Jumat, 31 Juli 2020

Literasi Ideologis



Dalam tiga tahun terahir literasi sangat populer dalam masyarakat kita. Literasi dan istilah turunanya menjadi viral. Literasi seakan menggantikan istilah pendidikan, belajar, membaca, menulis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Literasi adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan dalam berbagai bentuk. Literasi secara sederhana bertumpu pada tiga kegiatan yaitu membaca, berpikir kritis dan menulis.

Literasi tidak sesederhana membaca saja sebagaimana yang selama ini dipahami, tapi yang paling penting justru memahami dan memunculkan perspektif baru dari cara manusia berpikir kritis dan mengkomunikasikan dalam bahasa yang dipahami manusia yaitu tulis dan lisan.

Membaca mungkin literasi yang paling tepat pada awal pertumbuhan manusia. Namun menulis seharusnya menjadi titik sentral dari kegiatan literasi pada masyarakat yang secara intelektual sudah melewati jenjang sarjana. Karena dengan menulis manusia akan mengembangkan sumber bacaannya dan mengolah informasi secara kritis. Melalui menulis dengan sendirinya manusia mengembangkan keterampilan literasi membaca dan berpikir kritis.

Menulis dalam bentuk blog yang dilakukan oleh buruh migran di Hongkong misalnya adalah salah satu literasi yang kreatif dan idiologis. Para pekerja domestik atau “babu”,  ditengah keterbatasan waktu fasilitas dan pendidikan dengan kegigihan dapat memberikan pengaruh positif kepada sesama buruh migran. Literasi menjadi alat perjuangan idiologis kaum buruh, alat advokasi untuk mencerdaskan diri.  

Buku “Suara Dari Margin: Literasi Sebagai Praktik Sosial” yang ditulis oleh Pratiwi Retnaningdyah (alumni Ph.D Moulber University Australia) dan Sofie Dewayanti (Alumni Ph.D University of Illinois at Urbana Champaign, Amerika) menceritakan bagaimana perjuangan “babu” berjuang dalam literasi. Migran asal Indonesia di Hongkong membentuk kelompok menulis dan membuka lapak buku di setiap ahir pekan. Rie rie mampu mengubah paradigma kalangan buruh migran Indonesia. Di sela sela kesibukan sebagai pekerja rumah tangga menyempatkan diri menulis di blog, kadang menyembunyikan catatan agar tidak diketahui majikan, meluangkan waktu menulis diantara kesibukan tanggungjawab sebagai pekerja dan keinginan mencerdaskan diri.  Para buruh berusaha keras agar babu berwawasan dan maju sehingga berdaya di negeri asing.

Babu atau buruh migran yang dianggap pekerja rendahan, oleh Rie rie direkonstruksi melalui medium teks menjadi praktik literasi yang menggugah. “Babu Ngeblog” akun blog yang dimiliki Rie rie menceritakan keseharian sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong. Tulisan-tulisannya menjadi energi ideologis. Inilah bentuk literasi ideologis menurut Pratiwi. Menurutnya, literasi ideologis adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami teks untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, material dan spiritual. Pemahaman hanya didapatkan melalui keterlibatan (trejaktori literasi), yaitu lintasan pengalaman seseorang ketika memaknai kegiatan membaca dan menulis untuk mencerna pengetahuan.

Literasi ideologis hanya bisa tercapai bila menulis dan membaca dijadikan tradisi. Di lingkungan pendidikan, para pendidik dan tenaga kependidikan menjadikan membaca dan menulis menjadi kultur dan mengakar. Membumikan gerakan literasi harus didasarkan dan dimulai dari pengetahuan tentang kebudayaan masyarakatnya. Strategi gerakan literasi harus bertumpu pada kearifan lokal yang dikembangkan menjadi gaya baru dan berkelanjutan. Misalnya di daerah yang terisolir dengan budaya lisan yang menonjol, maka tradisi lisan tersebut menjadi modal awal membumikan literasi dan dilanjutkan dengan pengembangan budaya tulis.

Mengembangkan budaya literasi semestinya didasari pada kemampuan mengambil kebudayaan literasi yang kita miliki. Bertumpu pada usaha memajukan diri dengan alasan alasan dari dalam bukan karena terpengaruh survai survai internasional, atau sekedari menaikkan rating literasi, tingkat membaca atau produktifitas menulis. Kalau alasannya faktor eksternal tersebut, maka gerakan literasi akan terjebak dalam gerakan artifisial dan simbolik.

Sayangnya gerakan literasi di Indonesia belum masuk ke substansi literasi yang sesungguhnya. Gerakan literasi membaca baru bergelora secara simbolik dengan kampanye. Para pelayan  literasi di birokrasi, perpustakaan, lembaga pendidikan belum sepenuhnya mempraktikkan menulis dan membaca sebagai gaya hidup sehari hari. Para ahli dan pakar yang seharusnya menulis, tapi lebih asik dengan budaya lisan, penceramah di seminar, workshop dan kuliah yang tidak didampingi oleh produktifitas tulisan. Fenomena ini disebut oleh Iqbal Dawami (Maghza, 2017) sebagai pseudoliterasi, yaitu mendaku sebagai pegiat literasi, tapi tidak membaca dan menulis, kepentingannya hanya merebut proyek literasi.

Kita mengharapkan banyak inisiatif, sehingga literasi semakin substantif. Sebagai misal New Literasi Studies  (NLS) yang ditawarkan oleh Sofie dan Pratiwi. NLS memandang khazanah literasi menempuh dua bentuk yaitu literasi otonom dan lietarasi ideologis. Literasi otonom adalah gerakan literasi yang murni untuk meningkatkan kemampuan baca dan tulis tanpa mempertimbangkan faktor lain.

NLS merupakan kerangka kajian literasi yang lahir dari gerakan buruh migran dan anak jalanan. Gagasan literasi dengan konsep terbarukan, literasi yang tidak hanyak lahir secara simbolik, dengan data dan fakta kuantitas, tapi literasi yang mempunyai spirit berdasarkan observasi dan pembacaan yang intens terhadap budaya dan jati diri masyarakatnya.

NLS menawarkan perspektif baru tentang dunia baca,  tulis, literasi, interaksi pengetahuan dan cara berpikir. Literasi tidak stagnan. Literasi menjadi pengalaman membaca, menulis, mencerna pengetahuan dan memberi pengaruh kuat terhadap yang bersangkutan untuk menentukan pilihan pilihan yang mentransformasikan hidupnya. 

Jika NLS digunakan oleh Pratiwi untuk mendokumentasikan praktiknya di kalangan buruh migran, maka Sofie mendokumentasikan praktiknya di kalangan anak jalanan. Sebagai contoh Bu Sri pengajar PAUD anak jalanan menggunakan teks kultural untuk memampukan anak supaya dapat masuk di SD, sehingga mentas dari kehidupan jalanan. Literasinya mentransformasikan anak anak dari sekolah di jalanan menuju sekolah normal pada masa pertumbuhan mereka menuju dewasa. Kehidupan jalanan akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap tumbuh kembang anak anak.

Jika literasi ideologis di bawah ke dalam konteks civitas akademik di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka gerakan literasi di kampus punya spirit yang lebih kuat. Sejauh ini literasi kampus Islam masih bercorak literasi otonom yang paling dasar. Kalau ditransfomasikan kedalam literasi ideologis maka gerakan literasi di kampus, spiritnya lebih kuat. Dosen menulis karena didorong oleh keinginan kuat membumikan pendididikan Islam, hukum Islam, ekonomi Islam, Sains Islam, ilmu al-Qur’an, peradaban Islam, ilmu ilmu keagamaan. Menulis, membaca dan mendeseminasikan pemikiran dibingkai dalam spirit ibadah. Membumikan nilai nilai Islam dalam masyarakat tidak lagi sebagai pilihan bebas, tetapi kewajiban.

Transformasi mahasiswa melalui pendidikan terjadi dalam kegiatan literasi ideologis yang mencerahkan dan konstruktif. Mahasiswa sedari awal dipersiapkan aktifitas literasinya secara lengkap. Mahasiswa didorong memaknai pemahamannya melalui menulis, karena menulis membuat mahasiswa berpikir kritis dan mencari sumber bacaan yang relevan. Melalui menulis mahasiswa terlibat langsung dalam transformasi dirinya dari satu titik ke titik berikutnya.  Literasi menjadi pengalaman yang membentuk pemahaman yang lebih kuat dan memberikan pilihan pilihan hidup yang lebih terbuka pada masa masa mendatang.

Mengapa literasi keuangan syari’ah misalnya masih menempel di permukaan pemahaman masyarakat? Salah satu sebabnya karena literasi keuangan syari’ah belum menjadi kultur di lingkungan akademik dan para pelaku industri keuangan syari’ah. Literasi ideologis dapat menjadi jawaban terhadap persoalan membumikan ekonomi syari’ah. Semoga.

Benteng Toloko Ternate
1 Agustus 2020
#83

Kamis, 30 Juli 2020

Literasi : Khutbah Dari Kaki Bukit.



Setelah sebelas tahun ini untuk pertama kalinya kembali berkhutbah di tapal batas, balik gunung. Momennya juga tepat sama sama khutbah Idul Adha. Jika sebelas tahun yang lalu di kelurahan Gambesi, maka tahun ini di kelurahan Ngade. Masjid Annur Ngade berada tepat di sebelah laguna. Kalau pembaca melihat pemandangan tiga pulau kecil berbentuk gunung di birunya laut, pemandangan dari atas bukit yang didahului oleh laguna, maka itulah tempat saya maksudkan dengan kelurahan Ngade, disebutnya Ngade puncak. Masjid An-Nur  di Ngade pantainya. 

Masyarakat Ternate punya sebutan perkampungan di balik gunung. Sebagaimana kita mafhum pulau Ternate di puncaki dengan gunung Gamalama di tengah tengah. Pusat pemerintahan, fasilitas publik dan tempat tempat keramaian berada di pulau pada sisi sebelah timur, kiblatnya mengarah ke gunung. Sedangkan di sisi barat, daerah perbukitan dengan pantai kebanyakan bertebing dan arah guguran lahar dan lava mengalir disebut sebagai balik gunung. 

Karena medannya yang sulit, bertebing menghadap ke laut lepas, sehingga hanya sedikit penduduk Ternate yang tinggal di wilayah itu. Dengan sendirinya wilayah balik gunung kurang berkembang. Sementara sisi timur pulau Ternate penduduknya padat dengan berbagai fasilitas publik perkotaan yang semakin maju. Karena sisi barat yang masih alami dan cenderung sunyi sebenarnya cocok untuk tinggal bagi yang tidak suka dengan keramaian. Tapi karena Ternate ini sudah pulau dan kota yang tenang, mengapa juga cari tempat yang lebih sunyi lagi?

Tema khutbah saya kali ini bertema literasi dalam arti luas, biasanya saya selalu membawakan tema terkait ekonomi syari’ah. Seakan akan ekonomi syari’ah menjadi topik utama khutbah saya, baik pada khutbah Jum’at maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun bertema literasi tetapi kali ini tetap dikaitkan dengan literasi ekonomi syari’ah. Apa hubungannya idul adha dengan literasi?

Ibadah Kurban sebagaimana disampaikan dalam QS 51:56 adalah ditujukan untuk mengingatkan kaum muslimin, orang orang yang beriman pada tujuan hidupnya yaitu semata untuk beribadah kepada Allah Swt. Kurban dimaksudkan sebagai  ujian ketaqwaan, kepatuhan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah. Literasi adalah pintu gerbang untuk menjangkau, memahami perintah dan larangan Tuhan sebagai jalan menuju ketaqwaan. Tanpa literasi manusia berada dalam kegelapan.

Literasi adalah jalan menuju cahaya kebenaran, suluh pengetahuan. Pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai masyarakat literasi jauh lebih besar daripada pengorbanan untuk pemenuhan kebutuhan perut. Di dalam masyarakat yang sudah kelebihan gizi, maka penyakit yang muncul dalam masyarakat modern justru kelebihan gizi. Maka perngorbanan untuk memajukan pengetahuan terus selalu harus diingatkan melalui momen Idul Adha/Idul Qurban.

Kurban mengandung makna simpul solidaritas sosial. Kaum muslimin diperintahkan mematikan ego, mementingkan diri sendiri, sekaligus menumbuhkan kepekaan sosial.  Kurban memerintahkan kita berubah dari berpusat kepada diri sendiri menjadi untuk kepentingan orang lain atau kepentingan sesama mahluk Allah. Kurban dari kata qurban, taqaruban yang berarti mendekatkan diri. Yaitu mendekatkan diri orang orang beriman kepada Tuhan Nya, dengan cara mematikan dan mengasampingkan individualismenya dengan menyerahkan hewan kurban untuk disembelih dan dibagikan kepada orang orang yang membutuhkan. Bukan darah dan daging kurban yang sampai kepada Tuhan, tetapi ketaqwaan dan kepatuhan yang menjadi esensi pokok/nilai inti dari ibadah kurban.

Titik temu kurban dengan literasi adalah kepatuhan kepada Allah Swt. Literasi adalah perintah pertama dalam wahyu Tuhan kepada Nabi ahir zaman. Iqra’, bacalah adalah perintah untuk memasuki dalam dunia pengetahuan. Esensi dari semua gerakan pendidikan adalah literasi. Membaca adalah pintu gerbang literasi. Melalui membaca orang mempunyai perspektif baru, mempraktikannya, mengembangkannya kemudian menulisnya dalam sebuah karya. Proses yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat.

Dalam gerakan literasi nasional misalnya, mencanangkan enam literasi dasar yang wajib dikembangkan. Enam literasi itu diantaranya literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.

Umat Islam tidak bisa buta sejarah dan menafikan bahwa dalam berekonomi, umat Islam bersentuhan dengan keuangan, dan literasi finansial syari’ah atau literasi keuangan syari’ah. Kalau pengetahuan dan kesadaran ini tidak menjadi keseharian kehidupan keuangan orang Islam, maka orang orang yang berpengetahuan, para alim, para ahli hukum Islam, para pelaku ekonomi syari’ah yang tidak memberikan suluh penerangan dengan mewujudkan literasi keuangan syari’ah, menanggung dosa.

Karena itu literasi dan lebih husus literasi keuangan syari’ah tidak lagi sifatnya fardhu kifayah, tapi sudah menjadi fardhu ain. Kewajiban semua ummat Islam untuk menggelorakan literasi keuangan syari’ah, karena literasi inilah yang mendekatkan diri kita kepada taqwa. Taqwa dalam arti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya.

Larangan Allah Swt terhadap muamalah maliyah, atau aktifitas ekonomi adalah menghilangkan unsur riba, gharar, maysir dan dhalim dalam kegiatan keuangan. Keuangan yang mengandung unsur riba harus diketahui oleh khalayak bentuk dan cirinya. Umat Islam yang tidak tahu membedakan transaksi riba dengan yang syar’i berarti belum syari’ah financial literete. Demikian pula maysir (gambling) , gharar (tidak pasti) dan dhalim (tidak pada tempatnya) harus menjadi pengetahuan umum umat Islam. Kesadaran dan pemahaman ini hanya bisa dilakukan melalui literasi yang terencana, masif dan berkesinambungan.

Qurban atau ihtiar mendekatkan diri kepada Allah melalui literasi adalah pengorbanan yang lebih besar dan menyentuh substansi kurban yang lebih esensial. Semangat kurban yang diejawentahkan dalam semangat literasi sesungguhnya adalah mewujudkan ketaqwaan yang lebih relevan dengan kebutuhan umat Islam Indonesia pada ahir ahir ini. 

Mengapa umat Islam Indonesia selalu terlilit dalam kemiskinan, berada dalam lingkaran masalah yang tidak berkesudahan dan tidak bisa menaikkan peradaban? Salah satu sebab utamanya adalah dalam segala segi kehidupan umat Islam tidak menjadikan al-Qur’an dan spirit dan nilai nilai pengetahuan yang terkandung di dalamnya sebagai praktik sehari hari. Masyarakat non muslim di negara negara maju justru mempraktikkan spirit literasi dan spirit al-Qura’an dalam berpengetahuan.

Spirit literasi menjadi penting bagi umat Islam di Ternate, karena anugerah kekayaan alam tidak kunjung memberikan manfaat diTersebabkan masih dominannya budaya pengetahuan lisan. Budaya yang mempunyai keterbatasan. Kekayaan pengetahuan yang tidak dapat berkembang dan terwariskan dengan lancar dari generasi ke generasi inilah tujuan utama dari pentingnya gerakan literasi di Ternate. Para pengelana barat yang rajin mencatat justru yang menikmati pengetahuan dari negeri rempah ini. Alfred Russel Wallace seorang sarjana yang membuat catatan terhadap beberapa spesies di sebagian besar wilayah nusantara selama delapan tahun. Meskipun bukan seorang ilmuwan biologi, tapi ketekunannya mengantarkan perjalananya sejauh 22.400 kilometer dan mencatat ratusan ribu spesimen fauna. Catatan itu kemudian dibukukan dalam karyanya yang berjudul “The Malay Archipelago”. Kerja kerasnya membuat Wallace mendapat reputasi sebagai naturalis, antropolog dan “Bapak Biogeografi”. Karya itulah yang memberi inspirasi kepada Charles Darwin untuk membuat teori evolusi dalam bukunya yang berjudul “On the Origin of Species”.

Ini pelajaran sangat penting bahwa literasi tulis, merubah dari budaya pengetahuan lisan ke budaya pengetahuan tulis mempunyai perbedaan yang sangat besar bagi pengetahuan dan perkembangan peradaban.

Danau Laguna Ngade
31 Juli 2020

#82 

Wahai Pemuda !



Cara mendidik untuk mencapai kemandirian, mungkin berbeda antar satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, antar budaya satu dengan budaya lainnya. Sebaiknya usia berapa anak dianggap cukup usia untuk bertanggungjawab pada hidupnya sendiri. Ahir ahir ini, semakin langka kita menemukan para pejuang. Setiap masa ada insan insan ulet yang mampu mentransformasikan hidup mereka menuju strata yang lebih tinggi secara sosial. 

Sebutlah seorang mahasiswa baru bernama Indra. Berdarah campuran Bugis Jawa anak ini sedang membentuk jati dirinya. Merantau semakin timur untuk mendapat pendidikan tinggi yang lebih layak. Ia mungkin mewarisi DNA moyangnya yang merantau dari Jawa atau darah Bugisnya juga perantau jauh dari utara di sekitar Cina daratan pada masa prasejarah. Kita patut bersyukur dianugerahi talenta muda di mana mana yang punya semangat juang untuk berubah.

Beberapa mahasiswa mencoba dengan ulet untuk mandiri, dalam hati saya sering haru campur bangga. Pada mereka kita melihat diri kita yang menggeliat dari ketidakberdayaan dengan keteguhan penuh. Sebagian besar tindakan itu didorong oleh keadaan yang serba sulit, tapi tidak semuanya.

Indra sejak mulai masuk bangku kuliah berjuang untuk mendapat bidik misi supaya memperoleh kemudahan, terbebas dari biaya kuliah. Untuk itu dia harus terus menjaga performa prestasinya agar tetap layak untuk mendapat santunan pendidikan dari negara. Untuk biaya hidup rupanya diapun harus mencari pekerjaan. Membantu cuci piring di warung martabak sore hari. Satu ketika saya tegur, mengapa tugas kuliahnya kedodoran. Itu pak saya mencari pekerjaan tambahan di sela sela jam kuliah, karena upah sore tidak cukup untuk biaya hidup. 

Saya memakluminya, karena pernah dalam situasi seperti yang dialami Indra. Dia sedang belajar di dua tempat dan untuk dua masa. Indra sedang belajar menghidupi hari harinya sekaligus belajar mempersiapkan hidup di masa depannya. Dia belajar pada kuliah kuliah di dunia nyata yang dosennya adalah masalah, sekaligus belajar di bangku kuliah yang dosennya pendaras teks yang tidak semua mudah dipahaminya.

Dua tahun tidak memperhatikan perkembangannya. Saya agak acuhkan karena sikapnya yang kurang adab. Setelah saya perhatikan lagi. Saya berkesimpulan saya cepat membuat penilaian negatif. Mengapa? Indra mahasiswa mandiri, bertahun tahun tidak bersama orang tua. Dengan daya budinya dia belajar secara otodidak. Semua lingkungan adalah gurunya. Bila keliru langkah, salah tindak itu tidak sepenuhnya salah dia. Seharusnya pemuda pemuda ini bagian tanggungjawab kita. Kita berpikir seragam dan perspektif yang serupa bahwa setiap masalah adalah urusan masing masing.

Masuk tahun keempat sudah terlihat kedewasaan mahasiswa. Mulai saya ajak berbicara sebagai orang tua dengan anak. Ndra bagaimana perkembangan kegiatanmu di luar kampus? Alhamdulillah pak setelah pernah ngojek, membersihkan AC, servis AC, sekarang ini penghasilan usaha semakin stabil. Terlihat dia sudah punya sepeda motor, sebelumnya dia jalan kaki. Ini pak beli motor bekas, lumayanlah untuk membantu gerak saya. Ke mana mana tidak naik ojek atau angkot. 

Sekarang lagi jualan minuman di sekolah. Join dengan investor yang membiayai sebagian besar modal. Pengelolan bergantian. Sudah mulai banyak waktu setelah kuliah. Di tahun keempat lebih banyak tugas mandiri, praktik lapangan, kuliah kerja nyata dan penyelesaian tugas akhir. Lumayan sudah bisa nabung. Buat lanjut kuliah S2 atau kawin.

Saya biarkan dia menggambar masa depannya. Dia layak mendapatkan keinginan yang diperjuangkan sejak dia mulai merantau ke Ternate sekaligus kuliah.

Sejarah para pendiri negeri ini, mereka menggelorakan pergerakan menuju Indonesia merdeka di usia belia. Antara umur 20 sampai dengan 30 tahun. Mengapa pemuda pemuda kita pada usia itu masih masih bergantung pada subsidi orang tua. Belum berpikir untuk mandiri.

Setelah wisuda dia pamit. Pak saya mau pulang ke kampung sudah empat tahun tidak bakudapa dengan orang tua. Sekalian mau mengadu nasib jadi abdi negara di kampung halaman. Senyumannya sudah dewasa dan sopan. Lakukanlah yang terbaik, kamu layak mengejar impianmu, pulanglah.

Di satu sore setelah satu tahun berlalu, tiba tiba Indra muncul lagi di kampus. Pak sepertinya saya tidak bisa lepas dari Ternate, biarlah saya cari kerja lagi dengan ijazah sarjana. Sekitar dua bulan kemudia Indra sudah berkutat lagi dengan kesibukan jualan di sekolah sore hari dan paginya bekerja di perusahaan penyedia layanan internet.

Setelah pandemi dia datang dengan senyum merekah. Pak saya diterima sebagai manajer sebuah jaringan ritel toko nasional yang sedang ekspansi bisnis besar besaran di Ternate dan akan menyebar ke pulau pulau di seantero Maluku Utara. Di Ternate sudah ada 21 jaringan yang merata hampir di sekujur kota. Dia tidak sendirian beberapa temannya yang sarjana juga diterima bekerja tapi jadi anak buahnya. Bagaimana ceritanya? Teman teman banyak yang menggunakan ijazah SMA, karena iseng saja. Tidak betul betul mempersiapkan diri bekerja menjadi profesional. Indra menerima gaji dua kali lipat dari teman temannya. 

Keberuntungan tidak datang dengan sendirinya. Keberuntungan akan menyertai orang orang yang siap. Indra yang bertahun tahun membangun kepribadian dan etos kerja, ahirnya mendapatkan ganjaran yang setimpal dari semua usahanya. Teman temannya yang lebih mapan ekonomi tidak sekuat usahanya untuk memantaskan diri menjemput taqdirnya.

Selamat Indra. Sunnatullah berlaku dalam setiap keadaan. Proses tak akan menghianati hasil.

Sangaji Ternate
30 Juli 2020
#81  

Rabu, 29 Juli 2020

Mulianya Harga Emas



Pada minggu ini kita dikejutkan dengan harga emas yang mendekati 2 ribu US$ per ons, atau kalau dirupiahkan harga per gram mendekati 1,5 juta. Biasanya kalau harga emas membumbung tinggi ada indikasi ekonomi global sedang terguncang. Secara tidak sadar kita sedang mengimani bahwa dinar atau mata uang emas paling stabil sepanjang zaman. Tidak salah bila masa gemilangnya peradaban Islam, karena penggunaan mata uang dinar dan dirham yang merupakan warisan konsep moneter Romawi dan Persia.

Menurut Dahlan Iskan harga baru emas ini menunjukkan kerapuhan ekonomi dalam jangka panjang. Turunnya nilai tukar dolar menyebabkan naiknya harga emas dan akan berdampak pada inflasi. Penyebab inflasi ini karena Amerika mencetak dolar sampai 2,5 triliun US$ (38 ribu triliun rupiah). Uang sebesar itu digunakan untuk stimulus ekonomi dan jaring pengaman sosial Amerika. Uang yang dicetak tanpa aktifitas riel ekonomi secara teori menurukan nilai mata uang.

Amerika berasumsi inflasi akan diekspor ke luar negeri, karena pemakai dolar di luar Amerika cukup banyak. Namun asumsinya banyak yang meleset. Pemakaian dolar di pasar global menurun drastis karena efek perang dagang Amerika dengan Cina. Dalam kondisi krisis ekonomi dan resesi ekonomi di banyak negara sulit menghindarkan bahwa uang yang dicetak itu hanya digunakan untuk konsumsi, karenanya tidak ada nilai tambah apapun dalam perekonomia.

Sektor produksi sangat sulit digerakkan dalam kondisi krisis. Produksi hanya memungkinkan di sektor konsumsi, yaitu produk makanan, minuman, obat dan kebutuhan konsumsi masyarakat yang sangat terbatas dan sengaja dibatasi untuk mempertahankan kehidupan dalam jangka panjang di tengah ketidakpastian akibat pandemi.

Di masa Pandemi sektor produksi berjalan lamban dan nyaris berhenti, karena tingkat permintaan juga cenderung berhenti. Bank bukan tidak punya modal yang bisa diinvestasikan. Masalahnya tidak ada sektor produksi yang punya keberanian untuk bergerak akibat pandemi. Semua saling tunggu. 

Dalam seratus tahun terakhir, kita tidak pernah menemukan Amerika mengalami kesulitan mengatasi persoalan ekonomi akibat pandemi. Kondisi yang dialami masyarakat global yang ekonominya sedang sekarat, tidak bisa diharapkan mampu membantu mencegah inflasi yang diekspor ke pasar global. Kita jadi tahu bahwa selama ini ada sebagian negara yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan mata uang dominan. Sehingga bila ada masalah ekonomi dalam negeri, tinggal cetak uang dan risiko inflasinya ditanggung orang sedunia.

Sistem moneter dunia kita memang cacat, eksploitatif. Negara negara yang sudah terlanjur kaya, yang ekonominya kuat, mempertahankan keunggulannya dengan menciptakan ketergantungan ekonomi pada negara miskin dan berkembang melalui penggunaan mata uang. Uang kertas, yang tidak punya nilai riel dapat dipermainkan nilainya dengan sistem moneter. 

Krisis akibat pandemi membuka cacat dan borok sistem moneter dunia yang dianggap terbaik, menjadi jungkir balik. Sedang terbentuk keseimbangan baru ekonomi dunia. Covid 19 selain memperbaiki kualitas lingkungan hidup karena deru konsumtif direm mendadak, borosnya penggunaan energi terhenti sehingga alam mendapat kesempatan memulihkan dan memperbiki kualitasnya. Demikian pula sektor ekonomi juga mengelami pembersihan ekonomi terutama di sektor moneter yang menggelembung, tidak ada isi dan penuh rekayasa yang merugikan negara-negara miskin dan berkembang.

Indonesia yang berencana mencetak uang atau berhutang sekitar 700 triliun rupiah , berbulan bulan berdebat dalam berbagai forum, antara DPR dengan Menteri Keuanga, ahirnya tidak menemukan kata sepakat, karena risiko ekonominya akan sangat besar. Amerika dengan mudahnya mencetak uang 38 ribu triliun dan mau membagikan risiko ekonominya kepada negara lain di seluruh dunia. Lha Kok enak betul.

Pelajaran terpenting yang dapat kita ambil dari kejadian krisis ekonomi global saat ini adalah perlu kembalinya ke sistem moneter berbasis emas sebagai jaminan penerbitan mata uang. Satu abad yang lalu kepatuhan pada cadangan emas sebagai dasar penerbitan uang masih dipatuhi, tapi seiring waktu, hasrat bermain curang untuk menguasai ekonomi dunia, maka secara perlahan pakem ini ditabrak. Diperlukan siklus pandemi untuk mengembalikan akal sehat dalam pengelolaan moneter, terutama untuk negara yang sudah terbiasa menikmati keistimewaan polisi dunia.

Yo’opo rek?

Sangaji Ternate
29 Juli 2020
#80
 

Selasa, 28 Juli 2020

Keledai di Idul Adha


Alhamdulillah Idul Adha tahun ini adalah lebaran haji ke 11 di nagari para raja. Berhari raya kurban di perantauan, di perjalanan atau sedang berada di sebuah empang terpencil yang jauh dari mana mana sudah pernah saya jalani. 

Melaksanakan sholat Idul Adha hanya bertiga terjadi 21 tahun lampau di Lampung Selatan, tepatnya di Kalianda. Waktu itu dampak krisis masih terjadi, harga beras dan sembako lainnya naik dengan harga rata rata dua kali lipat dari harga sebelumnya. Badan pangan dunia WFP sedang melaksanakan Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) dan kami salah satu LSM yang dilibatkan dalam program tersebut. Sebanyak 350 ribu keluarga dapat membeli beras maksimal 5 kg per minggu dengan harga sepertiga dari harga pasar selama 108 minggu. Setelah acara kegiatan itu kami lanjutkan perjalanan ke Lampung menyeberang ke Bakauhuni melalui Merak.

Karena yang punya acara yang menentukan waktu, kita tidak sadar bahwa waktu kegiatan berada di awal awal Dzulhijjah yang sebentar lagi datang Idul Qurban. Menjelang malam takbir di Kalianda yang terpencil jauh dari kampung, kami baru sadar bahwa besok pagi hari raya. Dengan pakaian seadanya, di pematang tambak yang sempit, kami bertiga melaksanakan sholat id, masing masing punya tugas sebagai imam, khatib dan pemimpin takbir. Itu pertama kalinya khutbah idul Adha.

Tentu karena dadakan tidak ada acara lanjutan penyerahan dan penyembelihan hewan kurban. Di sekitar kami banyak ikan bandeng dan udang windu, maka setelah sholat idul adha, kami ambil ikan ikan tersebut yang sudah dipasang di bubu semalaman.

Di lebaran haji tahun berikutnya juga terjadi kejadian serupa. Waktu itu ada kegiatan kehutanan yang dilaksanakan Guest House UGM Yogyakarta. Tidak tahu bagaimana ceritanya, kegiatan dilaksanakan selama 4 hari dan berakhir sebelum Idul Adha. Travel dan bus tujuan Surabaya rata rata penuh sudah terlalu mendadak. Yang tersisa tinggal perjalanan dengan kereta api. Tiket yang tersedia tinggal kereta ekonomi malam, Mutiara Selatan dan Logawa. Mulai sore, penumpang di stasiun Lempuyangan sudah berjubel. Kebanyakan penumpang tujuan Madura, warga madura di pulau Madura maupun warga madura yang tinggal di daerah tapal kuda.

Masyarakat Madura mempunyai tradisi unik yaitu melakukan perjalanan mudik besar besaran di Idul Adha, bukan hari raya Idul Fitri. Selain pertimbangan ekonomi, bahwa pada masa Idul Fitri bisnis informal sedang panen, juga ‘toron’ nya masyarakat Madura menyerupai dengan tradisi Idul Adha di Makkah. Pada masa lebaran haji inilah masyarakat Madura merayakan secara meriah bersamaan dengan keberangkatan dan kepulangan jama’ah haji.

Kereta api jamnya tidak menentu seperti sekarang. Ditambah lagi pada musim lebaran gerbong dan lokomotif kereta api jumlahnya ditambah, sehingga trafic rel kereta cukup tinggi. Kereta yang kami tunggu dari arah Bandung dan Purwakerta mundur 5 jam dari waktu yang dijadwalkan. Sebelum kebiasaan delay pesawat, kereta api Indonesia sudah lebih dahulu punya tradisi delay. Delay pesawat masih bis dinikmati, tapi delay kereta api sebuah siksaan yang berat. Panas, berdebu, ribut, banyak asongan, nyamuk, aroma sampah, macam macam orang, orang gila dan orang waras bercampur jadi satu menunggu harap harap cemas di peron peron kereta api

Menjelang tengah malam kereta Mutiara Malam Selatan dari Bandung, datang terseok seok dari barat. Gerbong gerbong sudah sarat penumpang. Supaya dapat menaruh badan sehingga terbawa masuk ke gerbong sebuah perjuangan. Setiap inci tempat sudah terisi. Tiga jam perjalanan sampai stasiun Solo Balapan berdiri dalam gelap gerbong. Untuk duduk atau mencari tempat berdiri yang bisa menyadarpun tak dapat. Biasanya dekat toilet, sambungan antar gerbong agak longgar. Tapi malam itu semua penuh manusia, bahkan sampai toiletpun dijadikan tempat berdiri manusia.

Selepas Solo, badan capek, mata mengantuk. Dari luar gerbong sayup sayup terdengar takbir bergema. Dari masjid ke musholah, dari kota satu ke kota lainnya, silih berganti berkumandang takbir. Mulai nekat cari tempat yang bisa naruh badan, ahirnya menelusup di sela sela kursi penumpang. Lumayan dapat meluruskan kaki dan badan, siap dengan konsekuensi kadang punggung, kaki, kepala diinjak orang yang melangkah dalam gelap.

Menjelang subuh walaupun kondisi badan remuk redam, ahirnya kereta sampai di Surabaya. Alhamdulillah masih bisa sholat Idul Adha.

Lebih bengal dari keledai, jatuh berulang di lubang yang sama. Di tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Kali ini kegiatan dilaksanakan di Lembang Bandung. Karena kesibukan kegiatan yang padat sepanjang tahun, tidak sadar bahwa kami berangkat ke Lembang satu minggu menjelang Idul Adha. Perjalanan lancar jaya naik bus eksekutif dari surabaya dengan rombongan enam orang. Setelah kegiatan, jadwal pulang jatuh pada satu hari sebelum Idul Adha. Kita lupa pesan tiket kepulangan, sehingga mendadak mencari kereta eksekutif Turangga dari Bandung sore, sampai Surabaya pagi.

Walaupun jadwal perjalanan kereta api eksekutif lebih tepat waktu dibandingkan dengan kereta api ekonomi, namun karena kres kereta api lebih sering ahirnya jadwal kedatangan mundur dua jam. Menjelang fajar terbit setelah subuh kereta api masih diantara Nganjuk dan Jombang. Ketika di sepanjang perjalanan banyak masyarakat sholat Id, penumpang kereta jengkel karena tidak bisa sholat Id di Surabaya. Ya salah kita sendiri, mengapa tidak direncanakan baik baik. Sudah tahu risiko perjalanan di musim lebaran harus dirancang baik baik, selalu ada kemungkinan terjadi hal hal tak terduga.

Bila mengenang kejadian di tahun tahun itu, menyadari betapa buruknya perencanaan. Mengapa kesalahan serupa terulang setiap tahun berturut turut. Perjalanan yang tidak direncanakan sampai tuntas. Tiba masa, tiba akal. Dikerjakan apa yang ada di depan, tidak tahu apa yang akan dikerjakan pada masa masa mendatang. Atau itukah bedanya lembaga pemerintah dengan non pemerintah? Atau bedanya lembaga dulu dengan sekarang? Atau bedanya lembaga yang terorganisir dengan lembagai yang tidak punya sistem manajemen yang baik?

Lebaran haji pada awal pertama datang di Ternate mendapat undangan mendadak menjadi khatib di Masjid Gambesi. Tiga bulan setelah menjadi penghuni pulau rempah mendapat kehormatan menjadi khatib di tempat yang budayanya berbeda dengan kampung saya. Dua hari menjelang pelaksanaan sholat Id pengurus BKM datang ke kantor memohon kesediaan. Khotib yang sudah dijadwalkan sejak satu bulan sebelumnya tiba tiba harus naik mimbar mengisi khutbah perdana Idul Adha di Masjid Raya Al-Munawar.

Di Jawa, Idul adha diselenggarakan secara sederhana, tidak demikian dengan di Ternate. Idul Adha di Ternate sama meriahnya dengan Idul Fitri. Bahkan mungkin lebih ramai. Karena pendatang dari luar pulau Ternate, dalam propinsi atau luar propinsi mudik pada saat Idul Fitri, tapi di Idul Adha tidak. Ternate, walaupun tidak seperti Jakarta yang besar dan megah, tapi sudah kosmopolitan sejak berabad abad lampau. Berbagai budaya, suku ras dan agama dipertemukan di Ternate membentuk budaya hybrid. Ras penduduknya juga sudah bercampur aduk. 

Tak jarang kita jumpai banyaknya persilangan ras diantara kolega dan mahasiswa di tempat kerja saya. Bapak campuran Padang Ternate, ibu campuran Jawa Ambon. Bapak Campuran Makian Arab, ibu campuran Bacan Cina. Wajah wajah Portugis, Spanyol, Papua, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak nyaris semua ras di Nusantara ini ada di Ternate.

Merayakah Idul adha di Ternate adalah merayakan kebhinekaan.


Sangaji Ternate
28 Juli 2020
# 79

Senin, 27 Juli 2020

Gebrakan Pusat Studi Halal Thailand HSC


HSC (Halal Science Center) atau pusat studi halal di Thailand tidak bisa dilepaskan dari sosok Prof. Winai. Mempelajari proses pertumbuhan HSC adalah mengikuti karir Pak Winai. Tahun 1996 Pak Winai bekerja pada unit sertifikasi halal Kantor Organisasi Islam dan bertanggung jawab pada analisis bahan baku sebelum dan sesudah sertifikasi halal. Tahun 1997 setelah berlakunya Undang Undang Administrasi Organisasi Islam Pak Winai ditugaskan di Komite Islam Bangkok, saat itu tugasnya adalah sertifikasi halal pada produk minyak dan lemak. 

Tahun 2005 HSC membuat perjanjian kerjasama dengan Institut Standar Makanan Halal yang berada di bawah Komite Sentral Islam Thailand. Institut ini tidak bertanggung jawab langsung atas sertifikasi halal, namun mempertanggung jawabkan secara akademik kepada komite sentral.
Sampai dengan tahun 2006 adalah masa transisi penyerahan mandat lebih besar kepada HSC untuk melakukan sertifikasi produk halal. Tercatat lima propinsi bekerjasama dengan HSC yaitu Komite Islam Bangkok, Komite Islam Nonthaburi, Komite Islam Patumthani, Komite Islam Phuket dan Komite Islam Chiangmai.

HSC sendiri secara kelembagaan didirikan pada tahun 2003 dengan nama Halal CELSIC, atau pusat laboratorium dan pusat informasi ilmiah untuk pengembangan makanan halal. HSC sekarang mempunyai 10 laboratorium di beberapa universitas dan badan badan yang ada di dalam negeri Siam. HSC berkomitmen melakukan penelitian halal dan pengembangan teknologi yang berhubungan dengan halal dan verifikasi produk halal. HSC juga menghasilkan produk dan karya riset yang berguna untuk disebarluaskan kepada masyarakat melalui pelatihan dan seminar.

HSC mempunyai teknologi yang cukup canggih dan lengkap untuk mendeteksi kontiminasi bahan bahan yang dapat mempengaruhi kualitas halal produk seperti asam lemak hewani, DNA, gelatin, alkohol dan kontaminasi mikroba. Dalam pandangan HSC mempromosikan produk yang halal dan thoyib bukan hanya untuk orang Islam tetapi untuk seluruh umat manusia. Karena di dalam kitab suci dinyatakan: Wahai manusia, makanlah apa saja yang ada di muka bumi ini yang halal lagi baik. Karena itu makanan dan produk halal adalah baik bagi semua umat manusia, tidak peduli apa suku, agama, ras dan golongannya.

Dan masih lebih dari tujuh program unggulan HSC dalam mengembangkan produk halal dan sertifikasi halal di Thailand. Dalam satu kesempatan kunjungan kami Prof. Winai menunjukkan salep yang berfungsi untuk menghilangkan najis, bahkan najis berat (mughaladzah) yang ada pada liur anjing. Menurut fiqh ada perlakuan husus yang berfungsi untuk menghilangkan najis besar pada barang yang terkontaminasi liur anjing, salep ini dapat menghilangkan najis itu. Tentu saja produk ini sudah melewati kajian Fiqh bab Thaharah dan sekaligus melewati uji kandungan pada laboratorium biologi yang disediakan. Kami melihat ini salah satu bentuk kajian interdisipliner antara ilmu syari’ah dengan ilmu biologi, atau bahkan lebih spesifik lagi antara fiqh bab kesucian dengan biologi kimia dan seterusnya.

Kalumata Puncak Ternate
27 Juli 2020
#78



Minggu, 26 Juli 2020

Sertifikasi Halal di Negeri Gajah Putih


Halal Science Center (HSC) adalah badan sertifikasi halal yang dimiliki negara Thailand, berpusat di Bangkok.  HSC lembaga independen, tidak dibiayai oleh negara tetapi keberadaannya legal secara hukum Thailand dan kredibiltasnya diakui oleh negara dan masyarakat internasional. Menempati gedung kantor satu blok gedung sendiri. Kantor pusatnya berada di lantai sembilan, tetapi beberapa lantai di gedung itu terdapat berbagai fasilitas laboratorium sampai riset riset doktoral.

Fasilitas itu disediakan oleh Chulalongkorn University. Chulalongkorn adalah kampus terbaik di Thailand, biasanya bergantian juara 1 dengan universitas lain yaitu Chulamahidol University. Dijelaskan di publikasi HSC adalah bagian layanan masyarakat yang disediakan Universitas. Universitas ini didedikasikan kepada mendiang raja Siam Rama V. Saat pengunjung beredar di seluruh fasilitas HSC di beberapa lantai mulai dari hall ruang rapat, pameran produk, laboratorium sampai meeting room riset nuansanya sangat melayu Islami.

Tokoh sentral dari HSC adalah Prof. Winai Dahlan, warga negara Thailand keturunan Jawa, cucu pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan. Meskipun keturunan Indonesia dan istrinyapun dari Pekalongan, tapi pak Winai sudah tidak bisa berbahasa Indonesia. Masih sedikit mengerti berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Kunjungan kami ke HSC sebenarnya tidak disengaja dan tidak direncanakan sejak dari Indonesia. Setelah hari kedua kami silaturahmi dengan komunitas masyarakat Jawa di perkampungan melayu belakang hotel tempat kami menginap barulah ide ke HSC muncul. Imam Ransan pemimpin agama di Masjid Jawa yang menawarkan kunjungan ke HSC jika Prof Winai ada waktu.

Pendamping kami mbak Fitri mahasiswa magister biologi di KMUTT, alumni UIN Maliki Malang,  yang intensif berkomunikasi untuk membuka peluang peluang kerjasama akademik pada masa masa mendatang. Semua itu pengembangan program kunjungan setelah berada di Bangkok. Program dikembangkan menjadi dua kali lipat dari kegiatan yang dirancanf dari Indonesia. Banyak yang direncanakan pada ahir Desember 2019. Covid-19 membuyarkan semua rencana program yang dirancang tahun itu dengan penuh optimisme.

Meskipun Thailand mayoritas penduduknya beragama Budha, tapi sangat sadar diri dengan potensi pasar pertanian dan produk halal. Kesadaran itu didasari pada besarnya kebutuhan produk halal dan produk pertanian dengan pasar muslim Asia Tenggara yang jumlahnya mencapai 400 juta. Posisinya yang cukup strategis bagi perlintasan masyarakat muslim baik yang berasal dari Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura, maupun yang berasal dari daratan Asia seperti Bangladesh, India dan Pakistan. Negara negara yang saya sebutkan tadi adalah potensi konsumen yang sangat gemuk untuk diabaikan.

Prof Winai dengan jeli melihat potensi dalam dan luar negeri yang sangat menggiurkan untuk dibiarkan begitu saja. Maka mulai tahun 2000 an sebelum mendirikan HSC sudah terlibat aktif dalam organisasi keIslaman di Thailand, hususnya di Bangkok rumah tempat tinggalnya. Dengan keahlian di bidang biologi, Prof. Winai mengembangkan laboratorium riset yang bisa memberikan kepastian kandungan halal pada produk makanan, obat dan minuman. Memberikan supervisi, pendampingan dan monitoring terhadap industri makanan dan obat supaya prosesnya halal. Kesadaran industri di Thailand dalam menghasilkan produk secara halal dengan standar internasional ini yang menjadikan lembaga sertifikasi halal seperti HSC diperlukan.

HSC sangat kreatif dan inovatif membaca antusiame pasar domestik maupun internasional, dukungan pemerintah dalam menggarap pasar halal internasional. Sekarang dapat dibilang riset halal di Thailand melesat cepat. Konsolidasi sumberdaya manusia yang menguasai laboratorium biologi halal tersedia berlapis lapis. Doktor dan calon doktor yang direkrut dan riset di laboratorium HSC mempunyai target yang jelas dan terukur, di tengah sedang berkembangnya industri halal internasional.

Pasar halal internasional internasional 150-200 miliar US$ dengan laju pertumbuhan 6,3 persen setiap tahun selama kurun waktu 2013 sampai dengan 2018. Dalam pandangan Thailand, ekonomi Halal dibagi menjadi tiga kategori yaitu makanan halal, pariwisata halal dan keuangan halal.

Thailand dan terutama HSC sadar betul dengan potensi konsumen produk halal yang besarnya mencapai 1,8 milliar orang atau sekitar 25 persen dari seluruh populasi penduduk dunia.

Kelurahan Sangaji Ternate
26 Juli 2020
#77

Sabtu, 25 Juli 2020

Daya Gedor Morabind


Kementerian Agama RI lebih husus lagi direktorat penelitian dan pengabdian masyarakat (Litapdimas), selama musim pandemi Covid-19, dengan pola kerja Work From Home (WFH) lebih intensif melaksanakan rapat maya, bersama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri  (PTKIN) di tengah terbatasnya mobilitas manusia. 

Covid-19 tidak menghalangi kreatifitas dan inovasi, meskipun tidak bisa bermuwajaha langsung, namun penggunaan zoom meeting efektif untuk mencapai tujuan dari rapat, diskusi dan seminar oleh para pengelola litapdimas di 58 PTKIN seIndonesia. 

Pertemuan sore itu mendadak karena IAIN Salatiga memantik perbincangan dengan keberhasilannya dalam dunia perbukuan dan penerbitan. Setelah dilakukan identifikasi oleh seluruh PTKIN tenyata 38 dari 58 perguruan tinggi sudah mempunyai penerbit kampus atau University press. Dengan 70 % keberadaan university press di lingkungan kementerian agama menjadi modal yang positif untuk memperbaiki kualitas produk karya ilmiah buku. Apabila dilakukan penelusuran ke perguruan tinggi swasta di bawa Kementerian Agama ada peluang potensinya lebih besar lagi.

Untuk mendata produktifitas artikel pada jurnal ilmiah Kemenag RI mempunyai Moraref (Ministry of Religius Affairs Reference), sedangkan Morabind (Ministry of Religius Affairs Book Index) diharapkan menjadi instrumen pemantauan produktifitas dan peningkatan kualitas buku yang ditulis oleh dosen PTKIN.

Keberadaan university press dan Morabind menciptakan peluang yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan buku yang berkualitas, mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Memenuhi persyaratan 3M, mutu, merata dan murah.

IAIN Ternate sejak 2 tahun yang lalu sudah berupaya mempunyai lembaga penerbitan yang diberi nama IAIN Ternate Press. Meskipun ditengah polemik yang berseliweran, penerbitan ini tetap berdiri dan berjalan. Penerbitan ini menyediakan fasilitas kemudahan kepada dosen yang berminat menerbitkan buku. Kurang lebih 10 buku telah diterbitkan oleh  IAIN Ternate Press. Pencapaian yang sangat besar setara dengan pencapaian 45 tahun sebelumnya. Produktifitas penerbitan buku tidak semata ditentukan oleh penerbitan, tapi lebih pada keberanian dosen, para pendidik dan para pakar untuk menghasilkan buku ajar dan buku referensi. 

Walaupun kurang direspon positif pada awalnya, namun ternyata penerbitan kampus menjadi tren yang berkembang di PTKIN. Beruntung IAIN Ternate memaksakan diri punya penerbitan. Ahirnya sekarang kita merasakan manfaatnya, dapat maju bersama sama dengan PTKIN lain yang sudah punya university press.

Tradisi penulisan buku di kampus, university press berbeda dengan tradisi penulisan di penerbit komersial. Bila Mizan, Gramedia, Remaja Rosdakarya, Rajawali Grafindo dan seterusnya menerbitkan buku harus mempertimbangkan potensi pasar maka university press mempunyai misi yang berbeda. IAIN Ternate Press dan SUKA Press menerbitkan buku pertimbangan utamanya adalah mengabdi kepada keilmuan dan memberikan bacaan yang bermutu, mudah diakses dan murah harganya, mendukung lembaga pendidikan yang membawa misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka mendigitalisasi buku adalah salah satu solusi untuk menghasilkan buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Masalahnya harus ada mekanisme penghargaan finansial yang sepadan kepada dosen dosen yang menulis buku ajar sehingga memberikan daya dorong untuk berkarya. Buku buku ajar yang hak kekayaan intelektualnya dapat digratiskan secara terbatas. Kita berharap produktifitas dosen dalam berkarya dengan penyediaan buku ajar murah dapat terpenuhi dengan mekanisme ini.

Buku referensi yang dihasilkan dari karya tulis dosen yang melakukan penelitian sudah selayaknya diterbitkan secara terbatas sesuai dengan anggaran penelitian yang tersedia. Buku hasil penelitian bila diterbitkan dipublish secara gratis dalam bentuk digital sebaiknya didukung dengan pembiayaan riset yang seimbang. Kurang fair bila biaya penelitian murah tetapi mengharapkan buku hasil penelitian yang berkualitas. Karena itu outcomes buku penelitian sudah dapat dipertimbangkan. Keberadaan buku digital atau buku elektronik ini sesuai dengan UU Sistem Perbukuan Pasal (5).

Terkait dengan rencana Kemenag RI merevitalisasi Morabind tidak terlepas dengan regulasi perbukuan di republik ini. UU nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan didukung oleh Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Terselip cerita, bahwa pada awalnya Kemenag RI tidak termasuk dalam sistem perbukuan padahal UU sudah sampai di sidang peripurna DPR. Maka UU tersebut mendapat revisi Pasal 6 ayat 3 yang berbunyi : “Muatan keagamaan dalam buku pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama.

Berdasarkan legalitas tersebut maka Kemenag RI menerbitkan Peraturan Menteri Agama nomor 9 tahun 2018 tentang buku pendidikan agama Islam. Dengan itu buku buku yang akan diterbitkan patuh pada batasa batasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 42 ayat (5) yaitu : tidak bertentangan dengan nilai nilai Pancasila; tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan; tidak mengandung unsur pornografi; tidak mengandung unsur kekerasan; dan tidak mengandung ujaran kebencian.

IAIN Ternate Press sebagai penerbitan kampus atau university press sejalan dengan amanah Undang Undang sistem perbukuan tersebut dalam pasal 55 ayat  (2). Kampus mendorong ketersediaan buku teks untuk perguruan tinggi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dan tersedia secara merata. Upaya itu dilakukan melalui pembentukan penerbitan, peningkatan kompetensi dosen untuk menulis buku, penerjemahan dan penyaduran buku untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemenag RI juga mendorong penerbitan buku melalui “program penerbitan 5000 buku”.  Buku yang diterbitkan berupa buku hasil riset, buku mata kuliah, buku referensi dan monograf. Program ini dijalankan oleh Litapdimas kemenag RI sinergi dengan PTKI melalui penerbitan mandiri, sinergi dengan penerbit dan program Morabind.

Tersisa satu pekerjaan rumah yang cukup penting tetapi genting, membangun budaya menulis di lingkungan akademik. Dosen yang menulis jumlahnya cukup kecil, terlebih di kampus kampus yang iklim akademiknya kurang maju. Di tahun 2011 saya pernah menemani Prof. Ahmad Kayacik dari Turkey Foundation menjadi narasumber seminar internasional pendidikan yang diadakan oleh STAIN Ternate. Salah satu topik diskusi kami adalah publikasi karya tulis dan kompetensi dosen di negeri kita. Dia membandingkan dengan sistem pendidikan tinggi di Turki dan saya menjelaskan sistem pendidikan di Indonesia, terlebih di kawasan timur Indonesia. Dia heran. Dalam pikiran saya bayna sama’ wa sumur. 

Sembilan tahun berlalu, persoalan seperti itu masih tetap terjadi di lingkungan saya. Tidak cukup do’a untuk menyelesaikan persoalan demikian. Harus ada solusi terstruktur dan terprogram yang menjadikan budaya akademik dan budaya ilmiah menjadi perhatian utama. Pembangunan fisik sangat penting, tetapi membangun sumber daya manusia jauh lebih penting untuk kampus yang berkualitas, untuk pendidikan tinggi yang berkualitas, dan peradaban Islam yang tinggi. Kampus yang wah dengan budaya akademik yang rendah tak ubahnya hotel berbintang, tamu keluar masuk untuk istirahat saja, tidak ada nilai tambah buat peradaban dan kemajuan Maluku Utara.

Sore di Kelurahan Sangaji Ternate
25 Juli 2020
#76

Jumat, 24 Juli 2020

Cerita Buku Pertama


Keinginan itu bermula dari pencarian, tentang pembeda yang syari’ah dan yang tidak. Di usia muda, kajian ini mencari bentuk, masih liat, cair, multi tafsir, punya banyak dugaan. Ada yang beranggapan, Tuhan tidak memberi tanggungjawab kepada umatNya melebihi kesanggupannya. Yang lain berkesimpulan bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, bila tanpa disertai ihtiar. Ada yang mengira, sudah cukup baik menjalankan agama, kalau sudah waktunya akan sampai sendiri, biarkan itu urusan Tuhan.

Selalu ada yang pertama. Buku koperasi syari’ah ini tercetus dari banyak keprihatinan. Buku perdana tentu menyimpan banyak cerita. Tempat menggantungkan tinggi angan. Buku ini jauh dari sempurna,  tapi menyiratkan keinginan untuk membawa perubahan. Buku yang paling lengkap kekurangannya. Pasti ada keinginan yang terbaik, yang sempurna, dan itu membuat waktu yang disediakan tanpa batas. Saya berpegang pada nasehat, kalau ingin menulis yang baik sempurna, maka tidak akan pernah ada buku. 

Demikianlah dengan mengumpulkan segala risiko, penuh kehawatiran. Saya memberanikan menulis buku, menerbitkan buku. Ada banyak sebab, beberapa diantaranya. 

Pertama, minat terhadap perbankan syari’ah dan studi ekonomi syari’ah di Ternate cukup tinggi, tapi perhatian terhadap lembaga keuangan mikro syariah baik di tingkat nasional dan lokal tidak menggembirakan. Di Ternate pernah ada BMT yang berhasil namanya BMT Yaumi. Satu satunya di Ternate dan perkembangannya bagus. Tapi tidak bertahan lama, kemudian sudah tidak terdengar lagi kiprahnya. 

Awalnya situasi ini sangat menggembirakan, menimbulkan optimisme, setidaknya dapat sebagai contoh leasen learn koperasi syari’ah. Mahasiswa D3 Perbankan Syari’ah dapat didorong mengembangkan lembaga keuangan mikro syari’ah. Inilah yang mendorong saya untuk menulis buku koperasi syari’ah dengan harapan bisa membangkitkan kembali koperasi syari’ah dan BMT oleh mahasiswa.

Kedua, sampai dengan buku ini ditulis, belum ada buku koperasi syari’ah. Selama empat tahun mengajar mata kuliah koperasi syari’ah kami kesulitan mendapatkan referensi yang sesuai dengan koperasi syari’ah. Ada buku saku kecil sejarah baytul mal wa tamwi (BMT). Agak sesuai tapi kurang informatif sebagai buku ajar. Ahirnya tiga tahun kepikiran terus supaya bisa menerbitkan buku koperasi syari’ah.

Ketiga, mengajar subjek pengetahuan yang masih relatif baru, di sebuah pulau yang jauh dari Jakarta dengan tingkat literasi di bawah rata rata, maka bacaan menjadi hal penting, untuk memudahkan mengajar. 

Keempat, buku ini disusun saat beberapa Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) di Maluku Utara mulai diinisiasi. Maka segmen keuangan mikro syari’ah menciptakan lobang yang mengangah. Karenanya buku ini menjadi pegangan dan inisiatif masyarakat untuk mengisi kesempatan berpartisipasi dalam pembiayaan mikro syari’ah

Tidak mudah untuk memulai segala sesuatu yang baru. Buku ini diluncurkan oleh penerbit kecil, bukan label mayor. Dibiayai sendiri, dengan harapan dan semangat besar cetak lima ratus eksemplar. Tidak pakai hitung hitungan, hanya dengan tujuan baik saja. Semakin banyak yang membaca, sebanyak banyaknya orang tahu, literasi keuangan syari’ah paling. Itu saja titik. 

Nekat, karena dilakukan oleh orang yang tidak punya pengalaman sama sekali dunia penulisan dan penerbitan. Ada rencana penyandang dana, tapi menguap di udara, maka buku perdana ini menjadi punya sejarah. Itu untungnya. Dengan berbagai masalah, melewati onak dan duri, maka buku ini punya cerita . Ada pelajaran pertama yang berharga. Jangan menerbitkan buku karena uang.

Buku ini harapan saya menjadi ladang amal menyebarkan kebaikan dan manfaat, ahirnya dengan segala cara saya distribusikan sampai berbagai wilayah di Jawa Timur, melalui teman teman saya, mudah mudahan sampai Sumatera selatan. Di seluruh penjuru Maluku Utara buka ini sudah sampai melalui tangan tangan mahasiswa saya. Salah satu kepuasan penulis adalah mendapat apresiasi dan dibaca. Ada pembaca pengelola koperasi muslimat di Gresik yang mengajak mendiskusikan buku ini untuk diterapkan di koperasinya. Di lain kesempatan, seorang pembaca menyampaikan bahwa beberapa buku saya disumbangkan di perpustakaan pesantren. 

Setelah insiden pembiayaan saya tidak berminat lagi membuat buku untuk dijual. Beberapa buku saya sediakan untuk referensi mahasiswa menulis karya ilmiah. Tujuannya supaya semakin banyak yang membaca. Tapi anehnya semakin tidak dijual, semakin banyak yang nyari untuk beli. Lambat laun stok makin menipis. Sebab saya juga ingin menyimpan sebagai pelajaran berharga hidup saya. Ada keinginan mengoleksi. Dibalik cacat yang tidak disengaja dia menjadi unik dan terbatas. 

Saat buku dikirim dari penerbit sampai ke rumah, anak anak heran, bagaimana nama saya ada di sampul buku. Seakan tidak percaya, bagaimana caranya bisa ada nama di situ. Sesuatu yang sangat penting bagi semua pembaca. Sama dengan yang ada di pikiran saya semua buku yang saya baca penulisnya orang lain. Suatu kebahagiaan tersendiri ada nama kita ada di sampul buku. Betapapun tidak berkualitasnya buku itu. Karena dibaliknya banyak cerita yang bermakna.

Melengkapi kisah pilu yang mengikuti kelahiran buku, sebab tidak ada pengalaman sebelumnya. Semuanya belajar sendiri. Hasil cetakannya tidak sesuai dengan kesepakatan, ada beberapa kesalahan. Nyaris pesanan dibatalkan. Tapi ahirnya saya terima cacat buku, tidak apa hitung hitung sambil membantu percetakan kecil. Kesalahan kesalahan yang muncul selama proses penerbitan buku, membuat saya belajar lebih keras semua aspek perbukuan. Sudah lama ada buku digital baik yang berbentuk pdf atau e-book, nyatanya buku fisik masih tetap diperlukan oleh pembaca. Ada kenikmatan dan sensasi tersendiri saat membaca buku.

Demikianlah sejumput cerita tentang buku pertama.
Malam menjelang larut
Kelurahan Sangaji Ternate
24 juli 2020
#75

Kamis, 23 Juli 2020

Snorkeling


Kuman di seberang nampak jelas, surga di depan mata tidak kelihatan. Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keterlambatan mengenal taman bawa laut di Falajawa. Memang tidak sebagus Bunaken, saya juga belum pernah diving di Bunaken, tidak kuat ongkos berkunjung, tapi pantai Falajawa ini nyata di depan mata. 

Untuk sampai di Falajawa tidak perlu biaya puluhan juta, menginap di cotage atau hotel bintang seperti di Bunaken. Tidak perlu peralatan diving dan pelatihan husus untuk menyelam. Cukup dengan snorkeling,  pun rasanya tidak wajib bisa berenang. Bagi kami yang tinggal di Ternate, berkunjung ke spot ini gratis, bahkan parkir motor atau mobilpun tidak berbayar, kurang apa surganya. Hanya 5 menit berkendara dari tinggal saya di dekat benteng Toloko, pun bisa jalan kaki menyusuri sisi timur pantai Ternate 15 menit.

Sulit dipercaya bahwa taman bawah laut ini tetap tumbuh, padahal lalu lintas di atasnya sangat ramai. Hanya 500 meter dari pelabuhan Ahmad Yani, pelabuhan laut utama di propinsi Maluku Utara. Berada 400 meter dari landmark Ternate. Untuk turun melihat keindahan bawah laut di Falajawa disediakan tangga turun ke air yang dibuat melayang dari daratan, karena laut cukup dalam untuk meletakkan kaki cor tangga. Agak ke tengah disediakan dua papan rakit untuk istirahat setelah melihat lihat taman bawah laut. 

Di beberapa bagian pantai rumput laut di kedalaman dua meter. Inilah pertama kalinya melihat rumput subur tumbuh di pasir putih, daunnya yang pipih panjang seperti daun jahe atau serai. Ikan biru, hijau merah dan lorek warna warni asik bermain di sela rumput nan hijau. Meskipun ombak menghempas agak keras tapi air tetap jernih seperti nampak dalam akuarium.

Dua rakit papan yang dipasang permanen dengan jangkar sangat membantu untuk tempat istirahat sebentar, setelah menjelajah gugusan karang bawah laut. Tidak semua menggunakan pelampung dan tidak semua bisa terapung di air dalam waktu lama. Bagi kawan kawan yang lahir di kepulauan, berenang dan terapung di atas air laut lebih dari delapan jam itu sudah biasa. Sejak kecil tidak pernah diajar renang, tapi cukup di taruh di laut, ditinggal orang tuanya mencari ikan. Dengan segala daya mencari cara menggunakan tubuhnya supaya tetap bertahan di atas air. 

Awal mengenal pantai Falajawa, mungkin orang lebih lebih suka menikmati taman taman dan semilir angin laut. Pemandangan dari sudut Falajawa eksotis banyak kontras. Ada gunung Kie Air dan gunung Gamala yang asimetris. Ada pelabuhan Ahmad Yani dan Dermaga Speed. Lengkungan pantainya juga membentuk pesona indah. Tak heran bila pemerintah kota Ternate membangun lendmark Ternate tepat di tengah tengah, dintara dua kontras tersebut. Antara taman Falajawa dengan taman Nukila.

Landmark Ternate terlihat lebih indah dari  Disneyland bila diambil gambar dari udara. Maka taman bawah laut Falajawa sampai Nukila jauh lebih indah tertutup gemulai ombaknya. Pemandangan bawah air lebih taman taman surgawi ini hanya bisa dinikmati dengan dua cara yaitu snorkeling dan diving. Bagi saya snorkeling lebih sesuai. Dengan biaya murah dan keterampilan sederhana sudah bisa menikmati dan mengagumi maha karya yang agung.

Kelurahan Sangaji Ternate, 23 Juli 202
#74


Rabu, 22 Juli 2020

Keberagamaan



Corak keberagamaan masyarakat Maluku Utara ditentukan oleh transmisi para da’i dan mission.
Para peneliti dan penulis tentang corak beragama di Maluku Utara atau wilayah yang disebut sebagai kesatuan kebudayaan Maluku Kieraha belum banyak ditulis, atau bahkan bisa dibilang belum ada. Tulisan singkat ini mencoba menggunakan perspektif Danys Lombard dan kajian lain tentang lembaga pendidikan Islam seperti pangaji, madrasah dan pesantren di Maluku Utara.

Apa yang akan ditulis di bawah ini, baru pada tahapan permulaan untuk pengkajian lebih mendalam dengan basis teori dan metodologi yang lebih mapan. Sebagai pembaca biasa dan bukan orang yang menguasai metode sejarah tentu banyak kelemahan yang harus diperbaiki oleh para ahli. Tujuan awalnya adalah membuka kemungkinan membuat alternatif pandangan tentang proses pembentukan corak keIslaman masyarakat Maluku Utara.

Mengapa ini penting. Sebab Maluku Utara dengan penduduk muslim 70% berarti agama penduduk Maluku Utara lebih beragam. Islam bukan agama mayoritas mutlak. Kesediaan untuk hidup berbagi ruang, bertenggangrasa dengan perbedaan menjadi prasyarat penting menciptakab situasi yang damai dan harmoni. Sebagai wilayah yang pernah berada dalam situasi konflik berlatarbelakang agama, maka kerentanan itu juga perlu dieliminasi. Pemahaman yang lebih baik terhadap keberagamaan masyarakat Maluku Utara, memungkinkan untuk menciptakan situasi kondusif dalam jangka panjang dan permanen.

Pada beberapa bagian tulisan Danys Lombard dalam buku Nusa Jawa silang budaya, terutama di buku 2, seringkali disebut relasi penting antara pesantren Giri yang diasuh Raden Paku atau Sunan Giri (wafat 1506) dengan Maluku Utara. Hubungan pembinaan agama tidak hanya disebut dalam tulisan tulisan yang lebih baru oleh Adnan Amal, bahkan di sumber sumber yang lebih tua seperti karya Manusama atau Rikhlahnya Ibnu Batutah.

Pada karya Lombard juga dengan sangat meyakinkan dia susun argumentasi bahwa kata Jawi tidak selalu merujuk pada pulau Jawa, kadang pulau Sumatera dan kadang pulau penghasil Rempah. Ibnu Batutah seorang muslim traveler menulis dalam Rikhlahnya pulau Sumatera sebagai Usulul Jawi. Ini sekaligus memberikan ruang melihat hal hal yang selama ini tidak diketahui tentang Maluku Utara dengan menelusuri kata geografi Jawi sesuai dengan zamannya dan dalam konteks apa dia sedang digunakan.

Melihat eratnya hubungan Ternate-Giri yang didukung oleh banyak catatan naskah kuno, adanya kampung Falajawa dan berkembangnya lembaga pendidikan non formal pangaji sejak abad 16, maka dapat diduga corak keIslaman Giri sangat berpengaruh terhadap Islam di Maluku Utara. Dominannya pola pendidikan agama pangaji yang kemudian menyebar ke wilayah kesultanan Tidore, Jailolo dan Bacan menguatkan dugaan bahwa penyebaran Islam dan pembentukan corak keIslaman sangat dipengaruhi oleh eksistensi pangaji.

Konversi 4 kesultanan Maluku Kieraha dari kerajaan pagan ke Islam, dari kaicil ke sultan juga terjadi pada saat ujung abad 15, tatkala hubungan Ternate dan Giri sangat kuat. Sunan Giri selain seorang pimpinan keagamaan juga pimpinan pemerintahan raja yang berpusat di Giri Kedaton (Keraton Gunung) di kabupaten Gresik sekarang. Kerajaan Giri dilanjutkan dengan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram yang merupakan kerajaan Islam. Penamaan Giri dan Kie yang berarti gunung adalah bentuk persamaan lain yang layak untuk dikaji kaitannya.

Dengan relasi antar pemerintahan, maka kemitraan Ternate dan Giri tidak hanya mitra sesama masyarakat muslim tetapi juga aliansi politik. Hubungan politik dan agama pada masa masa tersebut sebenarnya juga membentuk jaringan kekerabatan dan keulamaan. Ini dapat dilihat dengan status Qadhi Abdullah Ibnu Abdussalam, tuan guru dari Tidore, ulama’ besar yang wafat di Captown merupakan keturunan Sayyid dari Cirebon.

Hubungan kekerabatan, relasi poltik, jaringan keilmuan inilah kaitan kaitan yang membentuk corak keberagamaan masyarakat Islam Maluku Utara. Mulai ahir abad abad 15 sampai dengan awal abad 20 corak keberagamaan masyarakat Maluku Utara mempunyai kesamaan dengan saudaranya di Jawa yaitu ahlus sunnah waljama’ah  ala Walisongo seperti corak keislaman Jawa Timur sampai Banten. 

Tentu saja tidak sama persis pada aspek aspek rinciannya, bentuk tahlilnya, istighasahnya dan aspek furu’iyah lainnya yang mengalami adaptasi dengan budaya lokal. Bentuk bentuk tarekat, hakekat, ma’rifat dan aspek kebatinan lainnya juga tumbuh dengan berbagai modifikasi dan adaptasi dengan budaya pra Islam. Ini juga memerlukan penyelidikan tersendiri yang memerlukan disiplin keilmuan yang beragam dan waktu penelitian yang panjang.

Lombard juga mempostulatkan suatu teori yang menjelaskan bahwa dinamika ilmu pengetahuan, sosial dan politik di wilayah wilayah yang kita sebut sebagai Indonesia diikat oleh kesamaan agama. Meskipun pengelana barat, Belanda, Portugal, Spanyol dan Inggris belum menguasai wilayah nusantara, para raja dan sultan yang muslim secara umum membangun kerjasama yang saling melindungi, walau sesekali terjadi sengketa diantara mereka.

Keeratan hubungan dengan agama dan mazhab yang sama memberikan keyakinan kepada kita bahwa Maluku Kieraha dan para raja di seantero nusantara membentuk kerjasama dalam pelbagai bidang. Dan karenanya corak besar keberagamaan/keberIslamannya mempunyai kesamaan. Terdapat sedikit perbedaan di variasi variasi kecil sesuai dengan ‘ijtihad’ kewilayahan dan akulturasi budaya.

Setelah berdirinya organisasi pergerakan yang episentrumnya di Jawa seperti Syarekat Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ maka Maluku Utara juga mendapat pengaruh. Masuknya Muhammadiyah di Maluku Utara dengan pendirian lembaga pendidikan di Halmahera Utara, Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan, menambah kekayaan corak Islam.

Setelah Indonesia merdeka kehadiran gerakan Alkhairat yang berpusat di Palu, Sulawesi Tengah juga memperkaya khazanah dunia pendidikan Islam dan pesantren di Maluku Utara. Organisasi Alkhairat memberikan penguatan pendidikan Islam lebih terorganisir di wilayah wilayah tertentu seperti Ternate, Bacan dan Halmahera Utara. 

Masuknya Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Tarbiyah, dan Jama’ah Tabligh menyemarakkan keberagamaan di Maluku Utara setelah reformasi.

Kelurahan Sangaji Ternate
22 Juli 2020

*) Naskah ini masih akan disempurnakan dengan referensi, data data yang lebih akurat dan teori yang lebih mendalam.
#73

Selasa, 21 Juli 2020

Menghidupkan Kembali Diskursus Islam Kepulauan


Wacana Islam nusantara dengan Islam kepulauan, muncul pada masa yang kurang lebih sama. Namun demikian kedua wacana tidak saling mempengaruhi dan juga tidak saling mengimitasi atau meniru.

Wacana Islam nusantara yang dimunculkan oleh ketua PBNU Kyai Said Agil Siraj sebagai kontra wacana dari Islam yang serba Arabisasi. Islam nusantara adalah Islam yang bercorak ahlu sunnah waljama’ah an-nahdhiyah. Islam tradisional yang berkembang di nusantara. Islam yang ramah dengan tradisi lokal yang diserap dalam budaya Islam karena tidak bertentangan atau sejalan dengan syari’ah. Meskipun muncul polemik tentang istilah, tetapi secara umum bangunan Islam nusantara sudah semakin jelas dipahami. Praktik Islam nusantara adalah bagian keseharian amalan Islam tradisional sejak masa Walisongo di Jawa.

Sementara itu.

Wacana Islam kepulauan masih mandeg dalam bantuk konsepsi awal. Memang terjadi polemik juga. Tapi sayangnya masih berhenti sampai di diskursus permulaan. Islam kepulauan tidak sama dengan Islam pesisir apalagi Islam daratan. Islam yang hidup di kepulauan dan menjadi corak dari masyarakat Islam yang tinggal di kepulauan Maluku Kieraha. Tulisan ini ditujukan untuk menghidupkan kembali diskursus Islam kepulauan sehingga setidaknya sampai pada tahapan yang sudah dikerjakan oleh Islam Nusantara.

Gagasan Islam kepulauan muncul dalam diskusi akademik di IAIN Ternate pada tahun 2015. IAIN Ternate berdiri sejak tahun 1967 mulai dari status fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, kemudian menjadi STAIN dan terahir menjadi IAIN,  maka saat ini IAIN Ternate berusia 53 tahun. Sebagai kampus Islam tertua di Maluku Utara, maka IAIN Ternate punya tanggungjawab sejarah untuk menjaga perkembangan kualitas keberIslaman masyarakat Maluku Utara. Karenanya dicari sebuah distingsi yang membedakan keilmuan IAIN Ternate dibandingkan PTKIN lainnya maka tercetuslah frase Islam Kepulauan. 

Islam kepulauan harus menjadi suatu kajian yang multidisiplin untuk menentukan ciri ciri pokok bentuk atau corak Islam yang berkembang dan menjadi kekhasan cara beragama masyarakat Islam yang tinggal di kepulauan Maluku Kieraha. Karena itu kajian Islam kepulauan harus diletakkan dan ditata dari bangunan paling dasarnya. Ontologi, epistemologi dan  aksiologi dari Islam kepulauan harus digali dari Islam yang hidup di masyarakat.

Supaya mendapat perspektif yang benar tentang Islam kepulauan, dipermulaan harus diyakinkan bahwa sejarah kedatangan Islam dan berkembangnya Islam di Maluku Utara sudah ditulis secara tepat. Para sejarawan melakukan review kembali terhadap karya karya sejarah yang sudah ada, sejak jaman Belanda sampai Indonesia merdeka. Baik yang ditulis oleh orang orang barat, Portugis, Belanda, Spanyol, sampai karya karya yang ditulis oleh ilmuwan pribumi.

Sumber sumber referensi Melayu, Jawa, China dan Arab yang menulis tentang Islam dan Maluku Kieraha juga harus dilihat kembali untuk menganalisis secara kritis sejarah Islam dan Maluku Kieraha.

Sebelum kedatangan Islam dan barat sastra Maluku Kieraha didominasi oleh sastra lisan, maka sumber sumber Naskah Melayu, Jawa, China dan Arab lebih akurat untuk menggambarkan sejarah Maluku Kieraha. Sebagaimana yang perspektif sejarah Denys Lombard dalam melihat Jawa dan Nusantara sebagai satu kesatuan kebudayaan besar yang disebut sebagai pulau pulau di laut atau propinsi Metropolitan Nestorian pada abad 7-11.

Perkembangan kesultanan Maluku Kieraha, Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan yang dimulai pada abad 14 tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan agama yang terjadi di sebagian besar wilayah Asia. Ekspansi Mongol di Cina daratan, berdirinya imperium mughal di India, berdirinya Khilafah Turki Utsmani di Turki dan Berkembangnya imperium Safawi di Persia memberikan kekuasaan besar terhadap unggulnya peradaban Islam. 

Kekuasaan politik dan ekonomi serta majunya peradaban dunia Islam di tempat tempat tersebut pada masa masa abad 14 membawa pengaruh terhadap kesultanan di Maluku Kieraha dan Kesultanan Islam lainnya di daerah bekas kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya. 

Maluku Kieraha tidak bisa menghindar dari besarnya pengaruh Islam di wilayah kepulauan ini, karena komoditas rempah yang sangat strategis bagi kehidupan penduduk Asia dan Eropa. Terlebih komoditas rempah sudah menjadi kebutuhan masyarakat dunia ribuan tahun sebelum kedatangan Islam di Maluku Kieraha.

Berdirinya kesultanan Maluku Kieraha juga tidak lepas dari dinamika yang terjadi di benua Asia. Karena desakan Mongol, dinasti Ming beralih dari daratan India menuju ke wilayah wilayah kepulauan nusantara. Kaisar Ming dari Cina mengirimkan armada dagang dan dakwah Islam yang cukup besar dibawah pimpinan Laksamana Chengho pada rentang 1405-1453. Ekspedisi ini sejalan dengan luasnya kekuasaan Islam dan penguasaan perdagangan saudagar saudagar muslim. 

Besarnya nilai perdagangan di wilayah ini digambarkan pada persitiwa Pu Luoxin atau Abu Hasan mendapat piagam penghargaan dari Kaisar Cina karena kontribusi bisnisnya terhadap perekonomian Cina.  Dalam catatan lain disebutkan Abu al-Abbas al-Highazilah mempunyai armada 10 kapal yang tenggelam akibat badai di Samudera Hindia. Hanya satu kapal yang selamat berisi komoditas dagang yang sangat bernilai, sehingga dapat memulihkan kekayaanya dalam waktu cepat.

Di sini pentingnya melihat kedatangan Islam dan pembentukan corak Islam di Maluku Kieraha dengan menggunakan naskah naskah yang lebih tua dari peradaban yang lebih maju. Pemahaman Islam yang terbentuk di Maluku Kieraha juga sebaiknya dilihat secara kosmopilitisme bukan keetnisan. Perspektif ini akan membantu memotret sejarah Maluku Kieraha lebih terang, jelas dan sesuai dengan realitas yang sesungguhnya terjadi.

#72

Senin, 20 Juli 2020

Hobi Membaca (tidak) Bisa Diturunkan

Kegemaran membaca bukan penyakit turunan. Beberapa anak mengikuti kebiasaan membaca yang dilakukan oleh orang tua, tetapi beberapa yang lainnya mempunyai hobi tersendiri. Hobi membaca dan menulis mungkin tidak digandakan dalam copy DNA yang dapat diwariskan tetapi sebagai hayawanun natiq (sapiens), kita mewarisi DNA Nabi Adam AS, mahluk yang selalu ingin tahu.

Seperti kebiasaan yang dimiliki dua anak saya. Sebuah buku bisa dibaca lebih dari lima kali. Pun sama ada yang kalau ke kamar mandi harus menyiapkan bekal buku untuk dibaca. Yang satu sama persis dengan kebiasaan saya, sebelum menyiapkan menu makanan harus siapkan buku bacaan. Ditanggung di rumah tidak ada buku satupun yang tidak dibaca. Nyaris tidak ada buku yang tidak terbaca,  bahkan sampai bundel majalah yang sudah berusia puluhan tahun pun dibaca ulang. Ada beberapa saja buku yang masih bagus karena jarang dibaca atau mungkin tidak pernah dibaca. Satu  set tafsir fi dzilalil Qur’an, Sayyid Quthb. Mungkin karena bahasanya terlalu berat, sama seperti buku Das Kapital Karl Marx. Terjemahannya saja sulit dipahami, apalagi aslinya.

Anak pertama yang tahun lulu lulus dari Gontor, koleksi bukunya lebih banyak yang buku cerita daripada kitab pondoknya, padahal pelajaran pondok ada 33 mata pelajaran. Satu mata pelajaran lebih dari satu buku. Pada saat kelas 6, semua buku mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6 diujikan. Itu mungkin yang membuat budaya membacanya semakin terbentuk. 

Anak ketiga keinginan kuat bisa membaca gara gara abangnya sering protes diminta bacakan adiknya. Karena itu dia berusaha keras secepatnya bisa membaca, supaya tidak tergantung budi baik abangnya. Kasihan Karena di Ternate tidak punya akses ke taman bacaan, akhirnya minta diprintkan kumpulan cerita di kertas kertas bekas. Dan hadiah yang paling dia suka adalah dibebaskan belanja buku di Gramedia atau Toga Mas.

Anak pertama bisa membaca sejak usia 5 tahun. Tidak dipaksa. Beberapa buku bergambar dan majalah anak anak sudah disediakan sejak mulai dia tengkurap. Awalnya dilihat lihat, digigit, disobek. Lebih besar sedikit dibolak balik lihat gambarnya. Setelah itu minta dibacakan. Ahirnya minta ajari cara membaca. Kemudian dia tenggelam dalam dunia buku, tanpa sadar.

Anak keempat adalah anomali. Tidak suka baca. Beli buku cerita, lebih suka yang bergambar. Waktu dihabiskan main game atau lihat youtube. Lingkungan membaca kondusif. Buku banyak, tempat baca ada, teladan membaca banyak. Apa sebabnya? Apakah generasi Z (Gen-Z) cara membacanya berbeda?

Walaupun buku di rumah tidak banyak banyak amat, 70 persen bacaan di rumah adalah majalah mulai dari Ummi sampai Hidayatullah, dari intisari sampai tempo. Membaca lebih bersifat rekreatif. Daripada melihat tayangan hiburan di televisi, hiburan di majalah lebih sesuai. Sebab hiburan di televisi pemirsa yang menyesuaikan, membaca majalah pembaca yang mengendalikan memilih dan memilah sesuai kebutuhan.

Seperti juga yang saya alami. Membaca cerita lebih menyenangkan, dan majalah sebagian besar berisi cerita. Beritapun dituturkan dengan narasi cerita. Cara ini saya lakukan untuk membuat membaca menjadi menyenangkan. 

Narasi cerita sekarang banyak diambil alih youtube, televisi dan tayangan lainnya, sehingga budaya membaca mungkin sudah bergeser menjadi budaya menonton. Menonton lebih banyak proses satu arah, sedang membaca adalah proses dialog pikiran antara author (penulis) dengan reader (pembaca).

Menguatnya komunikasi tutur, budaya lisan dengan semakin banyak produk video digital di banyak media sosial, tidak menurunkan minat sebagian besar manusia mentransformasikan pengetahuan melalui tulisan. Seperti yang sering kita kerap saksikan dalam berbagai perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, demikian hanyalah gejala sesaat, budaya instant yang dapat timbul tenggelam. 

Membaca dan menulis dalam kehidupan manusia sepertinya akan berlangsung sepanjang masa, yang diselingi/diinterupsi dengan budaya literasi lainnya yang bersifat tambahan. Kemunculannya menyesuaikan dengan trend teknologi yang berkembang pada masa tertentu.
#71


Minggu, 19 Juli 2020

Membaca Terarah

Setelah selesai S1 kesempatan untuk mengeksplore bacaan semakin beragam. Waktu lebih banyak dihabiskan di perpustakaan. Buku yang dapat dibeli terlalu sedikit dibandingkan dengan hasrat ingin tahu. Perpustakaan daerah Jawa Timur, mempunyai koleksi yang lebih lengkap dengan spektrum keilmuan yang lebih luas. 

Di Perpusda ini kepuasan membaca dapat terpenuhi. Bacaan mempunyai pengaruh menggerakkan. Membaca yang awalnya dengan tujuan membaca untuk memenuhi rasa ingin tahu, menjadi membaca untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh penulis. Saat itulah keinginan ambil magister tiba tiba menguat. 

Setelah membandingkan magister di Universitas Airlangga, Universitas Surabaya dan IAIN Sunan Ampel. Ahirnya pilihan jatuh ke Sunan Ampel karena program studinya paling cocok dengan kuliah sebelumnya, Ekonomi Syari’ah.

Bacaan yang menggiring saya ambil S2, bukan karena ingin jadi dosen, bukan karena ingin jadi PNS, bukan untuk mencari pekerjaan. Murni karena ingin mencari ilmu. Sejauh ini belajarnya dibimbing buku, sudah saatnya belajar dari ilmuwan. Buku dan rasa ingin tahu membawa perjalan lebih jauh. Melalui struktur pembelajaran S2 yang lebih sistematis, cara membaca saya lebih efektif. Membaca dengan tujuan, tidak lagi membaca untuk dinikmati. 

Waktu kuliah S2 mulai belajar menyusun makalah yang benar. Diajarkan filsafat ilmu sebagai dasar berpartisipasi menghasilkan produk dan reproduksi pengetahuan. Melalui metodologi penelitian diajarkan dan dilatih cara menghasilkan inovasi pengetahuan baru. Proses tesa, anti tesa dan sintesa diuraikan dalam artikel. Diajarkan membaca pengetahuan secara kritis. Diajarkan berpikiran terbuka dan mendialogkan pikiran dan gagasan. Membaca sudah menjadi bagian mengumpulkan mozaik mozaik untuk membangun susunan baru.

Dunia akademik bukan dunia saya. Setelah tahu bahwa Magister itu dapat digunakan untuk mengajar mahasiswa, baru mulai terpikir untuk jadi dosen. Usia sudah 34 tahun dan tidak pernah tertarik jadi PNS, kecuali Dosen PNS. Saya lihat teman teman yang aktif di dunia LSM, bebarapa dosen di PTN. Jadi saya pikir kalau jadi dosen PNS bolehlah, sebab masih bisa berkecimpung di dunia organisasi non pemerintah atau organisasi masyarakat sipil.

Ndilalah 3 hari setelah wisuda, iseng iseng buka FB ada yang memberi kabar di IAIN Sunan Ampel dibutuhkan dosen formasi Perbankan Syari’ah. Cocok dalam hati. Tapi perasaan KTP sudah jatuh tempo, belum diperpanjang. Jadi malas mengurus persyaratan. Seminggu berlalu, iseng buka KTP di dompet ternyata KTP masa berlakunya masih tahun depannya. Ahirnya mengajukan lamaran. Tapi niatnya masih iseng. 

Pada hari tes tulis, beli pensil 2B banyak diraut niatnya ladang amal, tidak lulus tidak apa apa yang penting sudah berbuat baik membantu kawan kawan yang berminat jadi PNS. Apalagi setelah lihat di gelanggang pesertanya ratusan dengan formasi puluhan, dan beberapa kenalan banyak lulusan Australia dan Mesir. Ada yang sudah mempersiapkan 5 kali test, lima tahun berturut turut mendaftar. Tinggal satu tahun di Pare untuk memperdalam Bahasa Inggris. Waktu itu testnya 3 soal. Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan potensi akademik.

Setelah selesai tes, segera terlupakan. Dua minggu berlalu dan pikiran sudah sibuk di urusan lain, ada telpon ke rumah dari teman memberitahu : nama ente ada dalam daftar peserta yang lulus untuk masuk tahap ke-2. Saya belum yakin.  Bukan saya pak, mungkin Pak Syarifuddin?. Teman bilang : dua dua nama Syaifuddin dan Syarifuddin masuk. Surprise, iseng saja kok dapat masuk seleksi tahap ke-2.

Tes kedua, wawancara, baca al-Qur’an dan microteaching. Enaknya kalau tidak berambisi, semuanya berjalan tanpa dagdigdug. Tidak ada turunan PNS, keluarga besar Bani Abdullah yang PNS bisa dihitung dengan jari. Tidak suka ngajar formal. Banyak faktor yang bisa menjadi alasan untuk tidak berharap lulus. Jadi semua proses dijalani apa adanya, tanpa persiapan.

Dua bulan kemudian diumumkan. Alhamdulillah tidak lulus. Tapi punya pengalaman baru, dapat saudara banyak. Tidak kecewa karena memang niatnya biasa biasa saja, tidak ngebet banget jadi dosen PNS, banyak yang masih bisa dikerjakan. Tahun berganti, peristiwa berlalu segera terlewatkan, datang kesibukan baru.

Suatu pagi sedang membaca, asyik asyik di rumah, pengacara, pengangguran banyak acara. Telpon rumah berdering. Perasaan mau mengangkat telpon kok terasa ada yang penting. Suara ibu ibu dari seberang telpon, memperkenalkan diri dan memferifikasi nama saya, trus langsung bertanya : Bapak ikut tes PNS di IAIN Sunan Ampel. Ya Bu, pernah ikut, sudah diumumkan tidak lulus. Pak, ini ada formasi di beberapa kampus tapi tidak di Surabaya dan Bapak memenuhi syarat. Silahkan dipikirkan, kalau Bapak berminat bapak ke kampus, silahkan urus pemberkasan. Telpon di ujung sana ditutup.

Glodak, gemetar langsung. Waduh bagaimana ini. Langsung dilakukan perundingan Linggar Jati dengan semua keluarga. Antisipasi kalau kampusnya di Tulungagung, Ponorogo, Jember  atau Madura. Besoknya ke kampus, baru tahun kalau penunjukannya di Ternate. Berarti harus ada perundingan kedua, konverensi meja bulat. Semua teman, kerabat memberikan dorongan untuk berangkat. Macam macam lah motivasi diberikan untuk menguatkan keputusan agar berangkat. 

Secepat kilat diputuskan menyelasaikan semua persyaratan pemberkasan, menjual yang bisa dijual, mobil, motor, ayam. Memulai dunia baru, dunia yang lebih dekat dengan membaca, dan tentu saja seharus menulis. Dunia pengetahuan, dunia pendidikan, dunia transformasi sumber daya manusia, dunia nalar kritis dan perubahan. 

Membaca dan kegemaran membaca membawa perjalanan saya sejauh ini. Kegemaran yang murah tapi amat besar faedah.

#70