Sabtu, 04 Juli 2020

Alasan Menulis


Ada 10 alasan yang membuat saya haruskan diri untuk terus menulis. 

Pertama, saya malu kepada Allah Swt. Tuhan telah memberikan kesehatan, keamanan, kecukupan rizki dan kelapangan hidup, tapi saya nikmati sendiri. Tidak menulis, tidak berbagi antar sesama, pelit kepada orang lain. Saya malu pada hari mahsyar disaksikan manusia di seluruh alam raya. Mengapa tidak menulis? Saya sudah menulis disertasi ya Allah. Kamu menulis disertasi adalah untuk syarat kelulusan supaya boleh dipanggil doktor. Saya menulis tesis ya Allah. Kamu menulis tesis supaya bisa menyandang gelar magister. Saya menulis laporan penelitian ya Allah. Kamu menulis laporan untuk pencairan anggaran. Mana tulisanmu yang kamu tujukan karena Aku. Mana bukti baktimu sebagai hamba yang menyembah kepadaKu?

Saya tidak mau kejadian seperti itu terjadi di saat mizanul amal di hadapan rabul izzati. Betapa malunya di hadapan seluruh ummat manusia, mempertanggungjawabkan hal yang sederhana, yang seharusnya tidak sulit dikerjakan. Hanya karena malas. Astaghfirllahaladzim.

Kedua, saya malu dengan Rasulullah Saw. Rasul memerintahkan kepada ummatnya untuk menganjurkan kebaikan dan mencegah yang munkar. Menulis adalah cara efektif untuk menjalankan dua perintah itu. Tulisan akan dibaca orang, atau dibacakan oleh orang yang bisa membaca kepada orang yang buta huruf. Rasul mengajarkan banyak pengetahuan dan tuntunan hidup yang ditulis dan dibukukan oleh para sahabat dan tabi’in. Diperkaya dan dan ditulis oleh para ulama’ salafus shalih hingga akhir zaman. Mengapa kekayaan pengetahuan itu hanya berhenti sampai saya. Tidak menuliskan dan menyebarkannya kembali.

Saya malu sebagai ummat Rasul Muhammad yang bisa membaca, tapi tidak mau menulis. Bersemangat mencari ilmu tapi tidak mengajarkannya. Serakah banyak membaca dan mempelajari ilmu, tapi hanya saya nikmati sendiri, saya amalkan sendiri. Rasanya tidak pantas masuk dalam golongan umat Rasul Muhammad, kalau saya malas menulis.

Ketiga, saya malu dengan Pak Dr. Ngainun Naim. Bukan atasan saya, bukan saudara saya, bukan tetangga saya, bukan mitra bisnis saya, bukan siapa siapa. Tapi dengan tekun membimbing yang kurang mampu. Dengan bijak mengajak yang malas. Memberi contoh, tauladan menulis. Memberikan semangat menulis tiada henti, setiap hari setiap waktu. Melakukan semua denga ikhlas, tanpa bayaran. Merawat dan menyebarkan spirit literasi tiada henti. Kalau saya tidak menulis, ditaruh di mana muka saya.

Saya malu dengan guru guru saya dari mulai SD sampai S3, karena saya tidak mampu menyebarkan berbagai macam ilmu yang telah mereka ajarkan. Rasanya saya tidak mampu mengangkat muka di hadapan guru guru, bila terus memelihara kemalasan menulis. Karena ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah. Malu kepada guru guru, karena saya tidak bisa menghasilkan buah. Tulisan adalah bagian dari buah ilmu pengetahuan.

Keempat, saya malu kepada murid murid saya.  Saya mengajarkan kepada mereka ilmu yang ditulis oleh orang lain. Mengajarkan kepada mereka pendapat-pendapat, teori teori, ilmu pengetahuan guru guru saya. Saya hanya sebagai penyambung lidah ilmu guru guru saya. Saya harus menjawab bagaimana kalau mereka bertanya. Ilmu bapak mana, pendapat bapak mana, tulisan dan karya bapak mana?

Saya mengajarkan kepada mereka menulis yang baik, membuat makalah yang ilmiah, melakukan riset dan laporan yang berkualitas. Tapi saya tidak bisa menunjukkan contoh tulisan yang baik, makalah yang ilmiah, riset dan laporan yang berkualitas. Sungguh sangat malu bila itu terjadi, karena tidak ada yang bisa saya berikan kepada anak didik. Sungguh berat pertanggungjawaban keilmuan saya, mengajarkan apa yang tidak saya kerjakan.

Kelima, saya malu dengan anak keturunan saya, baik yang pernah bertemu dengan saya atau generasi berikutnya yang tidak perah lagi bertemu dengan saya. Mereka bertanya apa yang menjadi bukti saya berpengetahuan, terdidik, sekolah bertahun tahun, mencari ilmu sepanjang hidup? Ketika keturunan yang tidak pernah bertemu bertanya siapa moyangku? Jawabannya adalah ciri ciri fisik, foto atau video. Kebanggaan apa yang didapatkan dengan bukti seperti itu? 

Maka saya harus terus menulis dan berkarya sebanyak banyaknya, sebaik baiknya. Karyalah yang akan menjelaskan kepada keturunan saya apa yang sudah saya perbuat dalam hidup saya. Biarlah nama saya tertulis dalam karya biarpun tanpa foto, tanpa suara. Jangan sampai nama saya tertulis sekali secara abadi, tapi di batu nisan.

#55


2 komentar:

  1. Mantab motivasinya, untuk saat ini saya menulis untuk belajar, Insyaallah bermanfaat untuk pribadi, kalau ada manfaat untuk orang lain itu bonus.

    BalasHapus
  2. Sepakat pak Luk. Belajar dan memberi manfaat sepanjang hayat.

    BalasHapus