Rabu, 26 Agustus 2020

Gelombang Berkarya

 Oleh Syaifuddin


Membaca sangat diperlukan untuk memberikan input untuk menulis. Membaca dan menulis bagaikan dua sisi literasi yang saling mempengaruhi. Meskipun erat kaitannya memerlukan keterampilan dan penguasaan yang berbeda beda. Pembaca yang baik belum tentu menjadi penulis yang baik. Masing masing perlu latihan dan pembiasaan. Menulis tanpa didukung dengan bacaan yang cukup pada ahirnya, melambat, layu dan tidak berlanjut, seperti motor yang kehabisan bahan bakar. Bacaan adalah salah satu energi dan bahan baku tulisan.

Membaca juga punya banyak tingkatan keterampilan. Ada orang yang membaca dengan bersuara, tentu tidak secepat orang yang membaca dengan diam. Ada keterampilan membaca cepat. Ada tekniknya, ada metodenya. Membaca dengan cara ini beberapa kali lebih cepat tanpa kehilangan kesempatan menangkap dan mengumpulkan makna dari bacaan. Tanpa keterampilan membaca cepat, waktu kita habis digunakan untuk membaca. Tidak efisien.

Selain membaca cepat ada pula membaca efektif. Untuk membaca efektif diperlukan strategi. Dibutuhkan perencanaan sebelum memilih dan memilah bacaan. Membaca efektif ditentukan oleh kemampuan mengenali anatomi sumber bacaan, melakukan seleksi pada informasi informasi bacaan yang relevan dengan tujuan membaca. Semakin terlatih menggunakan cara membaca efektif semakin cepat kita menghimpun bahan. Di dalam membaca efektif terdapat unsur membaca dengan diam dan membaca cepat.

Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan kemampuan mengorganisir bahan. Ada sebagian orang yang mengendapkan bahan dalam pikiran untuk waktu yang lama, saat diperlukan untuk dituangkan dalam tulisan, bahan bahan tersebut berinteraksi dalam pikiran membentuk gagasan baru, informasi baru, kisah baru. Tidak banyak yang mempunyai kemampuan dan keterampilan seperti ini. Karenanya bahan bahan bacaan yang akan dijadikan bahan tulisan harus disusun secara sistematis dalam file file yang mudah diperiksa kembali. Atau buku buku yang menjadi rujukan bahan tulisan dikumpulkan dalam perpustakaan dan mudah untuk dibaca secepatnya.

Menulis efektif ditentukan oleh tujuan, disampaikan dengan cara yang benar supaya menghasilkan kebaikan dan memberikan manfaat.

Namun menulis tidak selalu melewati masa lempang dan lapang, ada kalanya turun dan terperosok, atau mendaki jalan terjal. Setiap pengalaman memperkaya kecerdasaan intelektual sekaligus spiritual. Banyak orang yang kurang menulis, tidak mengalami bahwa ketika menulis emosi, perasaan terlibat dan memberikan kesan kuat. Tulisan kadang semacam anak spiritual yang lahir dari pergulatan pemikiran dan emosional.

Pada titik titik tertentu, kita merasa tidak ada lagi yang bisa dilanjutkan untuk menulis. Tidak puas dengan tulisan kita sendiri. Tulisan dianggap stagnan dari kebaruan cara penyampaian. Bukan kehabisan bahan, tapi kita merasa bahan itu levelnya sama dengan yang sebelumnya. Kehilangan gairah. Merasa semua jenis cara sudah diupayakan tapi pikiran kita tidak beringsut. Penulis tertentu harus melibatkan kopi dan ultraflu atau berliter liter kopi kental untuk mendongkrak perasaan. Itu masih lebih baik, daripada berhenti dan menyerah untuk menulis. 

Kita hidup dalam lingkungan dengan berbagai macam kesibukan dan tanggungjawab. Bertumpuknya permasalahan yang dihadapi oleh mahluk sosial, menyeretnya pada kehampaan. Mengalami Lelah spiritual. Kondisi yang dapat mendorong menjadi produktif atau kontraproduktif. Masalah timbul bukan dari kemampuan menulis atau kehabisan ide dan bahan. Masalah yang dihadapi meminggirkan atau menutup penuangan gagasan.

Karena kurang hati hati mobil nabrak pembatas jalan, nyaris masuk selokan, tidak ada korban. Diderek ke bengkel, biayanya puluhan juta. Tanpa dikira tanpa diduga, tiba tiba dapat surat, berisi tagihan ratusan juta dari pemeriksa keuangan. Membuat pernyataan mengembalikan uang ke negara karena ada prosedur administrasi yang salah atau tidak lengkap. Berpikir keras antara bagaimana cara menyelesaikan tagihan dan menangani pengeluaran kedepan yang semakin berat. Karena covid-19 penyakit jantungnya tidak tertangani dengan semestinya, diobati di rumah sakit cemas, tidak diobati lemas. Berulangkali menerima kabar duka, kerabat dan saudara dekat wafat. Belum pulih duka pertama, disusul duka kedua. Baru selesai tahlil ke empat puluh, disusul tahlil ketuju.  Apakah masalah yang datang bertubi dan silih berganti tidak mempengaruhi perasaan penulis?

Selalu menulis, menjaga produktifitas ditengah suasana hati yang bergelombang. Di antara persoalan yang datang dan pergi, tidaklah pekerjaan mudah. Diperlukan seni menguasai keadaan untuk tidak mempengaruhi ritme menulis. Keterampilan mengisolasi persoalan supaya tidak menjalar terlalu jauh menguasai perasaan. Tantangan baru yang dihadapi pembelajar menulis.

Sangaji Ternate 

26 Agustus 2020

#108


Tidak ada komentar:

Posting Komentar