Rabu, 01 Juli 2020

Eksistensi Kuasa Dalam Perubahan Sosial


Royal Grand Palace salah satu ikon penting destinasi wisata para pelancong mancanegara di Bangkok. Sejak pagi,  jam 06.00 antrian sudah mengular panjang. Pendamping kami, mahasiswa S2 Biologi di King Mongkut University menyarankan datang pagi sekali, biasanya lewat jam 09.00 sudah penuh. Kami ber 15 sebenarnya tidak berencana berkunjung ke Royal Grand Palace, karena sudah terlalu mainstream untuk dikunjungi, dan katanya kurang nyaman terlalu banyak pengunjung. Padatnya agenda akademik selama di Bangkok, sehingga Istana Raja Siam masuk dalam agenda buntut.

Royal Grand Palace terletak di Bangkok, ibu kota dan kota yang super padat di Thailand. Luas Bangkok sekitar 1.568,7 kilometer persegi di delta Sungai Chao Phraya. Kota ini dihuni lebih dari delapan juta jiwa, sekitar 12,6 persen dari populasi total Thailand. Bangkok adalah pusat ekonomi Thailand dan jantung dari investasi dan pengembangan negara. Dikatakan juga bahwa Bangkok merupakan salah satu kota dengan pendapatan per kapita terbesar di Asia setelah Singapura, Hong Kong, Tokyo, Osaka-Kobe, dan Seoul. 

Meskipun di jam jam tertentu kemacetan Bangkok juga bersaing dengan Jakarta, tapi Bangkok menyediakan beragam pilihan transportasi mulai dari yang tradisional hingga yang modern. Kami tinggal di jalan protokol sehingga nyaman mengakses BTS sky train. Di peta digambarkan BTS ini melintasi dua jalur, yaitu Sukhumvit Line and Silom Line. Untuk mengakses BTS, penumpang harus membeli sebuah kartu yang disebut Rabbit Skytrain Card, banyak tulisan yang menggunakan aksara Thai, sehingga kehadiran pendamping sangat membantu. Tidak semua petugas bisa Bahasa Inggris, bertanya pakai bahasa isyarat, njawabnya pakai huruf Thai. Jika rutin melakukan perjalanan dengan BTS dalam sehari, lebih baik membeli kartu unlimited harian seharga 120 Bath. Tetapi karena saya dan teman-teman hanya menggunakannya sekali saja dalam sehari, kami biasanya hanya membeli single journey card seharga 16 Bath sekali jalan tergantung jarak. Satu hari kami pernah naik BTS gratis ke manapun, pas ulang tahun Raja. Hahaha, katrok.

Dari penginapan kami berombongan mencoba beberapa moda transportasi Bangkok. Naik BTS sampai stasiun pusat, lanjut dengan taksi bison ke Royal Grand Palace. Pulangnya kami menumpang bis kota. Ber AC bersih dan murah. Meskipun bisnya tua, tapi terawat dan tidak ada sampah. Mencoba Express Boat yang mengelilingi sungai Chao Phraya juga sering dijadikan alat transportasi umum. Kami naik boat ini. Tarifnya antara 15 - 60 THB. Transportasi ini menghubungkan pusat kota Bangkok dan Nonthaburi, provinsi di wilayah utara Bangkok. Pada akhir pekan, perahu ini juga menawarkan perjalanan wisata bagi para turis, memberikan sewa husus secara harian bila mau leluasa bepergian. 

Banyak alternatif transportasi menuju Royal Grand Palace Selain menggunakan, subway, grab dan tug tug, dapat juga menggunakan long boat yang melintasi sungai Chao Prhaya. Suasana sekitar istana raja jalannya lebar lebar seperti kawasan pabrik Gudang Garam Kediri, langsung berdampingan dengan sungai. Kalau sungai Berantas di Kediri dikelola sebagai rute perjalanan wisata, kondisinya seperti Sungai Chao Phraya. Bentuk pagar istana dan suasana di dalam istana raja Siam mirip dengan keraton jogjakarta. Banyak tanaman asam Jawa. Konon Raja Siam di Bangkok, bekerjasama erat dengan raja Jogjakarta di Jawa. Secara berkala dikirim rombongan orang Jawa ke Bangkok sejak abad 18. Lambat laun mereka menjadi warga negara Thailand, diantaranya keturunan KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah. 

Royal Grand Palace merupakan area istana kediaman raja-raja Thailand. Sejarahnya sangat panjang. Kami masuk ke kompleks istana tersebut secara beriringan dengan wisatawan lain yang juga sudah banyak antri di sekitar pintu. Meskipun tertutup untuk umum, istana ini tetap menjadi spot yang sangat menarik untuk dikunjungi. Paling tidak  untuk sekedar berfoto di depan halamannya. Menurut info yang tertera, kompleks Grand Palace dibuka setiap hari, pukul 08:30 – 16:00. Jika ingin masuk ke dalam kompleks istana, kita harus bayar tiket masuk sebesar 500 THB. Pengunjung harus berpakaian sopan.

Perbedaan dengan keraton Jogjakarta adalah luas dan megahnya bangunan istana serta abdi dalemnya. Garden palace, istana raja Siam masih menampakkan kemegahan. Istana berwarna putih. Jam 07.00 pagi punggawa istana sedang apel pagi. Seragamnya serba putih, menyerupai pakaian angkatan laut, dengan aksesoris seperti militer. Terlihat gagah dan berwibawa. Nuansanya abdi dalem sudah modern. Pegawai istana berseragam layaknya pamong praja di negeri Indonesia. Baju, celana, sepatu serba putih. Keraton Jogja lebih sejuk, damai dan bersahaja. Sepanjang tur kunjungan terdengar gending gamelan Jawa menambah nuansa masa lalu terasa kuat. Garden Palace berpenampilan lebih modern dan kontemporer. Ekspose budaya dan tradisi tidak nampak.

Di Thailand Eksistensi Raja Siam sebagai penguasa kerajaan masih diakui dan masuk dalam sistem tata negara Thailand modern. Dengan penduduk Bangkok yang 8 juta Royal Grand Palace juga mendukung kehadiran turis. Keraton Jogjakarta meskipun tidak sepenuhnya eksistensinya sebesar kerajaan Muangthai tetapi masih mendapat keistimewaan karena setidaknya satu propinsi daerah Istimewa Jogjakarta adalah wilayah mataram dan masih betahan hingga Indonesia modern. Penduduk kota Yogyakarta juga tidak sebanyak Bangkok. Dengan penduduk sekitar 2,5 juta keraton Ngayogyokarto mempunyai daya hidup untuk kedatangan turis dalam dan luar negeri.

Agak ke pinggir lagi adalah Kesultanan Ternate, kurang beruntung dibandingkan dengan Raja Siam dan Raja Jawa. Wilayahnya menciut drastis hanya sebatas kedaton, tempat tempat bersejarah dan wilayah adat yang penduduknya masih menghormati eksistensi kekuasaan sultan Ternate. Sultan Ternate dan Kesultanan Ternate eksistensinya cukup menghawatirkan, karena kekuasaannya semakin hilang tidak dapat bertahan mengikuti perkembangan zaman. Dengan penduduk 220 ribu, jangkauan transportasi udara jauh, dan status kesultanan yang semakin kecil bila dibandingkan Royal Grand Palace di Bangkok dan keraton Ngayogyokarto, Kesultanan Ternate berada di tapal batas sejarah.

Abdi dalem di Jogjakarta meskipun kecil dibayar oleh keraton Jogjakarta. Para pegawai di struktur eksekutif  pemerintahan kesultanan Ternate yang disebut Bobato Madopolo justru melestarikan eksistensi kedaton. atau masyarakat adat Ternate yang menghidupi Kedaton. Keraton yang berdiri sejak abad 13 ini mempunyai struktur ketatanegaraan yang lengkap, terdapat lembaga eksekutif dan legislatif. Eksekutif dipimpin langsung Sultan yang didampingi perdana menteri (jogugu)  dengan kabinet 6 menteri. Ada bobato 18,  yang merupakan dewan lagislatif dengan anggota 18 orang bobato yang merupakan perwakilan 41 marga/soa yang ada di kesultanan Ternate. 

Bila kita tengok paradigma perubahan sosial dalam ‘Teori Siklus’ nya Ibnu Khaldun, Kesultanan Ternate memasuki siklus degradatif. Di lingkungan kesultanan muncul urbanisasi, keinginan hidup makmur dan terbebas dari kesusahan hidup. Ashabiyah atau semangat kesukuan menaikkan peradaban baru dan membuat peradaban lama mengalami kemunduran. Apakah siklusnya tepat seperti apa yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun, atau ada penyesuaian teori siklus, maka eksistensi Kesultanan Ternate yang akan membuktikannya.

#52
  

2 komentar:

  1. Lanjut berkarya pak aku tak nerusne lakon
    Mugi tetep pinaringan segerwaras sedoyo

    BalasHapus
  2. Nggeh monggo pak Kri. Ojo lali nek wayahe muleh, ndang muleh. Ojo ngluyur, banyak godaan covid😁

    BalasHapus