Jumat, 10 Juli 2020

Lumbung pangan


Presiden baru saja mencanangkan lumbung pangan nasional. Mengingatkan saya pada lumbung desa di kampung kami. Dusun tempat saya dilahirkan berada di dataran rendah, rawa rawa pedalaman Jawa, tepatnya di daerah aliran bengawan Solo Lamongan. Di sebuah lapangan dusun ada bangunan dari kayu jati berbentuk panggung dengan satu pintu dua jendela. Rumah seluas 50 meter persegi itu lumbung, tempat penduduk menyimpan pada yang digantung bersama tangkainya, karena masa itu padi dipanen dengan pisau kecil yang disebut ‘ani ani’. Saat lumbung kosong, kami kanak kanak memanfaatkan lumbung sebagai tempat permainan petak umpet, karena tempatnya yang teduh dalam lingkungan yang asri dan lapang. Itulah ingatan saya terahir tentang lumbung.

Pada tahun 1980 an kayu jati di dusunku adalah unsur utama properti pedesaan. Rumah, perahu, sekolah, masjid, gardu, lumbung, kandang kerbau dan semua bangunan semua dari kayu jati, sedikit yang menggunakan material bambu. Lingkungan rawa rawa membuat kayu jati sangat penting. Jati ini didatangkan dalam jumlah besar dari pedalaman Jawa di daerah selatan. Kayu kayu glondongan di larung di bengawan solo dalam bentuk rakit, kemudian sampai di tempat di bentuk sesuai dengan keperluan, perahu dan kapal kecil adalah kebutuhan primer, kakinya penduduk. 

Kakek dan buyut adalah ‘petinggi’, kepala desa, tanda status sosialnya adalah kepemilikan perahu, kerbau dan sawah. Sawah tidak dapat ditanami sepanjang tahun, sebab di musim penghujan, daratan itu berubah menjadi danau besar, yang batas batas tanah diketahui dari ujung ujung pohon pisang yang terendam air. Ikan lebih mudah didapatkan daripada beras, karena itu lumbung padi adalah cadangan gudang pangan dusun kami, kata kakek. Meskipun tidak betul betul terisolir, tapi lingkungan sungai membuat pergerakan manusia sangat terbatas, keluar dan masuknya barang juga sangat terbatas.

Kebijakan lumbung pangan nasional yang dicanangkan oleh Presiden, dengan pengembangan food estate seluas 20.000 hekatar di Kalimantan Tengah ide yang bagus. Tapi mengaca pada pengalaman presiden presiden sebelumnya, program lumbung pangan nasional model skala besar seperti ini sulit untuk berhasil bertahan, dalam jangka panjang. Pak Harto pernah mencanangkan lahan padi sejuta hektar, Pak SBY mencetak sawah di Merauke (Papua) sebagai lumbung pangan.
Strategi lumbung pangan nasional sejak zaman Pak Harto, Pak Sby dan kembali dicanangkan oleh pak Jokowi, meragukan dari sisi strategi membangun ketahanan pangan yang lestari.

Alangkah baiknya jika negara memperkuat ketahanan pangan di pedesaan dengan revitalisasi lumbung, penguatan pertanian gurem dan diversifikasi bahan pangan yang menjadi kekayaan budaya pangan kita. Badan pangan dunia (FAO) menyebutkan, 70 persen pangan dunia diproduksi oleh petani keluarga (family farming), petani gurem. Pertanian Indonesia, 96 persen pemasok beras adalah petani gurem yang menyerap tenaga kerja hingga 35%.

Menopang, mendukung dan memfasilitasi petani kecil adalah cara yang paling terbukti untuk menciptakan ketahanan pangan yang lestari. Membantu petani gurem adalah usaha mengokohkan ekonomi rakyat, penyerapan tenaga kerja tinggi dan mencegah kemiskinan.

Model lumbung pangan nasional mengatasi ketersediaan pangan dalam jangka pendek dan menguntungkan segelintir pemilik modal. Dalam jangka panjang akan meminggirkan petani gurem, soko guru beras nasional dan mengurangi insentif untuk bertani. Lahan lahan subur lambat laun akan dikonversi menjadi lahan non pertanian, jumlah petani semakin mengecil, dan akan membunuh ketahanan pangan semesta secara perlahan. Lumbung pangan nasional yang menggeser peran petani gurem, pada gilirannya akan membuat dua lumbung pangan ini lemah dan dimanfaatkan oleh importir mendatangkan beras yang lebih murah. Aneh, negara agraris negara pertanian, sebagian besar pangannya impor. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama,  negara penghasil migas berubah menjadi negara pengimpor migas.

Pertanian skala besar cenderung monokultur, sawah padi, ladang gandum, kebun tebu dan seterusnya. Sementara petani kecil melestarikan keragaman pangan. Di satu lahan ada bermacam tanaman, palawija (padi, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan lain lain, palapendem (ubi rambat, ubi kayu, talas, bentul, gembili dan sebagainya), barito (bawang, rica, tomat). Di pinggir pinggi lahan ditanam sayur, pisang dan pepaya. Ketahanan pangan dan keragaman hayati lestari dalam pertanian tradisional.

Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pertanian dan ekonomi rakyat daripada pertanian massal. Jaga dan lestarikan lumbung desa setelah itu baru bangun lumbung nasional sebagai penopang lumbung rakyat untuk ketahanan pangan nasional.

Sebaiknya pemerintah mereview kembali kebijakan pertanian yang arahnya sudah melenceng. Reforma agraria tidak berdampak pada keadilan distribusi lahan. Rasio gini tanah 0,58, artinya 1 persen penduduk menguasai 58% lahan, 99% penduduk kebagian 42% lahan. Ketimpangan yang menyakitkan. Jawa yang subur lahannya terus merosot, dengan penghasilan pertanian yang semakin mengecil  sehingga sektor pertanian semakin ditinggalkan. Lahan dikonversi, prifesi ditinggalkan.

Petani kecil berjuang sendiri, bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pupuk, obat dan bibit yang baik. Tidak ada perhatian yang memadahi dari pemerintah untuk upgrade pengetahuan dan manajemen pertanian membuat kemampuan bertahan hidup petani semakin lemah. Kredit usaha kecil kurang tersalurkan karena ada yang tidak nyambung antara dunia pertanian dengan dunia perbankan, karena kesenjangan pengetahuan.

Anggaran pertanian dan ketahanan pangan di kementerian pertanian tidak sampai 10 persen dari anggaran pertahanan dan keamanan negara. Anggaran kementerian pertanian pemerintahan presiden Jokowi pada periode 2014-2019 seperempat dari anggaran Polri dan 15 persen dari anggaran kementerian pertahanan. 

Marilah kita kembalikan pertanian sebagai sektor panglima, mensyukuri anugerah alam, menjaga keanekaragaman hayati dan memberi kehidupan yang makmur untuk penduduknya. Baldatun toyibatun wa rabun ghafur, adalah negeri yang gemahripa lohjinawi. Murah sandang, papan dan pangan, karena penghuninya mengolah secara lestari anugerah sumber daya alam yang subur dan melimpah.

#61

4 komentar:

  1. Soal era soal kecocokan pun soal SDM. Era dulu, cocok bagi yg dulu, SDM dulu yg nyambung luar biasa tentu berbeda dg era, kecocokan pun SDM kekinian. Inovasi mungkin jawabnya

    BalasHapus
  2. Nek minyak sawit termasuk pangan gak pak

    BalasHapus
  3. Salah satunya SDM. Juga inovasi di berbagai bidang, teknologi, manajemen, kearifan lokal dan kebijakan pemerintah yg pro pertanian, tata guna lahan, anggaran dan riset pertanian berkelanjutan.

    BalasHapus
  4. Minyak sawit, duwite keno gawe tumbas maem pak Lukman 😁👍

    BalasHapus