Selasa, 11 Agustus 2020

Menegakkan Benang Basah

 Oleh Syaifuddin

Mendirikan bank syari’ah di Indonesia pada tahun 1990 an tantangannya berat. Bukti bahwa bank syari’ah, apalagi ekonomi syari’ah belum pernah ada. Jangankan bukti dan kajian di dalam negeri, sedangkan di negara lain atau di dunia internasional belum ada lembaga keuangan syari’ah. Kesulitannya adalah meyakinkan umat Islam sendiri konsep yang berserakan dalam sumber sumber hukum Islam dapat dikonstruksi menjadi bangunan ekonomi yang dapat diwujudkan dan dikembangkan. 

Pendirian bank Mu’amalat sebagai bank pertama tidak semata mata karena banknya, tetapi ia sudah menjadi ikon dan simbol benih praktik ekonomi syari’ah bisa diwujudkan. Dan kalau bank ini berhasil, maka persoalan yang lain akan segera mengikuti. Dan terbukti anggapan itu benar. Tantangan yang cukup berat bagi pendirian bank syari’ah pertama antara lain :

Pertama, sikap prasangka terhadap Islam, politik Islam dan trauma syari’ah. Orde baru dan tentu saja mengembangkan warisan politik orde lama mempunyai sikap yang lebih militan terhadap gagasan negara Islam Indonesia. Tidak hanya aliran politik kiri yang dibumi hanguskan, tetapi politik Islam kananpun dibungkam, diberengus dan diringkus. Residu pemberontakan NII dan Piagam Jakarta, terus membayangi sampai ujung kekuasaan orde baru sudah masuk senja kala.

Meskipun terlihat mulai merangkul kelompok Islam dengan pendirian Bank Muamalat, tetapi bayang bayang prasangka dan kehawatiran bangkitnya politik Islam betul betul di jaga. Dalam pemilihan nama bank saja semaksimal mungkin menghindarkan kata Islam dan kata syari’ah. Karena dalam kesadaran kolektif penguasa dua kata itu identik dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan jargon yang diidentikkan dengan pendirian negara Islam.

Kedua, dari masyarakat Islam sendiri. Kelahiran ICMI dan kiprah MUI dibalik sukses pendirian bank syari’ah dianggap kelompok muslim tradisionalis beraroma sektarian. Karena itu Gus Dur tidak sepakat dengan bank syari’ah dan membuat alternatif bank Nusuma. Bank yang menggunakan skema perbankan konvensional kerjasama antara NU dengan seorang taipan. Meskipun selanjutnya bank ini juga gagal berlanjut.  Tindakan ini muncul karena bank syari’ah dianggap sebagai bentuk eksklusifme perbankan. Sikap ini bisa dipahami sebab memang tidak ada bukti bahwa ekonomi syari’ah itu berbentuk.

Sikap politik Gusdur terhadap bank syari’ah ini juga segaris dengan sikapnya yang beroposisi dengan ICMI dan pemerintah yang dianggapnya pilih kasih. Penolakan Gus Dur terlihat dengan tidak bersedia menjadi anggota ICMI padahal waktu itu sebagian besar cendikiawan berada dalam wadah ICMI. Sikap kelompok Islam tradisionalis yang direpresentasikan oleh Gus Dur pada gilirannya nanti menerima konsep ekonomi syari’ah.

Meluruhnya sikap ini seiring dengan terbukanya perguruan tinggi keagamaan Islam negeri terhadap ide ide ekonomi syari’ah. Berlanjut dengan pendirian program studi ekonomi syaria’h dana nama nama prodi lainnya yang sejurusan seperti hukum ekonomi syari’ah, ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, manejemen keuangan syari’ah, akuntansi syari’ah dan seterusnya yang hari hari ini terus berkembang. Bahkan di mancanegara sudah ada program studi ilmu halal (halal science).

Ekspresi kelegaan dan memperoleh berkah disampaikan dalam ungkapan berikut. “Bank Muamalat didirikan pada saat masyarakat Islam merasa terpinggirkan, dipinggirkan dan dimarginalisasikan dalam kegaiatan politik selama bertahun tahun”, tulis direktur utama BMI Zainul Baharnoor dalam buku “Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan (2006).

Dengan sejumlah tantangan tersebut, tidak menyurutkan gerakan bergulir dan sejarah ditorehkan. Tanggal 1 Nopember 1991 akta pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) ditandatangani di Hotel Sahid. Akte BMI didaftarkan di notaris Yudo Paripurno, SH nomor 1, 1-11-1991. Lima bulan kemudian di tahun berikutnya, 1 Mei 1992 BMI resmi beroperasi di Indonesia.

Di dalam tim Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) Bank Mu’amalat terdapat nama nama tenar Ahmad Azhar Basyir, Ibrahim Hosen, Ali Yafie, Quraish Shihab dan ketua MUI Hasan Basri. Direktur utama Zainulbahar Noor. Di jajaran komisaris terdapat nama nama Rachmat Saleh, Amir Batubara, Amin Azis, Omar Abdallah dan Sukamdani Sahid.

BMI memang betul betul hasil kerja keras dari berbagai elemen umat Islam dan organisasi Islam yang betul betul ingin mewujudkan muamalah maliya yang Islami, yang sekarang kita kenal sebagai ekonomi syari’ah. Yang perlu dicatat, bahwa dibalik itu terdapat mobilisasi kekuasaan vertikal yang dilakukan secara diam diam. Apakah kontribusinya besar atau kecil terhadap bibit ekonomi syari’ah, wallahu a’lam.

Tahun 1998 tepatnya di bulan Mei, saat Indonesia sedang membara disulut demonstrasi di mana mana, termasuk di kota besar lainnya seperti Surabaya. Saya sedang mengerjakan tugas ahir program profesi perbankan syari’ah yang didahului dengan magang dan penelitian di BMI Cabang Surabaya, berkantor di jalan raya Darmo. BMI Cabang Surabaya ini adalah cabang kedua setelah Bandung, bank syariah sangat minoritas di tahun ke enam sebelum refomasi. Pada kesempatan itu saya bisa melihat dukungan pemerintah melalui pejabat pejabat di daerah dalam laporan keuangan bank. Walikota Surabaya masa itu Bapak Sunarto Sumoprawiro, penopang penting keberadaan cabang BMI di Surabaya.

Kehebatan BMI melewati krisis Indonesia di usia yang masih belia, 6 tahun, mendapat pujian Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”.”Ketika Indonesia mengalami krisis, Bank Muamalat mampu bertahan lebih baik dibandingkan bank bank umum, karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang akan membangkrutkan hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia.

Sangaji Ternate 

12 Agustus 2020

#94


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar