama akan tetap bertahan. Itu pula yang dilakukan oleh junjungan kita Rasulullah. Nabi tidak menciptakan penduduk Madinal al-Munawar terklaster klaster berdasarkan agama dan ras. Kalau sejarah pernah mendokumentasikan pengusiran beberapa klan Yahudi dari Madinah, itu tidak disebabkan perbedaan agama. Pengusiran itu buntut dari pelanggaran dan penghianatan mereka terhadap kesepakatan atau perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Pemahaman terhadap budaya Tionghoa makin membaik setelah bertemu dengan mbak Yuyun. Saudari saya ini beda agama, beda ras, beda suku, tapi banyak membantu keluarga kami. Bersaudara layaknya kerabat sendiri. Bu Yuyun, seorang peranakan Tionghoa Kediri dengan pergaulan sangat luas lintas kota, lintas propinsi lintas negara. Hampir di seluruh wilayah nusantara ada teman dan saudaranya, beberapa kerabatnya juga tinggal di Ternate. Dari mbak Yuyun, saya tahu betapa luas dan kuatnya ikatan masyarakat Tionghoa, tapi tentu saja ada friksi dan faksi. Sesuatu yang lumrah dalam masyarakat manapun. Pertemuan pertemuan kami sering menjadi silaturahmi kebudayaan.

Dengan lugas dia nyatakan tidak setuju, waktu anak saya yang pertama saya kirim ke Pondok Gontor. Dia takut lulusan pondok ini nanti yang akan bermusuhan dan membasmi orang orang Tionghoa. Tersenyum saya mendengarnya. Dan ahirnya dari waktu ke waktu rasa takutnya menjadi rasa percaya. Bahkan mbak Yuyun sering mengunjungi (mudif) waktu anak anak di Gontor. Dia kagum dengan banyaknya bahasa yang diajarkan, kedisiplinan, etika pergaulan santri dan kerapian manajemen pondok modern Darussalam Gontor. Setiap liburan pondok pasti diingatkan untuk berkunjung ke rumah usahanya.

Prasangkanya terhadap Islam, kepada santri, karena didasarkan informasi terbatas yang berkembang di media yang bias, kadang kadang penuh framing. Keterbatasan interaksi dan pergaulan dari sumber informasi yang lebih akurat menjadi sebab. Dengan bebas, dia bisa bertanya kepada saya tentang Islam, karena saya tidak akan tersinggung terhadap pernyataan karena tidak tahu.

Dari cerita ceritanya saya menjadi tahu, tidak semua Tionghoa beragama Nasrani. Ada yang Konghucu, Budha dan Muslim. Kakak sepupunya pak Aling adalah Tionghoa muslim, dulu supir Kyai Pondok Lirboyo, kemudian diambil menantu seorang Kyai dari pondok Mojo Kediri. Pak Aling pengusaha travel yang maju dan menjadi bendahara partai yang berafiliasi ke NU. Darinya saya tahu ikatan kekeluargaan sesama Tionghoa tetap kuat walaupun berbeda beda agama. Selama hampir 20 tahun mengikuti naik turunnya bisnis restoran dan katering yang dihadapi oleh mbak Yuyun, dan bagaimana ulet dan tekunnya orang Tionghoa dalam berbisnis.

Tidak sedikit dan kecil hambatan dan rintangan dalam bisnis, termasuk diskriminasi. Tetapi selalu punya cara untuk menaklukkan rintangan dan hambatan. Pernah diusir dari restoran yang dikontrak karena persaingan bisnis. Mendapat lokasi yang dipinggiran sehingga restorannya sepi. Hikmahnya kateringnya jadi ramai orderan. Dikerjai pejabat pada penanganan katering PON Jawa Timur. Merevitalisasi tanah PT. KAI sehingga menjadi restoran yang ramai lagi. Disiplin dan kreatif membuat inovasi kuliner nusantara. Membangun jaringan dengan penguasaha pengusaha kecil. Karyawan dan mitra bisnis usaha kecilnya ratusan. Biasanya merayakan kebersamaan dengan 2-3 bus berdarmawisata. Cara mengelola karyawan dan mitra bisnis sangat manusiawi dan menghargai.

Pernah punya ART seorang bibik yang saking lamanya sampai menjadi nenek. Karena sudah merasa tua Simbok ini berhenti, istirahat di rumah. Selama Simbok lanjut usia sudah diperlakukan sebagai warga senior di rumah itu, tidak diberikan beban rumah tangga. Menemani ibunya mbak Yuyun. Setelah beberapa bulan di rumah Simbok minta ijin kembali ke rumah semangnya dan diijinkan, karena pada awalnya yang ingin pulang Simbok sendiri. Dan masih banyak karyawannya yang bertahan lama karena perlakuan bos yang sangat baik. Ada nilai kekuatan persaudaraan warga Tionghoa, yang tidak saya ketahui sebelumnya.

Pada hari hari besar masyarakat Tionghoa mbak Yuyun memperkenalkan kami dengan budaya Tionghoa terutama kulinernya. Diperkenalkan kami dengan dimsum, lontong capgomeh, manisan buah, kue keranjang, cara menggunakan sumpit. Anak anakpun dapat berinteraksi secara terbuka secara kekeluargaan tanpa takut menyinggung perasaan. Di sini interaksi memegang peran penting membuka dialog pemikiran dan kebudayaan. Kemauan untuk saling mengerti dan memahami. Bersedia menerima perbedaan.

Menarik mengamati apa yang dilakukan oleh Azmi Abubakar, pemuda Aceh yang mau menekuni interaksi sehat antar budaya. Ihtiar lita’rafu dengan mendirikan Musium Pustaka Peranakan Tionghoa di Tangerang Selatan. Azmi menggali eksistensi dan kontribusi masyarakat Tionghoa yang tenggelam oleh berbagai sebab. Langkah yang elegan, dan mengundang kekaguman, karena dilakukan oleh mayoritas terhadap yang dianggap minoritas. Muslim dan Tionghoa nyaris seperti minyak dan air, tak kan pernah menyatu di republik ini. Stigma yang terlanjur kaprah. Kalau yang melakukan usaha ini peranakan Tionghoa, meskipun muslim menjadi hal biasa. Tapi karena yang melakukan ini muslim dari Aceh, mengangkat hazanah Tionghoa peranakan, usahanya menjadi luar biasa.

Melalui musium peranakan Azmi melakukan inventarisir dan mempublish apa yang seharusnya. Misalnya dalam momen perayaan kemerdekaan 17 Agustus, secara tidak sadar kita bersikap diskriminatif terhadap saudara kita peranakan. Azmi mengangkat para pahlawan yang tenggelam ditelan sejarah dan stigma. Orang semua tahun Pangeran Diponegoro, Bung Karno, Bung Hatta, Tuanku Imam Bonjol, Kapitan Patimura, Sam Ratulangi, Sultan Hasanuddin. Tapi apakah kita tahu tentang Tjoei Bou San, Lie Eng Hok, John Lie, Sho Bun Seng, Ferry Sie King Lien, Tjia Giok Thwam. Kita saja mungkin sering salah dalam menulisnya. Mudah mudahan tidak salah ketik nama pak Kwik Kian Gie.

Para pahlawan perempuan ada RA. Kartini, H. Rasuna Said, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Cut Nya’ Dien, Martha Christina Tiahahu. Tapi diantara kita siapakah yang mengenal The Sin Nio, seorang pejuang perempuan dari Wonosobo, prajurit yang di ahir hayatnya terlunta lunta di Jakarta, dan meninggal sebagai tuna wisma yang tinggal di gubuk dekat rel kereta api. Pejuang dari Wonosobo ini, Sin Nio profilnya diekspose oleh Azmi pada momen peringatan kemerdekaan tahun lalu. Prajurit perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18, dengan gagah berani bersenjatakan golok dan bambu runcing kerap berada di front depan melawan penjajah Belanda. Dengan ketekunan dan kesabarannya setahun kemudian media mainstream mulai memberitakan. TNI menelusuri jejak prajurit perempuan. Ada usaha pemerintah untuk mengembalikan harkat dan martabat pejuang wanita ini.

Sebagai sebuah bangsa kita direkatkan oleh pelbagai perbedaan. Kita punya nilai pemersatu yang dijadikan pegangan bersama Bhineka Tunggal Ika, berbeda beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan menjadikan kita saling melengkapi. Dijadikan manusia bersuku suku dan berbangsa bangsa supaya saling ta’aruf.

Khidmat Jumat Keramat

21 Agustus 2020

#104


Hijrah Literasi : Dari Gelap Menuju Terang

 Oleh Syaifuddin

Hijrah adalah perjuangan. Hijrah bukan sekedar keluar dari negeri kufar menuju negeri Islam. Kalender Hijriah oleh Khalifah Umar dimulai pada tahun hijrah bukan pada tahun fathul Makkah supaya menjadi kesadaran kolektif umat Islam sepanjang masa. Tahun migrasi kaum muslimin adalah tahun perjuangan, sedangkan futuh Makkah adalah tahun kemenangan. Memilih spirit perjuangan sebagai penanda waktu untuk selalu mengingatkan bahwa di sepanjang hidup orang beriman adalah perjuangan. Perjuangan tidak pernah usai, berlangsung terus sepanjang masa sejak dimulai.

Spirit perjuangan sebagai semangat hijrah selaras dengan firman Allah dalam QS Al-Syarh:7 :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain. Literasi, perjuangan meningkatkan pemahaman, ihtiar memperbaiki pemahaman umat adalah usaha yang tidak pernah mengenal titik ahir. Menulis tidak mengenal kita selesai, selama kehidupan manusia masih berlangsung. Selesai menulis hari ini akan berlanjut pada esok hari, bersambung pada masa lusa dan seterusnya, sambung menyambung. Selesai satu urusan dilanjutkan dengan urusan lain, selesai satu tulisan dilanjutkan dengan tulisan lain. Itulah spirit perjuangan, makna perjuangan, menulis adalah perjuangan tiada henti.

Mengambil pelajaran dari semangat hijrah yang berdekatan dengan peringatan kemerdekaan RI ke 75, keduanya diikat oleh kesamaan semangat, yaitu perjuangan. Bila kemerdekaan itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan, pengorbanan jiwa, darah, harta dan air mata, maka tahun baru hijriah memberi semangat bahwa perjuangan tidak pernah berhenti.

Umat Islam di awal membangun peradaban unggul, yang dimulai dari Nabi sampai Khulafa’ al Rasyidin tidak menggunakan fathul makkah (kebebasan Makkah/kemenangan Islam) sebagai penanda waktu dari peradaban Islam. Memberikan pesan kuat, bahwa peradaban Islam itu tidak dibangun oleh kemenangan demi kemenangan, atau pembebasan demi pembebasan. Islam akan terus menjadi pola hidup, gaya hidup, nafas hidup, menjadi rahmatan lil’alamin, bila terus diperjuangkan.

Seperti juga halnya menulis dan literasi, adalah perjuangan mengabarkan dan mencerahkan, tidak mengenal kata ahir. Menulis adalah menghubungkan dari satu titik ke titik lainnya. Mengabarkan kebaikan dari masa menuju masa berikutnya. Mengkristalkan pengetahuan, hikmah dan pengajaran dari waktu ke waktu, sehingga dapat dibaca, dipelajari dan diambil hikmahnya oleh orang di tempat dan di masa yang lain. Tanpa tulisan yang berfungsi sebagai pelestarian warisan pengetahuan dari masa ke masa, mungkin peradaban manusia sudah lama punah, atau berjalan di tempat.

Hijrah bukan lari dari masyakat kufur, karena di Madinah juga banyak ditemukan orang kufur. Hijrah tidak diartikan sebagai meninggalkan yang sulit menuju yang mudah, karena perjuangan di Madinah tidak kalah sulitnya dibandingkan Makkah. Hijrah adalah membuka peluang kebaikan, dari masyarakat yang kaku dan individual menuju masyarakat yang bermusyawarah dan bekerjasama. Keluar dari masyarakat yang keras menuju masyarakat yang lembut sebagaimana firman Allah Swt.:


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS Ali Imran : 159

Hijrah adalah migrasi dari masyarakat yang tersegregasi kelas sosialnya menuju masyarakat yang egaliter. Madinah negeri hijrah, seiring waktu menjadi masyarakat madani, berperadaban, adil saling bekerjasama namun semangat hijrah tidak pernah padam.

Ketika Rasulullah masih hidup, sahabat bernama Mujasyi’ ibn Mas’ud menghadap kepada nabi untuk berbai’at hijrah. Beliau bersabda: “Hijrah sudah berlalu bersama orang orang yang telah melakukannya. Baitlah untuk Islam, jihad dan berbuat kebaikan. Sejak saat itu hijrah yang secara fisik telah bermetamarfosa menjadi hijrah spiritual. “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Makna hijrah dengan demikian tumbuh menjadi semangat perubahan, perubahan yang dilewati dengan perjuangan, usaha yang tiada henti, dilakukan dengan bersungguh sungguh. Setelah futuh Makkah, para ahli hikmah memaknai hijrah sebagai hijrah sughra (kecil) dan hijrah kubra (besar). Hijrah kecil adalah pindahnya tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain untuk tujuan perbaikan dan perubahan. Hijrah besar adalah hijrahnya jiwa manusia dari kebiasaan buruk yang selama ini terus dilakukan. Pemaknaan yang senafas dengan transisi dari jihad kecil kepada jihad besar.

Ibnu Ajibah sufi Maroko dalam kitab Iqazul Imam memaknai hijrah dalah tiga aras. Pertama, hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Kedua, hijrah dari negeri kealpaan menuju negeri kesadaran. Ketiga, dari negeri jasmani menuju negeri ruhani.

Sebagai bagian masyarakat yang hidup dalam jagat maya yang berkelimpahan informasi maka tugas kepenulisan menjadi lebih penting dan wajib. Orang orang jahat yang menguasai informasi, memutarbalikkan fakta, penulisa penulis berbayar yang menguasai jagat media baik mainstream maupun sosial adalah tantangan masa kini. Kalau orang orang baik tidak menulis, atau jarang menulis, atau malas menulis. 

Apabila orang orang yang waras tidak menjadikan menulis sebagai jalan perjuangan, yang harus digelorakan setiap waktu. Maka dunia kita akan dikuasai fitnah, jagat media kita akan dipenuhi informasi sesat. Informasi sesat yang diulang ulang, diperkaya dan dipercanggih pada ahirnya dianggap sebagai kebenaran. Informasi benar, ilmu yang lurus akan tenggelam, terpinggirkan. Kebenaran akan menjadi aneh, menjadi asing, karena kurang disuarakan. Orang akan berpegang pada pendapat umum, walaupun pendapat umum itu salah, karena pendapat yang benar tidak bersuara, tulisan kebenaran tidak ada. Bila kesesatan menguasai dunia wacana, tulisan salah memenuhi benak publik dengan cahaya, maka itu adalah cahaya api yang akan memakan, membumihanguskan peradaban.

Maka jadikanlah momentum hijrah, menyadarkan, mengingatkan kembali hakekat perjuangan yang tidak boleh berhenti, tidak boleh usai. Kebebasan ditentukan waktunya, tapi perjuangan tidak mengenal usai. Teruslah berjuang, teruslah menulis.


 

Sangaji Ternate 

20 Agustus 2020

#103


Selasa, 18 Agustus 2020

Literasi Merdeka

Oleh Syaifuddin

Kita telah diberikan nikmat kemerdekaan. Kebebasan untu menulis. Menulis  tidak dihalangi, tidak dilarang. Ada banyak kesempatan dan media untuk menulis. Kebebasan untuk menulis apakah akan selalu ada? Selama kita mau, kesempatan untuk menulis terbuka luas. Seharusnya kesempatan yang luas untuk menulis, menjadi momentum pengembangan pengetahuan. Maka kesempatan yang tidak akan datang dua kali dalam peradaban kita. Kemerdekaan dan kebebasan pengetahuan  akan menjadi sia sia, apabila kemerdekaan ini tidak dimanfaatkan untuk menulis dalam jangka panjang. 

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak diselesaikan dalam satu hari pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan Indonesia merdeka diupayakan setiap hari selama ribuan hari, berpuluh bahkan ratusan tahun sebelumnya. Perang Diponegoro di Jawa, perang Padri di Sumatera Barat, Perang Aceh, Pemberontakan Sultan Nuku di Tidore, Perlawanan Sultan Baabullah dan Sultan Khairun di Ternate, Perlawanan Kapitan Patimura di Saparua Maluku, Perang Sultan Hasanuddin di Sulawesi adalah perjuangan yang tidak sehari dua hari. Perjuangan berabad abad.

Perencanaan Indonesia merdeka sebagai satu kesatuan kebudayaan masyarakat nusantara sudah dirancang, direncananakan 55 sejak Indonesia dalam genggaman dan gangguan bangsa asing. Di permulaan abad 20 dirancang organisasi modern seperti syarikat Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama’. Itu adalah beberapa instrumen membangun kesejahteraan bumi putera menuju kemerdekaan. 

Perjuangan mencapai Indonesia merdeka dilakukan setiap hari, setiap saat, secara konsisten, terencana dan dilakukan oleh seluruh elemen bangsa. Usaha menuju Indonesia merdeka adalah perjuangan panjang dilakukan tanpa pandang suku, ras dan agama. Semuanya berjuang dengan caranya, dari tempatnya masing-masing, menurut masanya, saling bekerjasama bahu membahu. Tidak didapat dengan bim salabim, abracadabra. Bukan hadiah. Tapi didapatkan dengan pengorbanan jutaan jiwa, air mata, keringat dan darah.

Perjuangan itu maknanya dalam, dilakukan dengan penuh pengorbanan, ditempuh dengan sungguh sungguh dalam waktu yang panjang. Perjuangan memerdekakan sama berat dan pentingnya dengan perjuangan mengisi kemerdekaan. Memajukan pengetahuan adalah jalan paling lurus untuk mengisi kemerdekaan. Literasi dan menulis adalah jalan yang tidak bisa dihindarkan untuk mewarnai kemerdekaan. Dua hal yang tidak mudah didapatkan pada masa penjajahan atau pada masa dalam rongrongan bangsa lain. Menulis adalah ihtiar yang tidak kalah heroik dan pentingnya dengan perjuangan kemerdekaan. Menulis yang bersungguh sungguh dengan penuh pengorbanan, dilakukan terus menerus dalam jangka panjang. Inilah usaha yang sepadan dengan makna perjuangan mencapai Indonesia merdeka.

Menulis yang bersungguh sungguh, dan diniatkan untuk perjuangan membuat suluh peradaban harus dilakukan dengan perencanaan. Setiap menulis apakah artikel, cerita pendek, cerita bersambung, buku, buku seri, ensiklopedi semuanya dimulai dari perencanaan. Tanpa perencanaan kita tidak akan ke mana mana atau akan ke mana mana tidak punya ujung. Untuk membuat novel anda harus menulis 40.000-200.000 kata, untuk membuat cerpen 3.000-5.000 kata, lebih dari 20.000 kata menjadi cerita bersambung, artikel jurnal 5.000-10.000 kata, abstrak 150-200 kata dan seterusnya. Untuk menghasilkan tulisan yang terarah harus dimulai dari perencanaan. Merencanakan menulis untuk siapa, temanya apa, bentuknya apa, tujuannya apa, bagaimana cara menulisnya. Tanpa perencanaan, kita tidak tahu kapan memulai menulis dan bingung kapan mengahiri.

Semakin jauh perjalanan, semakin lama menulis, semakin tebal jumlah halaman, memerlukan perencanaan yang lebih besar, detail. Sebaliknya untuk tulisan yang pendek seperti artikel, opini essai, atau tulisan yang diposting di blog dengan jumlah 500 kata mungkin perencanaan diletakkan di kepala, cukup dibayangkan, diolah, dituangkan dalam tulisan, selesai. Untuk melakukan perjalanan haji di negeri yang jauh untuk waktu yang lama, diperlukan perencanaan yang detail, mulai dari biaya, perlengkapan, ihram di mana, menginap di mana, membawa pakaian berapa, apa saja yang akan dikerjakan, persiapan fisik, kesehatan semuanya direncanakan secara detail. Berbeda dengan pergi ke pasar untuk membeli sembako, perencanaan bisa dilakukan sambil mempersiapkan kendaraan waktu akan pergi ke pasar. 

Pak Cahyadi menyarankan. Rencana menulis harus dibuat untuk jangka panjang, enam bulan, 12 bulan bahkan 60 bulan. Untuk menulis buku Wonderful Family, pak Cah sudah merencanakan menulis 10 seri buku yang akan dikerjakan selama 5 tahun. Setiap tahun dua buku terbit, dan sekarang sudah tahun keempat, dan telah terbit delapan buku serial Wonderful Family. Ini contoh penulisan jangka panjang, sudah direncanakan dengan detail sejak dari awal.

Manfaat membuat perencanaan menulis. Pertama, membuat menulis mempunyai arah, logis dan sistematis. Poin poin tulisan sudah disusun dalam bentuk outline, secara sederhana ataupun detail. Tulisan dalam genre apapun mempunyai standar yang sama yaitu sistematis dan logis. Outline, kerangka tulisan, plot, sistematika adalah bentuk perencanaan tulisan. Dengan outline tulisan yang panjang akan terurai secara urut. Logis dan sistematis. Dengan sistematika penulisan, disertasi yang berjumlah ratusan halaman tetap mempunyai struktur penulisan yang sistematis dan logis sehingga bisa dibuat ringkasan dan abstraknya dalam jumlah kata yang lebih sedikit.

Kedua, tulisan menjadi utuh dan berkualitas. Dengan perencanaan menulis yang baik gagasan tersaji dengan format yang utuh, lengkap dan tuntas. Penulis pun dengan mudah melakukan perbaikan terhadap karya sebelum dipublikasikan berdasarkan perencanaan outline yang dibuat. Perubahan yang dilakukan berdasarkan outline atau rencana menulis juga berdasarkan pertimbangan yang logis sebagai koreksi atau penyempurnaan. Karenanya dengan rencana menulis tulisan menjadi lebih berkualitas.

Ketiga, memudahkan dalam menentukan bahan dan sumber rujukan atau referensi tulisan. Dengan adanya outline, penulis sudah tahun jenis bacaan atau referensi seperti apa yang akan diperlukan, seberapa banyak dan dengan bobot seperti apa. Menulis karya ilmiah jurnal internasional bereputasi, tentu harus dengan menggunakan referensi pada bobot yang sama atau yang lebih tinggi. Menurunkan derajad kualitas disertasi jika referensinya tesis atau sumber rujukan yang bobotnya lebih rendah. Langkah ini hanya bisa dikerjakan bila penulisan dimulai dengan perencanaan.

Keempat, manfaatnya dapat memperkirakan waktu yang logis untuk mengerjakan sebuah tulisan. Buku dengan standar 200 halaman bisa dikerjakan lima puluh hari bila kita mempunyai kemampuan menulis satu hari empat halaman. Karena kemampuan menulis baik dengan bahan untuk menulis lengkap, dan waktu yang cukup longgar, maka menulis buku dalam waktu 10 hari dimungkinkan. Berarti dalam satu hari harus mampu menulis minimal 20 halaman. Semuanya serba mungkin tergantung kemampuan, faktor faktor pendukung dan situasi. Disinilah perencanaan mempunyai peranan, menyesuaikan sesuai dengan kadar kemampuan masing masing.

Kelima, dengan perencanaan yang baik bisa membantu memperkirakan kemampuan kita sebagai penulis. Berdasarkan rencana dan implementasi kita bisa melakukan pengukuran sampai batas mana kemampuan kita untuk menulis. Dapat pula dijadikan bahan evaluasi, kekurangan dan kelebihan antara perencanaan dengan implementasi untuk merencanakan tulisan tulisan berikutnya.

Sangaji Ternate 

19 Agustus 2020

#102


Senin, 17 Agustus 2020

100 Hari Non Stop

 Oleh Syaifuddin


Menulis setiap hari mudah atau sulit? Sebelum mempraktikkan menulis sendiri, membayangkan para wartawan, jurnalis, kolumnis dan ilmuwan yang menulis secara rutin setiap hari selama bertahun tahun, sesuatu yang mustahil. Membayangkan saja sudah stress. Melihat kesibukan yang luar biasa para wartawan cetak yang mengejar deadline jam sepuluh malam di Graha Pena, kantor redaksi Jawa Pos rasanya ngilu. Pagi sampai sore menghimpun informasi sore menulis dan mengirimkan ke redaktur. Bersiap siaga sampai berita naik cetak, mengulang demikian seterusnya setiap hari. Betapa tidak nyamannya hidup dalam tekanan deadline menulis setiap hari. Itu bayangan saya.

Di media sosial juga demikian. Saya membaca tulisan yang hadir setiap pagi di beranda selama bertahun tahun. Bayangan kesulitan yang muncul di benak saya. Kapan mengumpulkan bahan, kapan menganalisanya. Sedemikian kuat stamina membaca, berpikir dan menulis. Mengagumkan. Beberapa tahun terahir saya membaca tulisan pak Dahlan Iskan di Disway yang nyaris tanpa jeda, dengan tulisan tulisan bernas, ditengah kondisi penulis yang sudah pernah operasi besar, dengan ‘hati’ cangkokan. Itu berlangsung setiap hari dan berlangsung bertahun tahun dengan ajeg. Ajeg kualitas, ajeg waktu dan ajeg terbit.

Siapapun dengan kesungguhan mungkin bisa menempuh langkah yang sama. Perlu jam terbang, perlu lebih banyak belajar, perlu keteguhan hati. Untuk itu saya mencoba dalam beberapa hari ini untuk menulis setiap hari. Saya niatkan untuk belajar, saya niatkan untuk mencari ilmu, memberi manfaat. Ihtiar memperbaiki diri, mempraktikkan ilmu yang sudah dipelajari bertahun tahun mulai dari sekolah dasar sampai sekolah atap.

Ketimbang mengagumi karya orang lain dan membayangkan kesulitan dan kemustahilan yang dikerjakan oleh orang orang hebat lainnya, mengapa saya tidak melakukan eksperimen terhadap diri saya sendiri. Ada banyak sekali manfaat dan kebaikan yang saya rasakan dengan menulis setiap hari. Seperti para ‘Salikin” yang melakukan perjalanan spiritual untuk mencari kebenaran dan mencari kesejatian, perjalanan saya masih pendek. Seperti ujaran ‘konsistensi lebih utama daripada keramat’ “al istiqamah afdhalu min alfu al karomah “  maka saya mulai perjalanan keajegan menulis. Ada banyak hikmah yang saya dapat, banyak manfaat yang saya rasakan. Dalam kesempatan ini ada sepuluh kebaikan yang saya dapatkan dengan menulis setiap hari.

Pertama, tanpa jeda membuat menulis lebih ringan. Karena biasanya yang membuat menulis berat itu terjadi pada saat memulai. Kalau tulisan ini yang ke 100, kesulitannya terjadi pada seratus hari yang lalu. Pada saat memulai menulis. Jangan menulis dengan jeda justru saya dapatkan dari kawan kawan yang tidak menjalankan resepnya sendiri. Jeda yang terlalu lama akan membuat jurang semakin dalam dan membuat semakin berat untuk melompat. Makin pendek jeda makin ringan. Kalau tanpa jeda tidak ada beban.

Menulis setiap hari, sebenarnya ditujukan untuk menghilangkan jeda. Karena jeda ini seperti tembok penghalang, makin lama makin tinggi semakin sulit untuk melompati. Dengan meniadakan penghalang, menghilangkan jeda maka menulis akan mengalir terus. Bukan berarti tidak ada hambatan dan rintangan lain, tapi dengan menulis setiap hari halangan jeda tidak ada. Biasanya setelah jeda lama, kesulitan menulis seperti memulai dari awal lagi. Akan berangsur angsur menghilang hambatan menulis itu seiring dengan kebiasaan menulis yang kita lakukan.

Kedua, biasanya orang menulis ditentukan oleh mood. Kalau mood lagi baik, ingin menulis terus, sebanyak banyaknya. Bila tidak ada mood tidak ada hasrat untuk menulis. Baik kalau mood itu rutin datang seminggu sekali atau tiga hari sekali, tapi kalau menunggu sampai beberapa bulan atau beberapa tahun, betapa negatifnya ketergantungan kita pada mood.

Tapi kalau setiap hari kita menulis secara konsisten dan terus menerus, seperti orang yang berkendara di jalan tol dengan kecepatan konstan, tidak perlu energi tambahan untuk ngerem atau ngegas. Mood bagi orang yang menulis secara tetap terjadwal dan konsisten hanya menaik dan menurunkan kualitas tulisan saja. Tidak sampai menghentikan yang bersangkutan untuk berhenti. Mood jika itu benar mempengaruhi minat untuk menulis, sesungguhnya bisa dikondisikan. Bila didukung fasilitas yang memadahi, bahan tulisan yang cukup, kondisi kesehatan yang prima mood bisa diundang.

Bagi saya mood tidak menghentikan saya untuk menulis. Mood berpengaruh terhadap kecepatan menulis, berpengaruh terhadap kualitas tulisan. Selama syarat syarat yang diperlukan untuk menulis terpenuhi, maka pengaruh mood itu kecil sekali dan nyaris tidak ada. Kerapkali masalah atau kegelisahan kita terhadap situasi membuat menulis saya menjadi lancar.

Ketiga, kecepatan menuangkan gagasan dalam rangkaian tulisan mengalami percepatan secara gradual. Di minggu pertama perlu 60 menit untuk mengerjakan 600 karakter, maka tiap minggu makin cepat dan semakin cepat. Sekarang sudah memerlukan waktu rata rata 30 menit dengan jumlah karakter sekitar 700 an. Keterampilan terbentuk sesuai dengan jam terbang dan frekuensi latihan.

Seperti halnya keterampilan lainnya yang dikuasai oleh mahluk berakal, semakin sering dilatih semakin terampil. Keterampilan muncul akibat pengulangan yang konstan. Pikiran manusia juga mempunyai gerakan dan kecepatan. Kalau gerakan dan kecepatan itu dilatih maka otak kita menjadi terbiasa. Jenis tulisan itu ditentukan oleh ragam informasi, tapi prosedur dan sistematika kerja otak kita sudah menyesuaikan dengan standar logis karya tulis yang kita injeksikan ke dalam pikiran.

Lazimnya sebuah kebiasaan, menulispun mengikuti hukum kebiasaan. Kebiasaan menulis yang dilakukan setiap hari pada ahirnya membuat kerja otak kita berlangsung secara reflek, atau seperti otomatis. Sebelum kita menguasai keterampilan nyetir mobil, pikiran dan indera kita harus fokus dan koordinasi antara setir, gas, kopling, pindah gigi dan rem. Secara teori ruwet. Tapi kalau sudah terampil sudah biasa. Untuk belok pun tidak perlu mikir lagi, mata, kaki dan tangan reflek bergerak menyesuikan dengan kebiasaan yang dilakukan ketiga indera tersebut.

Keempat, keajaiban penguasaan bahan tulisan. Dengan menulis setiap hari, maka tantangan untuk mencari berbagai informasi yang relevan dengan tulisan frekuensinya semakin sering. Mengumpulkan bahan melalui membaca menjadi keniscayaan. Keterampilan mengumpulkan dan mengolah bacaan dengan sendirinya meningkat seiring dengan kecepatan menulis. Dalam proses mengumpulkan bahan bacaan penulis akan terpapar dengan beragam tulisan, maka secara tidak sadar tabungan pengetahuan akan meluas dan mendalam. 

Hakekatnya tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri, secara natural ilmu pengetahuan terbentuk secara interkoneksi antar satu dengan lainnya. Tidak ada disiplin ilmu yang berdiri sendiri tanpa dipengaruhi atau mempengaruhi disiplin ilmu. Bangunan ilmu diumpamakan bagai sebuah pohon, masing masing punya fungsi dan saling terhubung. Ada yang berfungsi sebagai akar, daun, batang, cabang, ranting, bunga dan buah. Manfaat menulis harian membuat kita lebih sering terpapar dengan banyak informasi dan pengetahuan baik yang terkait langsung atau yang terkait tidak langsung.

Kelima, kemampuan meningkatkan cara mengorganisir sumber informasi untuk menulis. Manusia adalah pembelajar yang baik. Ketika dihadapkan pada kesulitan, otak manusia mencari solusi. Satu kesulitan menghasilkan banyak jalan keluar. Dengan menulis harian kemampuan mengelola sumber informasi berkembang secara efektif. Metode metode pengumpulan dan pengelolaan informasi kerap kali tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman. 

Ada sementara penulis mengumpulkan dan mensistematisir berbagai sumber referensi sebagai kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung dalam file file yang terorganisir, sehingga ketika kebutuhan untuk mengorganisir kunci kunci informasi itu secara induktif dapat dilakukan secara efektif. Tidak perlu harus menelusuri semua sumber informasi yang mungkin perlu waktu ribuan jam. Dengan cara seperti ini mengorganisir informasi untuk menulis menjadi sangat mudah dan cepat.

Saya memodifikasi berbagai metode pengorganisir informasi disesuaikan dengan kebutuhan jenis karya tulis. Untuk tulisan sederhana, informasinya diorganisir dari beberapa perkembangan terkini dari topik tersebut yang saya kumpulkan dari media media kredibel di internet. Untuk tulisan yang lebih berat dengan standar ilmiah yang lebih rigid, mau tidak mau harus mengumpulkan sumber informasi dari terbitan jurnal ilmiah yang terindeks dan kredibel.

Keenam, lebih mudah menyingkirkan hambatan menulis. Banyak hal yang menggoda pada saat sudah menetapkan diri untuk menulis di waktu, tempat dan media yang sama. Godaan tidak selalu buruk, tapi tidak baik untuk keberlangsungan menulis tertib dan konsisten. Tergoda beralih ke judul baru yang lebih menarik, sehingga kehilangan fokus, tulisan tidak tuntas. Godaan membaca dan menelusuri terus informasi baru di waktu seharusnya menulis. Tiba tiba lebih tertarik mengerjakan tulisan lain, melalaikan kewajiban menulis yang sudah kita tetapkan. 

Tergoda untuk menulis lebih baik dengan standar penulis beken yang sudah menulis puluhan tahun, ribuan artikel seperti Goenawan Muhammad, Dahlan Iskan, Asma Nadia atau Terre Liye. Merasa betapa buruknya tulisan kita, sehingga merasa tulisan kita tidak berguna, buruk sekali. Tergoda untuk melayani atau mengikuti saran penyinyir yang tahunya semua tulisan jelek di matanya, tetapi tidak punya solusi. Godaan godaan itu manis dan bermutu untuk diikuti. Tapi kalau saya ikuti godaan itu, mungkin sudah berhenti pada tulisan keempat, dan menikmati sebagai pembaca, pengkritik, penyinyir, pemalas. Memuaskan diri sebagai penulis kambuhan, pengkritik sadis, penggila bacaan, pengagum karya orang lain dan pelari dari dateline menulis.

Ketujuh, saya lebih mengenali pola dan karakter menulis saya. Setiap orang unik. Setiap orang punya karakter tulisan yang khas, bisa serupa tapi tidak sama. Pada ahirnya penulis akan mempunyai karakter tulisannya sendiri, hasil dari menguji coba dan menjelajah. Sekuat apapun saya mencoba mengimitasi gaya kepenulisan idola saya, pada ahirnya saya akan menemukan gaya yang paling nyaman buat saya sendiri untuk mengungkapkan gagasan. 

Awalnya saya banyak mengoreksi, menyelaraskan dengan gaya pak Dahlan. Kok dirasakan kurang pas, mencoba gaya pak Pram. Lama lama kok serasa terlalu bertele tele. Mencoba gaya pak Renald Kasali, Mbah Nun, Cak Nur. Tapi pada ahirnya saya lelah dengan mengimitasi. Ahirnya, menulis saja yang penting standar penulisannya tidak aneh. Mau nyastra atau bahasa pokrol, santai atau serius yang penting sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Lebih penting menyampaikan isi dulu, soal struktur bahasa yang benar nanti dikoreksi editor, dibetulkan pembaca. Ketimbang berpusing di tata bahasa, tapi tidak ada gagasan atau tulisan utuh yang jadi.

Waktu kapan yang pas untuk saya menulis masih fleksibel, tapi tempat dan media untuk menulis sudah menetap sampai tulisan ke 100. Dan itulah pola menulis harian yang cocok untuk saya. Dengan kewajiban pekerjaan kantor yang berfluktuasi, maka belum ditemukan waktu yang konsisten. Paling sering menulis di jam 19.00 s.d 23.00. Mencatat dan mengumpulkan bahan setiap ada kesempatan di colornote atau di whatsap. Lebih cepat menulis di laptop. Untuk artikel jurnal bereputasi, dimulai dengan membuat kerangka mulai judul, abstrak, pendahuluan, methode, data, pembahasan sampai kesimpulan. Mereview dengan fenomena praktis pada penelitian penelitian mutahir. Melakukan ajusment dan review, translete, proofreading dan seterusnya. Gaya dan karakter yang paling cocok untuk saya, dapat ditemukan setelah menulis berulang ulang hingga ratusan kali setiap hari.

Kedelapan, mengerjakan kewajiban menulis lebih mudah, santai dan cepat. Dahulu kala, di luar waktu mengerjakan tugas ahir (tesis dan disertasi), laporan penelitian, menulis artikel jurnal biasanya tidak pernah membaca dan menulis. Membacapun untuk menikmati, sesantai santainya tanpa target, tanpa tuntutan kewajiban memahami, tanpa membuat catatan catatan penting yang dapat ditelusuri kembali. Biasanya dikerjakan karena ditagih promotor atau dikejar target waktu. Menulis menjadi beban, berpikirnya diseret seret, kualitas ditentukan oleh koreksi promotor atau reviewer penelitian. Kualitas minimalis karena tidak dikerjakan dengan kesungguhan hati dan kesiapan lahir batin.

Setelah menulis setiap hari maka mengerjakan laporan penelitian atau menulis artikel jurnal ilmiah serasa lebih ringan. Karena kebiasaan mengolah data dan menyajikan dalam bentuk tulisan dilatih setiap hari. Mengorganisir informasi, membangun kerangka berpikir, menghubungkan antar bagian, antar sub bab, antar bab dan antar buku dilatih setiap saat sehingga membentuk pola yang memudahkan untuk menyelesaikan tulisan kewajiban.

Kesembilan, banyak ide untuk menulis buku baru atau melanjutkan buku lama yang sering ngetem. Sejak membiasakan menulis setiap hari selain artikel bebas dan artikel tematik, maka kegiatan melanjutkan tulisan yang terhenti bertahun tahun lebih mudah untuk dikerjakan. Tulisan yang sudah ngetem tahunan, berhenti berulang ulang sebelum sampai di bab terahir, ikut terbantu untuk selesai. Karena bahan bahan yang dibaca selama mengerjakan artikel yang bersinggungan dengan outline dan kerangka buku mengingatkan untuk kembali melanjutkan tulisan yang terputus. Bahan bahan yang dibaca memberi inspirasi dan informasi tambahan yang penting untuk melengkapi kekurangan yang ada pada buku yang belum selesai tersebut.

Ide ide baru bermunculan untuk menulis buku yang serumpun dengan buku buku yang sudah diterbitkan atau yang sedang ditulis. Dengan menulis harian, artikel artikel tematik membuat perspektif saya pada sebuah tema semakin mendalam dan meluas. Hal hal inilah yang menginspirasi membuat buku yang lebih sesuai dengan kebutuhan lingkungan akademik saya. Buku buku yang akan saya tulis adalah mengisi kekosongan jenis bacaan di bidang tertentu yang semestinya penting untuk ada, atau buku dengan perspektif baru pada disiplin ilmu serumpun, atau sebuah koreksi terhadapa buku buku yang sudah ada, dan semstinya diluruskan atau diperbaiki.

Kesepuluh mengoreksi tabiat buruk dalam menulis, seperti plagiarisme dan menjahit karya ilmiah. Bagi sebagian besar orang yang bergerak di dunia akademik, sebagai tenaga pendidik atau kependidikan, para birokrat dan guru tentu sudah tahu bagaimana tuntutan kewajiban menghasilkan karya ilmiah dengan berbagai level standar dari yang sederhana sampai ke yang rumit. Tuntutan yang besar tapi tidak diikuti dengan pengembangan diri menguasai keterampilan menulis yang baik, ahirnya terjebak dalam budaya plagiasi, modifikasi karya ilmiah orang lain atau menulis dengan cara menjahit. Menulis seperti menjahit adalah merangkaikan gagasan pikiran banyak orang yang mengikuti bangunan yang kita tetapkan. 

Menulis karya ilmiah yang benar adalah membangun ide gagasan dan kegelisahan akademik kemudian mencari jawaban terhadap pertanyaan itu dengan menggunakan teori atau hasil penelitian termutahir terhadap tema tersebut. Tugas penulis adalah memastikan bahwa sudah melakukan survai terhadap riset riset serupa sehingga tidak terjadi pengulangan. Berdasarkan penelusuran tersebut, penulis menentukan posisi mendukung, menentang, atau memberikan tawaran baru. 

Kalau prosedur menulis diikuti dengan benar, tidak mungkin terjadi pengulangan ide atau bahkan mengcopas karya orang lain. Dengan membiasakan menulis setiap hari yang selalu dimulai dari kegiatan perencanaan tulisan, membuat kerangka, menyiapkan sumber informasi atau data kemudian menuliskannya maka menulis karya ilmiah menjadi lebih mudah. Bukan berarti ‘memudahkan’, memperkecil makna karya ilmiah, tapi karya seilmiah apapun atau tidak seilmiah apapun menggunakan kerangka sistematika dan logika yang sama. Selebihnya hanyalah persoalan keandalan data, ketepatan teori, ketajaman analisis, kesesuaian tema tulisan tema dengan fokus jurnal ilmiah dan mengikuti selingkung (format penulisan).

Yang saya rasakan menulis dengan mengikuti prosedur dan sistematika karya ilmiah lebih mudah dilakukan daripada memodifikasi karya orang lain atau menjahit gagasan orang lain. Mencocok cocokkan banyak pemikiran, karakteristik data dan menyambung nyambungkan selain tidak dibenar dengan standar karya ilmiah, juga membuat kita sering mengalami split pemikiran.

Sepuluh manfaat yang saya dapatkan dengan menulis secara rutin setiap hari, mungkin tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh penulis lain. Pengalaman saya sebagai ‘salik penulis’, seseorang yang melakukan perjalanan ‘ruhani’ kepenulisan akan berbeda dengan ‘salik’ yang lain, tergantung amal perbuatan dan anugerah yang Tuhan berikan kepada kita. Mudah-mudahan sekelumit pengalaman ini bermanfaat dan menginspirasi pembaca untuk menulis setiap hari. Sehingga mengalami pencerahan yang melebihi saya, melahirkan banyak ‘suluh’ pengetahuan dan menggelorakan literasi di sekeliling kita. Tulisan ini juga sebagai penanda dan rasa sukur saya sudah melewatkan menulis sembarangan yang ke 100.


Sangaji Ternate 

18 Agustus 2020

#101