Selasa, 28 Juli 2020

Keledai di Idul Adha


Alhamdulillah Idul Adha tahun ini adalah lebaran haji ke 11 di nagari para raja. Berhari raya kurban di perantauan, di perjalanan atau sedang berada di sebuah empang terpencil yang jauh dari mana mana sudah pernah saya jalani. 

Melaksanakan sholat Idul Adha hanya bertiga terjadi 21 tahun lampau di Lampung Selatan, tepatnya di Kalianda. Waktu itu dampak krisis masih terjadi, harga beras dan sembako lainnya naik dengan harga rata rata dua kali lipat dari harga sebelumnya. Badan pangan dunia WFP sedang melaksanakan Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) dan kami salah satu LSM yang dilibatkan dalam program tersebut. Sebanyak 350 ribu keluarga dapat membeli beras maksimal 5 kg per minggu dengan harga sepertiga dari harga pasar selama 108 minggu. Setelah acara kegiatan itu kami lanjutkan perjalanan ke Lampung menyeberang ke Bakauhuni melalui Merak.

Karena yang punya acara yang menentukan waktu, kita tidak sadar bahwa waktu kegiatan berada di awal awal Dzulhijjah yang sebentar lagi datang Idul Qurban. Menjelang malam takbir di Kalianda yang terpencil jauh dari kampung, kami baru sadar bahwa besok pagi hari raya. Dengan pakaian seadanya, di pematang tambak yang sempit, kami bertiga melaksanakan sholat id, masing masing punya tugas sebagai imam, khatib dan pemimpin takbir. Itu pertama kalinya khutbah idul Adha.

Tentu karena dadakan tidak ada acara lanjutan penyerahan dan penyembelihan hewan kurban. Di sekitar kami banyak ikan bandeng dan udang windu, maka setelah sholat idul adha, kami ambil ikan ikan tersebut yang sudah dipasang di bubu semalaman.

Di lebaran haji tahun berikutnya juga terjadi kejadian serupa. Waktu itu ada kegiatan kehutanan yang dilaksanakan Guest House UGM Yogyakarta. Tidak tahu bagaimana ceritanya, kegiatan dilaksanakan selama 4 hari dan berakhir sebelum Idul Adha. Travel dan bus tujuan Surabaya rata rata penuh sudah terlalu mendadak. Yang tersisa tinggal perjalanan dengan kereta api. Tiket yang tersedia tinggal kereta ekonomi malam, Mutiara Selatan dan Logawa. Mulai sore, penumpang di stasiun Lempuyangan sudah berjubel. Kebanyakan penumpang tujuan Madura, warga madura di pulau Madura maupun warga madura yang tinggal di daerah tapal kuda.

Masyarakat Madura mempunyai tradisi unik yaitu melakukan perjalanan mudik besar besaran di Idul Adha, bukan hari raya Idul Fitri. Selain pertimbangan ekonomi, bahwa pada masa Idul Fitri bisnis informal sedang panen, juga ‘toron’ nya masyarakat Madura menyerupai dengan tradisi Idul Adha di Makkah. Pada masa lebaran haji inilah masyarakat Madura merayakan secara meriah bersamaan dengan keberangkatan dan kepulangan jama’ah haji.

Kereta api jamnya tidak menentu seperti sekarang. Ditambah lagi pada musim lebaran gerbong dan lokomotif kereta api jumlahnya ditambah, sehingga trafic rel kereta cukup tinggi. Kereta yang kami tunggu dari arah Bandung dan Purwakerta mundur 5 jam dari waktu yang dijadwalkan. Sebelum kebiasaan delay pesawat, kereta api Indonesia sudah lebih dahulu punya tradisi delay. Delay pesawat masih bis dinikmati, tapi delay kereta api sebuah siksaan yang berat. Panas, berdebu, ribut, banyak asongan, nyamuk, aroma sampah, macam macam orang, orang gila dan orang waras bercampur jadi satu menunggu harap harap cemas di peron peron kereta api

Menjelang tengah malam kereta Mutiara Malam Selatan dari Bandung, datang terseok seok dari barat. Gerbong gerbong sudah sarat penumpang. Supaya dapat menaruh badan sehingga terbawa masuk ke gerbong sebuah perjuangan. Setiap inci tempat sudah terisi. Tiga jam perjalanan sampai stasiun Solo Balapan berdiri dalam gelap gerbong. Untuk duduk atau mencari tempat berdiri yang bisa menyadarpun tak dapat. Biasanya dekat toilet, sambungan antar gerbong agak longgar. Tapi malam itu semua penuh manusia, bahkan sampai toiletpun dijadikan tempat berdiri manusia.

Selepas Solo, badan capek, mata mengantuk. Dari luar gerbong sayup sayup terdengar takbir bergema. Dari masjid ke musholah, dari kota satu ke kota lainnya, silih berganti berkumandang takbir. Mulai nekat cari tempat yang bisa naruh badan, ahirnya menelusup di sela sela kursi penumpang. Lumayan dapat meluruskan kaki dan badan, siap dengan konsekuensi kadang punggung, kaki, kepala diinjak orang yang melangkah dalam gelap.

Menjelang subuh walaupun kondisi badan remuk redam, ahirnya kereta sampai di Surabaya. Alhamdulillah masih bisa sholat Idul Adha.

Lebih bengal dari keledai, jatuh berulang di lubang yang sama. Di tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Kali ini kegiatan dilaksanakan di Lembang Bandung. Karena kesibukan kegiatan yang padat sepanjang tahun, tidak sadar bahwa kami berangkat ke Lembang satu minggu menjelang Idul Adha. Perjalanan lancar jaya naik bus eksekutif dari surabaya dengan rombongan enam orang. Setelah kegiatan, jadwal pulang jatuh pada satu hari sebelum Idul Adha. Kita lupa pesan tiket kepulangan, sehingga mendadak mencari kereta eksekutif Turangga dari Bandung sore, sampai Surabaya pagi.

Walaupun jadwal perjalanan kereta api eksekutif lebih tepat waktu dibandingkan dengan kereta api ekonomi, namun karena kres kereta api lebih sering ahirnya jadwal kedatangan mundur dua jam. Menjelang fajar terbit setelah subuh kereta api masih diantara Nganjuk dan Jombang. Ketika di sepanjang perjalanan banyak masyarakat sholat Id, penumpang kereta jengkel karena tidak bisa sholat Id di Surabaya. Ya salah kita sendiri, mengapa tidak direncanakan baik baik. Sudah tahu risiko perjalanan di musim lebaran harus dirancang baik baik, selalu ada kemungkinan terjadi hal hal tak terduga.

Bila mengenang kejadian di tahun tahun itu, menyadari betapa buruknya perencanaan. Mengapa kesalahan serupa terulang setiap tahun berturut turut. Perjalanan yang tidak direncanakan sampai tuntas. Tiba masa, tiba akal. Dikerjakan apa yang ada di depan, tidak tahu apa yang akan dikerjakan pada masa masa mendatang. Atau itukah bedanya lembaga pemerintah dengan non pemerintah? Atau bedanya lembaga dulu dengan sekarang? Atau bedanya lembaga yang terorganisir dengan lembagai yang tidak punya sistem manajemen yang baik?

Lebaran haji pada awal pertama datang di Ternate mendapat undangan mendadak menjadi khatib di Masjid Gambesi. Tiga bulan setelah menjadi penghuni pulau rempah mendapat kehormatan menjadi khatib di tempat yang budayanya berbeda dengan kampung saya. Dua hari menjelang pelaksanaan sholat Id pengurus BKM datang ke kantor memohon kesediaan. Khotib yang sudah dijadwalkan sejak satu bulan sebelumnya tiba tiba harus naik mimbar mengisi khutbah perdana Idul Adha di Masjid Raya Al-Munawar.

Di Jawa, Idul adha diselenggarakan secara sederhana, tidak demikian dengan di Ternate. Idul Adha di Ternate sama meriahnya dengan Idul Fitri. Bahkan mungkin lebih ramai. Karena pendatang dari luar pulau Ternate, dalam propinsi atau luar propinsi mudik pada saat Idul Fitri, tapi di Idul Adha tidak. Ternate, walaupun tidak seperti Jakarta yang besar dan megah, tapi sudah kosmopolitan sejak berabad abad lampau. Berbagai budaya, suku ras dan agama dipertemukan di Ternate membentuk budaya hybrid. Ras penduduknya juga sudah bercampur aduk. 

Tak jarang kita jumpai banyaknya persilangan ras diantara kolega dan mahasiswa di tempat kerja saya. Bapak campuran Padang Ternate, ibu campuran Jawa Ambon. Bapak Campuran Makian Arab, ibu campuran Bacan Cina. Wajah wajah Portugis, Spanyol, Papua, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak nyaris semua ras di Nusantara ini ada di Ternate.

Merayakah Idul adha di Ternate adalah merayakan kebhinekaan.


Sangaji Ternate
28 Juli 2020
# 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar