Pada minggu ini kita dikejutkan dengan harga emas yang mendekati 2 ribu US$ per ons, atau kalau dirupiahkan harga per gram mendekati 1,5 juta. Biasanya kalau harga emas membumbung tinggi ada indikasi ekonomi global sedang terguncang. Secara tidak sadar kita sedang mengimani bahwa dinar atau mata uang emas paling stabil sepanjang zaman. Tidak salah bila masa gemilangnya peradaban Islam, karena penggunaan mata uang dinar dan dirham yang merupakan warisan konsep moneter Romawi dan Persia.
Menurut Dahlan Iskan harga baru emas ini menunjukkan kerapuhan ekonomi dalam jangka panjang. Turunnya nilai tukar dolar menyebabkan naiknya harga emas dan akan berdampak pada inflasi. Penyebab inflasi ini karena Amerika mencetak dolar sampai 2,5 triliun US$ (38 ribu triliun rupiah). Uang sebesar itu digunakan untuk stimulus ekonomi dan jaring pengaman sosial Amerika. Uang yang dicetak tanpa aktifitas riel ekonomi secara teori menurukan nilai mata uang.
Amerika berasumsi inflasi akan diekspor ke luar negeri, karena pemakai dolar di luar Amerika cukup banyak. Namun asumsinya banyak yang meleset. Pemakaian dolar di pasar global menurun drastis karena efek perang dagang Amerika dengan Cina. Dalam kondisi krisis ekonomi dan resesi ekonomi di banyak negara sulit menghindarkan bahwa uang yang dicetak itu hanya digunakan untuk konsumsi, karenanya tidak ada nilai tambah apapun dalam perekonomia.
Sektor produksi sangat sulit digerakkan dalam kondisi krisis. Produksi hanya memungkinkan di sektor konsumsi, yaitu produk makanan, minuman, obat dan kebutuhan konsumsi masyarakat yang sangat terbatas dan sengaja dibatasi untuk mempertahankan kehidupan dalam jangka panjang di tengah ketidakpastian akibat pandemi.
Di masa Pandemi sektor produksi berjalan lamban dan nyaris berhenti, karena tingkat permintaan juga cenderung berhenti. Bank bukan tidak punya modal yang bisa diinvestasikan. Masalahnya tidak ada sektor produksi yang punya keberanian untuk bergerak akibat pandemi. Semua saling tunggu.
Dalam seratus tahun terakhir, kita tidak pernah menemukan Amerika mengalami kesulitan mengatasi persoalan ekonomi akibat pandemi. Kondisi yang dialami masyarakat global yang ekonominya sedang sekarat, tidak bisa diharapkan mampu membantu mencegah inflasi yang diekspor ke pasar global. Kita jadi tahu bahwa selama ini ada sebagian negara yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan mata uang dominan. Sehingga bila ada masalah ekonomi dalam negeri, tinggal cetak uang dan risiko inflasinya ditanggung orang sedunia.
Sistem moneter dunia kita memang cacat, eksploitatif. Negara negara yang sudah terlanjur kaya, yang ekonominya kuat, mempertahankan keunggulannya dengan menciptakan ketergantungan ekonomi pada negara miskin dan berkembang melalui penggunaan mata uang. Uang kertas, yang tidak punya nilai riel dapat dipermainkan nilainya dengan sistem moneter.
Krisis akibat pandemi membuka cacat dan borok sistem moneter dunia yang dianggap terbaik, menjadi jungkir balik. Sedang terbentuk keseimbangan baru ekonomi dunia. Covid 19 selain memperbaiki kualitas lingkungan hidup karena deru konsumtif direm mendadak, borosnya penggunaan energi terhenti sehingga alam mendapat kesempatan memulihkan dan memperbiki kualitasnya. Demikian pula sektor ekonomi juga mengelami pembersihan ekonomi terutama di sektor moneter yang menggelembung, tidak ada isi dan penuh rekayasa yang merugikan negara-negara miskin dan berkembang.
Indonesia yang berencana mencetak uang atau berhutang sekitar 700 triliun rupiah , berbulan bulan berdebat dalam berbagai forum, antara DPR dengan Menteri Keuanga, ahirnya tidak menemukan kata sepakat, karena risiko ekonominya akan sangat besar. Amerika dengan mudahnya mencetak uang 38 ribu triliun dan mau membagikan risiko ekonominya kepada negara lain di seluruh dunia. Lha Kok enak betul.
Pelajaran terpenting yang dapat kita ambil dari kejadian krisis ekonomi global saat ini adalah perlu kembalinya ke sistem moneter berbasis emas sebagai jaminan penerbitan mata uang. Satu abad yang lalu kepatuhan pada cadangan emas sebagai dasar penerbitan uang masih dipatuhi, tapi seiring waktu, hasrat bermain curang untuk menguasai ekonomi dunia, maka secara perlahan pakem ini ditabrak. Diperlukan siklus pandemi untuk mengembalikan akal sehat dalam pengelolaan moneter, terutama untuk negara yang sudah terbiasa menikmati keistimewaan polisi dunia.
Yo’opo rek?
Sangaji Ternate
29 Juli 2020
#80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar