Oleh Syaifuddin
Ahir ahir ini berita kematian seakan mewarnai hari kita, di dunia nyata maupun di dunia maya. Wafatnya Om, tante, orang tua, kakek, kolega, sahabat para pesohor, seakan tanpa jeda. Kematian seakan mengepung. Tidak semuanya disebabkan oleh Covid-19, tetapi efek samping pandemi juga memberikan tekanan psikologi kepada orang yang sakit. Penderita sakit tahunan juga tidak cepat tertangani karena petugas medis lebih memprioritaskan penanganan pasien positif Covid-19.
Pada awal puasa keluarga kami kehilangan paman yang meninggal karena serangan stroke. Belum genap satu bulan disusul dengan meninggalnya paman yang lain karena sakit kanker usus yang sudah diderita lebih dari 1 tahun. Usia paruh baya, pensiun masih lama.
Terasa mendadak dan tiba-tiba. Sebab seminggu sebelumnya masih ngobrol online biasa. Bahkan anaknya yang di Yaman belum tahu kalau buyanya wafat. Seminggu kemudian setelah hape diaktifkan, baru tahu kalau paman sudah tiada. Paman wafat di Pasuruan, saya yang di Ternate merasa tidak berdaya. Jangankan pergi ke luar daerah, keluar pulau saja tidak bisa. Ternate sedang ‘lockdown ala Indonesia’.
Putra sulungnya yang di Yaman pun setelah tahu kabar, tidak dapat pulang. Perasaan kehilangan dan mencekam tentu dirasakan oleh semua orang yang kehilangan. Kami hanya dapat kiriman rekaman video pengkafanan dan pemakaman. Hari itu juga dimakamkan di pemakaman umum, lokasinya dekat masjid keluarga.
Saya yang terentang jarak tentu menangis, sedih, tak berdaya, tidak mampu berbuat apa apa. Merasa ada ruang kosong, perasaan hampa, ditinggalkan. Sama seperti yang saya rasakan saat kehilangan sahabat. Berminggu minggu didera kesedihan, di saat harus berdiam diri di rumah karena tidak boleh keluar rumah, masa pandemi.
Pada akhirnya kami harus ikhlas. Kebaikan telah ditambahkan karena kesabaran dan keihkhlasannya menerima ujian sakit. Dia hapuskan dosa dosanya melalui sakit. Saya kira paman menerima ketentuan Tuhan dengan ridho. Terlihat dalam ungkapan ungkapan terahirnya yang tanpa keluh kesah.
Kami yang ditinggalkan tentu merasakan kehilangan besar. Ada perasaan berat. Di hari hari biasa berita kematian datang silih berganti. Kerapnya berita duka di masa pandemi melahirkan perasaan kehilangan yang lebih dalam. Bagi sebagian besar orang, tahun 2020 terasa sebagai amul huzni, tahun duka cita. Tidak bertemu dengan sanak saudara yang tercinta, handai taulan dan kerabat yang semestinya dapat bergembira ria di saat dua lebaran, apalagi ditambah kehilangan untuk selamanya meninggalkan duka yang amat mendalam bagi semua orang.
Perasaan kita terhadap kematian berbagai rupa pandangan, tergantung pada pengalaman batin kita masing masing. Dulu saya merasakan kematian sebagai pintu yang menakutkan. Karena membandingkan dengan yang dirasakan di dunia dengan nanti keadaan di alam barzah yang tidak ada referensi yang meyakinkan apa yang terjadi di sana. Ketakutan berikutnya adalah sakitnya sakhratul maut pada saat ruh dicabut dari raga kita. Diceritakan dalam beberapa riwayat, lebih sakit dari hujaman 1000 tombak ke dalam tubuh. Tertusuk paku di kaki saja rasa demam seminggu, makan tak enak tidur tak nyenyak.
Setelah melewati usia di atas empat puluh tahun, ketakutan sedikit demi sedikit menghilang. Perasaan dibuat tenang karena membayangkan apa yang dirasakan oleh siapa saja yang sudah melewati pintu maut. Orang yang saya anggap terlemah dalam hidupnya, semuanya tanpa kecuali, telah melewati gerbang maut. Tidak ada yang pernah gagal melewati gerbang itu, kemudian kembali ke dunia untuk mengabarkan beratnya derita maut. Perasaan takut itu bergeser menjadi perasaan hawatir. Bukan hawatir apa yang saya hadapi setelah maut datang menjemput. Takut berganti dengan cemas apa anak dan istri yang ditinggalkan apakah dapat melanjutkan hidup dengan baik baik saja. Hawatir dengan apa yang terjadi untuk orang orang yang kita tinggalkan.
Ketika menyaksikan teman teman yang meninggal di usia muda atau paruh baya, yang timbul adalah hawatir dilupakan. Tidak merasa meninggalkan sesuatu yang berharga untuk ditinggalkan, sehingga orang mengenang kita dalam do’a. Merasa tidak cukup punya amalan dan bakti yang menjadi investasi ahirat yang pahalanya tetap mengalir walaupun kita sudah berpindah alam.
Setiap kematian dan berita kematian yang datang mengingatkan saya, bahwa belum banyak amal yang saya perbuat. Seharusnya setiap waktu yang saya punya, dapat menghasilkan sesuatu yang lebih produktif. Umur yang tidak tahu kita punya berapa tahun lagi menjadi karya karya yang optimal. Dalam bahasa lain intensifikasi umur. Dengan umur yang pendek menghasilkan sesuatu yang berusia panjang.
Kematian dan berita kematian menghasilkan perasaan yang berbeda setiap waktunya. Seakan mengingatkan giliranmu tidak akan lama lagi, berbuat baiklah, beramal solehlah. Karena itu yang akan membuatmu bahagia nanti. Apa yang sudah kau perbuat yang membuat kamu layak untuk dikenal. Setiap kematian mendatangkan perasaan haru yang berbeda beda, dan meninggalkan perasaan yang semakin dalam dan merasa lebih dekat dengan kematian.
Masa enam bulan pandemi yang lebih banyak sendiri, tinggal rumah sendiri, kurang bersama dengan keramaian, membuat kematian terasa sangat dekat. Mempunyai lebih banyak waktu untuk merenung dan mengingat kematian. Berita duka yang sering datang mendekatkan dengan kesadaran kematian tidak ada jeda.
Kematian dan berita duka di masa pandemi ini efeknya berbeda yang saya rasakan. Kesempatan kontemplasi dan tafakur lebih dalam. Karena kejadian yang sambung menyambung nyaris tanpa jeda membuat tidak ada kesempatan untuk memikirkan hal lain, selain maut. Perenungan menghantarkan saya pada apa yang disampaik oleh Prof. Komaruddin Hidayat tentang psikologi kematian.
Saya belum membaca secara tuntas. Beberapa ulasannya melegakan perspektif di atas yang aneh aneh, dan utak atik gatuk. Kematian seharusnya dilihat secara positif. Pintu gerbang maut adalah bagian dari rangkaian hidup semua manusia. Yang hidup pasti mati. Mati bukan akhir, tapi perjalanan transit dari dari satu kehidupan ke alur kehidupan yang lain. Rasanya hatiku lapang. Melihat kematian tidak selalu sebagai kabar duka, atau perasaan nestapa.
Manusia adalah mahluk jasmani dan ruhani. Masa di kandungan, di rahim ibunda ruh ditiupkan ke badan kita, saat ajal tiba, ruh dipanggil kembali. Al maut dalam al-Qur’an dimaknai sebagai terpisahnya ruh dari badan. Ajal berarti batas ahir kehidupan manusia di bumi. Ketika mau menjemput, ruh kita berpulang, kembali kepada Allah. Bagi orang orang yang beriman dan dalam hidupnya banyak berbuat baik, maut menjadi indah karena momen bertemu dengan pemiliknya. Tuhan berseru, wahai hambaKu yang berjiwa tenang masuklah dengan RidhoKu. Panggilan yang menyenangkan dan mendamaikan.
Maut adalah momen mudik, pulang kampung. Siapapun yang pernah mudik, pulang ke asalnya tentu menyambutnya dengan gembira. Menurut Prof Komar, bagi hamba yang ‘muthmainnah’, kaum sufi, maut sebagai momen pulang kampung. Orang yang pulang kampung menyambutnya dengan perasaan bahagia dan berbunga. Bertemu maut adalah masa berlindung, beristirahat untuk menuju ke etape kehidupan menusia berikutnya.
Sesungguhnya kematian adalah perjalanan pulang yang menyenangkan. Saat ruh berpulang kepada Tuhan penciptanya, dirasakan sebagai kebahagiaan bagi yang menjalani, meskipun dirasakan sebagai duka bagi keluarga, handai taulan yang ditinggalkannya.
Bacaan dan pengetahuan baru ini menyenangkan bagi saya. Kehidupan dan kematian punya fungsi masing masing. Tidak perlu ada perasan duka mendalam untuk saya yang ditinggalkan. Karena orang orang yang kita cintai, telah pergi dengan damai, beristirahat dengan tenang, setelah menunaikan kewajibannya. Saya punya tugas sendiri yang harus saya kerjakan, yang kebaikannya akan saya petik sendiri setelah tugas hidup saya berahir menjadi tugas istirahat, suatu ketika nanti. Tugas saya adalah menjadi jiwa yang tenang, nafsul muthmainnah, sehingga ketika mengakhiri tugas kehidupan menyambut seruan Nya dengan riang.
Sangaji Ternate
7 Agustus 2020
#89
Setelah menyelesaikan tulisan ini, perasaan menjadi tenang, damai. Alhamdulillah. Optimis melanjutkan kehidupan. Kematian tidak menjadi horor, atau kabar duka, tapi sebagai pengingat saja, suatu ketika saya akan melewati gerbang maut. Baik tidaknya, bahagia tidaknya tergantung perbuatan saya selama di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar