Sabtu, 25 Juli 2020

Daya Gedor Morabind


Kementerian Agama RI lebih husus lagi direktorat penelitian dan pengabdian masyarakat (Litapdimas), selama musim pandemi Covid-19, dengan pola kerja Work From Home (WFH) lebih intensif melaksanakan rapat maya, bersama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri  (PTKIN) di tengah terbatasnya mobilitas manusia. 

Covid-19 tidak menghalangi kreatifitas dan inovasi, meskipun tidak bisa bermuwajaha langsung, namun penggunaan zoom meeting efektif untuk mencapai tujuan dari rapat, diskusi dan seminar oleh para pengelola litapdimas di 58 PTKIN seIndonesia. 

Pertemuan sore itu mendadak karena IAIN Salatiga memantik perbincangan dengan keberhasilannya dalam dunia perbukuan dan penerbitan. Setelah dilakukan identifikasi oleh seluruh PTKIN tenyata 38 dari 58 perguruan tinggi sudah mempunyai penerbit kampus atau University press. Dengan 70 % keberadaan university press di lingkungan kementerian agama menjadi modal yang positif untuk memperbaiki kualitas produk karya ilmiah buku. Apabila dilakukan penelusuran ke perguruan tinggi swasta di bawa Kementerian Agama ada peluang potensinya lebih besar lagi.

Untuk mendata produktifitas artikel pada jurnal ilmiah Kemenag RI mempunyai Moraref (Ministry of Religius Affairs Reference), sedangkan Morabind (Ministry of Religius Affairs Book Index) diharapkan menjadi instrumen pemantauan produktifitas dan peningkatan kualitas buku yang ditulis oleh dosen PTKIN.

Keberadaan university press dan Morabind menciptakan peluang yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan buku yang berkualitas, mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Memenuhi persyaratan 3M, mutu, merata dan murah.

IAIN Ternate sejak 2 tahun yang lalu sudah berupaya mempunyai lembaga penerbitan yang diberi nama IAIN Ternate Press. Meskipun ditengah polemik yang berseliweran, penerbitan ini tetap berdiri dan berjalan. Penerbitan ini menyediakan fasilitas kemudahan kepada dosen yang berminat menerbitkan buku. Kurang lebih 10 buku telah diterbitkan oleh  IAIN Ternate Press. Pencapaian yang sangat besar setara dengan pencapaian 45 tahun sebelumnya. Produktifitas penerbitan buku tidak semata ditentukan oleh penerbitan, tapi lebih pada keberanian dosen, para pendidik dan para pakar untuk menghasilkan buku ajar dan buku referensi. 

Walaupun kurang direspon positif pada awalnya, namun ternyata penerbitan kampus menjadi tren yang berkembang di PTKIN. Beruntung IAIN Ternate memaksakan diri punya penerbitan. Ahirnya sekarang kita merasakan manfaatnya, dapat maju bersama sama dengan PTKIN lain yang sudah punya university press.

Tradisi penulisan buku di kampus, university press berbeda dengan tradisi penulisan di penerbit komersial. Bila Mizan, Gramedia, Remaja Rosdakarya, Rajawali Grafindo dan seterusnya menerbitkan buku harus mempertimbangkan potensi pasar maka university press mempunyai misi yang berbeda. IAIN Ternate Press dan SUKA Press menerbitkan buku pertimbangan utamanya adalah mengabdi kepada keilmuan dan memberikan bacaan yang bermutu, mudah diakses dan murah harganya, mendukung lembaga pendidikan yang membawa misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka mendigitalisasi buku adalah salah satu solusi untuk menghasilkan buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Masalahnya harus ada mekanisme penghargaan finansial yang sepadan kepada dosen dosen yang menulis buku ajar sehingga memberikan daya dorong untuk berkarya. Buku buku ajar yang hak kekayaan intelektualnya dapat digratiskan secara terbatas. Kita berharap produktifitas dosen dalam berkarya dengan penyediaan buku ajar murah dapat terpenuhi dengan mekanisme ini.

Buku referensi yang dihasilkan dari karya tulis dosen yang melakukan penelitian sudah selayaknya diterbitkan secara terbatas sesuai dengan anggaran penelitian yang tersedia. Buku hasil penelitian bila diterbitkan dipublish secara gratis dalam bentuk digital sebaiknya didukung dengan pembiayaan riset yang seimbang. Kurang fair bila biaya penelitian murah tetapi mengharapkan buku hasil penelitian yang berkualitas. Karena itu outcomes buku penelitian sudah dapat dipertimbangkan. Keberadaan buku digital atau buku elektronik ini sesuai dengan UU Sistem Perbukuan Pasal (5).

Terkait dengan rencana Kemenag RI merevitalisasi Morabind tidak terlepas dengan regulasi perbukuan di republik ini. UU nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan didukung oleh Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Terselip cerita, bahwa pada awalnya Kemenag RI tidak termasuk dalam sistem perbukuan padahal UU sudah sampai di sidang peripurna DPR. Maka UU tersebut mendapat revisi Pasal 6 ayat 3 yang berbunyi : “Muatan keagamaan dalam buku pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama.

Berdasarkan legalitas tersebut maka Kemenag RI menerbitkan Peraturan Menteri Agama nomor 9 tahun 2018 tentang buku pendidikan agama Islam. Dengan itu buku buku yang akan diterbitkan patuh pada batasa batasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 42 ayat (5) yaitu : tidak bertentangan dengan nilai nilai Pancasila; tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan; tidak mengandung unsur pornografi; tidak mengandung unsur kekerasan; dan tidak mengandung ujaran kebencian.

IAIN Ternate Press sebagai penerbitan kampus atau university press sejalan dengan amanah Undang Undang sistem perbukuan tersebut dalam pasal 55 ayat  (2). Kampus mendorong ketersediaan buku teks untuk perguruan tinggi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dan tersedia secara merata. Upaya itu dilakukan melalui pembentukan penerbitan, peningkatan kompetensi dosen untuk menulis buku, penerjemahan dan penyaduran buku untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemenag RI juga mendorong penerbitan buku melalui “program penerbitan 5000 buku”.  Buku yang diterbitkan berupa buku hasil riset, buku mata kuliah, buku referensi dan monograf. Program ini dijalankan oleh Litapdimas kemenag RI sinergi dengan PTKI melalui penerbitan mandiri, sinergi dengan penerbit dan program Morabind.

Tersisa satu pekerjaan rumah yang cukup penting tetapi genting, membangun budaya menulis di lingkungan akademik. Dosen yang menulis jumlahnya cukup kecil, terlebih di kampus kampus yang iklim akademiknya kurang maju. Di tahun 2011 saya pernah menemani Prof. Ahmad Kayacik dari Turkey Foundation menjadi narasumber seminar internasional pendidikan yang diadakan oleh STAIN Ternate. Salah satu topik diskusi kami adalah publikasi karya tulis dan kompetensi dosen di negeri kita. Dia membandingkan dengan sistem pendidikan tinggi di Turki dan saya menjelaskan sistem pendidikan di Indonesia, terlebih di kawasan timur Indonesia. Dia heran. Dalam pikiran saya bayna sama’ wa sumur. 

Sembilan tahun berlalu, persoalan seperti itu masih tetap terjadi di lingkungan saya. Tidak cukup do’a untuk menyelesaikan persoalan demikian. Harus ada solusi terstruktur dan terprogram yang menjadikan budaya akademik dan budaya ilmiah menjadi perhatian utama. Pembangunan fisik sangat penting, tetapi membangun sumber daya manusia jauh lebih penting untuk kampus yang berkualitas, untuk pendidikan tinggi yang berkualitas, dan peradaban Islam yang tinggi. Kampus yang wah dengan budaya akademik yang rendah tak ubahnya hotel berbintang, tamu keluar masuk untuk istirahat saja, tidak ada nilai tambah buat peradaban dan kemajuan Maluku Utara.

Sore di Kelurahan Sangaji Ternate
25 Juli 2020
#76

2 komentar:

  1. Lha piye pak Luk? Ada pendapat lain, atau pendapatan lainπŸ˜€πŸ‘Œ

    BalasHapus