Selasa, 14 Juli 2020

Mengembalikan Bank Syari’ah ke Jalurnya (Part 6)


Bank syari’ah mempunyai beberapa kendala dan tantangan, diantaranya ukuran bank yang rata rata kecil dibandingkan dengan bank konvensional, bank syari’ah kehilangan orientasi sosial, terfragmentasi potensi sumberdaya dan pemikiran ekonomi syari’ah.

Permasalahan lain yang dihadapi bank syari’ah adalah jumlah asset dan persaingan yang tidak sehat diantara bank syari’ah. Karena kecil dan terpencar sehingga berat bersaing dengan bank bank konvensional bermodal kuat dan sumberdaya yang mapan. Bank syari’ah dihadapkan dengan efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan karena asset bank syari’ah yang jauh lebih kecil dibandingkan bank konvensional. 

Akibatnya nasabah dan masyarakat umum beranggapan bahwa bank syari’ah lebih mahal dari bank konvensional. Bank syari’ah tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Diantara bank syari’ah yang kecil kecil itu juga perang bisnis memperebutkan ceruk pasar yang sama, ahirnya menurunkan daya saing, manajemennya lemah, pengelolaannya tidak efisien.

Inisiatif memergerkan bank syari’ah plat merah yaitu Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah dan BRI Syari’ah pada tahun 2021 merupakan ihtiar yang baik untuk memperbaiki tata kelola bank syari’ah. Langkah itu dan langkah strategis lain meningkatkan daya saing bank syari’ah akan memperbaiki citra bank syari’ah. Bank syari’ah bisa lebih efisien dibandingnkan dengan bank konvensional.

Konsep awal yang banyak dijadikan pemikiran ideal adalah lembaga keuangan syari’ah berperan sebagai lembaga komersial sekaligus lembaga sosial. Ekonomi syari’ah bertujuan mencapai falakh, bukan healt (kekayaan dan kemakmuran). Bila kekayaan dan kemakmuran ukurannya adalah materi maka falakh itu ukurannya berkah. 

Berkah tidak bisa dicapai hanya dengan paradigma materi, berkah hanya bisa diperoleh dengan menjalankan mu’amalah sesuai nilai nilai syari’ah. Harta yang diperoleh dengan menjalankan aktifitas ekonomi berdasarkan nilai nilai syari’ah. Lembaga keuangan syari’ah yang hanya mengejar aspek komersialnya dan mengabaikan peran sosialnya akan kehilangan keberkahan. Keberkahan tidak diukur dengan tingginya profit pertumbuhan asset, tapi diukur dari spektrum manfaat yang ditebarkan dari aktifitas bisnisnya

Konsep awal baytul mal wa tamwil dalam sebuah lembaga keuangan syari’ah semakin ditinggalkan oleh bank syari’ah. Di dalam lembaga keuangan seharusnya ada peran komersial (baytul tamwil) dan ada peran sosial (baytul mal). Mengapa? Karena bank syari’ah atau lembaga keuangan syari’ah bukan hanya sebagai lembaga bisnis murni. Kalau sebagai lembaga bisnis murni saja dengan mengecilkan fungsi sosialnya, maka bank syari’ah tidak ada bedanya dengan lembaga lembaga ekonomi kapitalis, serupa dengan bank konvensional.

Persoalan ini memang sangat bergantung dengan paradigma ekonomi syari’ah apakah berorientasi pada pertumbuhan atau pemerataan, berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan umum atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Orientasi ekonomi syari’ah ini juga wilayah ijtihad. Apa yang dilakukan oleh bank syari’ah sudah benar tapi ia bisa menjadi lebih baik lagi. 

Orientasi bank syari’ah yang sangat kapitalistik, pro modal, berorientasi pada keuntungan yang lebih tinggi inilah kadang orang menganggap bank syari’ah adalah kapitalisme dalam Islam.

Ijtihad meniscayakan penafsiran yang beragam, sehingga dalam ekonomi syari’ah pun ada tiga mazhab. Mazhab iqtishaduna Baqr al Shadr, mazhab mainstream dan mazhab alternatif kritis. Mazhab ini adalah pilihan pilihan alternatif yang semuanya benar hanya berbeda caranya. 

Mazhab adalah alternatif cara atau jalan yang disediakan, mazhab bukan saling meniadakan atau saling menyalahkan, tapi siapa yang bisa memberi jalan paling baik mencapai tujuan syari’ah, maqashid al syari’ah.

Karena itu tantangannya adalah bagaimana perbedaan itu semakin menguatkan tujuan ekonomi semua mazhab yaitu mensyari’ahkan ekonomi, atau menghilangkan unsur ketidakadilan dan kedzaliman dalam ekonomi masyarakat.

Ada pula tantangan lain bank syari’ah, yaitu terpolarisasi pendapat masyarakat terhadap riba dan mu’amalah. Pandangan masyarakat muslim Indonesia terhadap dakwah anti riba terbagi menjadi tiga kelompok : ekstrim kiri, ekstrim kanan dan pertengahan. 

Ekstrim kiri berpandangan uang kertas haram, semua mu’amalat terkait bank haram termasuk bank syari’ah, semua asuransi haram, riba secara mutlak haram walaupun kondisi darurat, mata uang yang wajib dipakai hanya dinar. Ekstrim kanan berpendapat serba boleh, semua produk bank halal termasuk bank konvensional, selama niatnya baik semua muamalah menjadi halal, selama mu’amalah saling ridho maka hukumnya halal, mudah menggampangkan situasi menjadi darurat. 

Pendapat kelompok pertengahan, semua transaksi mubah sampai ditemukan dalil yang mengharamkan termasuk asuransi dan bank, tidak mengharamkan sebuah transaksi sampai ditemukan unsur riba, gharar dan transaksi yang merugikan atau tidak adil, menimbang halal dan haram sesuai dengan Maqashid al-Syari’ah.

Syari’ah masih disalahapahami dan disalahartikan. Mengapa bank syari’ah yang pertama kali berdiri menggunakan nama Bank Mu’amalah, bukan bank syari’ah?  Karena terma “syari’ah” di tahun 1990 an sering dikaitkan dengan politik Islam, negara Islam. Kata syari’ah dikonotasikan ke dalam ekstrim kanan. Karenanya yang bernama syari’ah dihindarkan, apalagi dalam bisnis.

Sekarangpun masih samar sama terdengar pengembangan ekonomi syari’ah dikaitkan dengan penegakan syariah dan peraturan daerah (perda) syari’ah. Bisnis bisnis syari’ah seperti wisata halal, hotel syari’ah sering masih dilihat agak sinis. Masih ada kehawatiran bahwa penggunaan kata syari’ah dalam setiap aktifitas bisnis mengandung misi atau maksud dan kepentingan tertentu. Penggunaan kata syari’ah belum sepenuhnya menjadi istilah yang netral dan umum.

Memang memerlukan waktu dan proses supaya syari’ah dipahami dengan benar, tidak menimbulkan kesalahpahaman dan menimbulkan paham salah.

Wallahu a’lamu bishowab.
Selesai.

#65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar