Keinginan itu bermula dari pencarian, tentang pembeda yang syari’ah dan yang tidak. Di usia muda, kajian ini mencari bentuk, masih liat, cair, multi tafsir, punya banyak dugaan. Ada yang beranggapan, Tuhan tidak memberi tanggungjawab kepada umatNya melebihi kesanggupannya. Yang lain berkesimpulan bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kaum, bila tanpa disertai ihtiar. Ada yang mengira, sudah cukup baik menjalankan agama, kalau sudah waktunya akan sampai sendiri, biarkan itu urusan Tuhan.
Selalu ada yang pertama. Buku koperasi syari’ah ini tercetus dari banyak keprihatinan. Buku perdana tentu menyimpan banyak cerita. Tempat menggantungkan tinggi angan. Buku ini jauh dari sempurna, tapi menyiratkan keinginan untuk membawa perubahan. Buku yang paling lengkap kekurangannya. Pasti ada keinginan yang terbaik, yang sempurna, dan itu membuat waktu yang disediakan tanpa batas. Saya berpegang pada nasehat, kalau ingin menulis yang baik sempurna, maka tidak akan pernah ada buku.
Demikianlah dengan mengumpulkan segala risiko, penuh kehawatiran. Saya memberanikan menulis buku, menerbitkan buku. Ada banyak sebab, beberapa diantaranya.
Pertama, minat terhadap perbankan syari’ah dan studi ekonomi syari’ah di Ternate cukup tinggi, tapi perhatian terhadap lembaga keuangan mikro syariah baik di tingkat nasional dan lokal tidak menggembirakan. Di Ternate pernah ada BMT yang berhasil namanya BMT Yaumi. Satu satunya di Ternate dan perkembangannya bagus. Tapi tidak bertahan lama, kemudian sudah tidak terdengar lagi kiprahnya.
Awalnya situasi ini sangat menggembirakan, menimbulkan optimisme, setidaknya dapat sebagai contoh leasen learn koperasi syari’ah. Mahasiswa D3 Perbankan Syari’ah dapat didorong mengembangkan lembaga keuangan mikro syari’ah. Inilah yang mendorong saya untuk menulis buku koperasi syari’ah dengan harapan bisa membangkitkan kembali koperasi syari’ah dan BMT oleh mahasiswa.
Kedua, sampai dengan buku ini ditulis, belum ada buku koperasi syari’ah. Selama empat tahun mengajar mata kuliah koperasi syari’ah kami kesulitan mendapatkan referensi yang sesuai dengan koperasi syari’ah. Ada buku saku kecil sejarah baytul mal wa tamwi (BMT). Agak sesuai tapi kurang informatif sebagai buku ajar. Ahirnya tiga tahun kepikiran terus supaya bisa menerbitkan buku koperasi syari’ah.
Ketiga, mengajar subjek pengetahuan yang masih relatif baru, di sebuah pulau yang jauh dari Jakarta dengan tingkat literasi di bawah rata rata, maka bacaan menjadi hal penting, untuk memudahkan mengajar.
Keempat, buku ini disusun saat beberapa Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) di Maluku Utara mulai diinisiasi. Maka segmen keuangan mikro syari’ah menciptakan lobang yang mengangah. Karenanya buku ini menjadi pegangan dan inisiatif masyarakat untuk mengisi kesempatan berpartisipasi dalam pembiayaan mikro syari’ah
Tidak mudah untuk memulai segala sesuatu yang baru. Buku ini diluncurkan oleh penerbit kecil, bukan label mayor. Dibiayai sendiri, dengan harapan dan semangat besar cetak lima ratus eksemplar. Tidak pakai hitung hitungan, hanya dengan tujuan baik saja. Semakin banyak yang membaca, sebanyak banyaknya orang tahu, literasi keuangan syari’ah paling. Itu saja titik.
Nekat, karena dilakukan oleh orang yang tidak punya pengalaman sama sekali dunia penulisan dan penerbitan. Ada rencana penyandang dana, tapi menguap di udara, maka buku perdana ini menjadi punya sejarah. Itu untungnya. Dengan berbagai masalah, melewati onak dan duri, maka buku ini punya cerita . Ada pelajaran pertama yang berharga. Jangan menerbitkan buku karena uang.
Buku ini harapan saya menjadi ladang amal menyebarkan kebaikan dan manfaat, ahirnya dengan segala cara saya distribusikan sampai berbagai wilayah di Jawa Timur, melalui teman teman saya, mudah mudahan sampai Sumatera selatan. Di seluruh penjuru Maluku Utara buka ini sudah sampai melalui tangan tangan mahasiswa saya. Salah satu kepuasan penulis adalah mendapat apresiasi dan dibaca. Ada pembaca pengelola koperasi muslimat di Gresik yang mengajak mendiskusikan buku ini untuk diterapkan di koperasinya. Di lain kesempatan, seorang pembaca menyampaikan bahwa beberapa buku saya disumbangkan di perpustakaan pesantren.
Setelah insiden pembiayaan saya tidak berminat lagi membuat buku untuk dijual. Beberapa buku saya sediakan untuk referensi mahasiswa menulis karya ilmiah. Tujuannya supaya semakin banyak yang membaca. Tapi anehnya semakin tidak dijual, semakin banyak yang nyari untuk beli. Lambat laun stok makin menipis. Sebab saya juga ingin menyimpan sebagai pelajaran berharga hidup saya. Ada keinginan mengoleksi. Dibalik cacat yang tidak disengaja dia menjadi unik dan terbatas.
Saat buku dikirim dari penerbit sampai ke rumah, anak anak heran, bagaimana nama saya ada di sampul buku. Seakan tidak percaya, bagaimana caranya bisa ada nama di situ. Sesuatu yang sangat penting bagi semua pembaca. Sama dengan yang ada di pikiran saya semua buku yang saya baca penulisnya orang lain. Suatu kebahagiaan tersendiri ada nama kita ada di sampul buku. Betapapun tidak berkualitasnya buku itu. Karena dibaliknya banyak cerita yang bermakna.
Melengkapi kisah pilu yang mengikuti kelahiran buku, sebab tidak ada pengalaman sebelumnya. Semuanya belajar sendiri. Hasil cetakannya tidak sesuai dengan kesepakatan, ada beberapa kesalahan. Nyaris pesanan dibatalkan. Tapi ahirnya saya terima cacat buku, tidak apa hitung hitung sambil membantu percetakan kecil. Kesalahan kesalahan yang muncul selama proses penerbitan buku, membuat saya belajar lebih keras semua aspek perbukuan. Sudah lama ada buku digital baik yang berbentuk pdf atau e-book, nyatanya buku fisik masih tetap diperlukan oleh pembaca. Ada kenikmatan dan sensasi tersendiri saat membaca buku.
Demikianlah sejumput cerita tentang buku pertama.
Malam menjelang larut
Kelurahan Sangaji Ternate
24 juli 2020
#75
#75
Saya paham, betapa proses penerbitan buku perdana pak doktor. Sarat kisah pilu. Namun saya suka, alasan-alasan menulis bukunya rasional dan detail. Satu lagi, niat baik untuk mengangkat koperasi syariah, berikut membantu mahasiswa. Patut diapresiasi.👍
BalasHapusSiap pak Doktor, sejarahnya semoga menjadi motivasi untuk terus berkarya. Sebagus apapun karya berikutnya tidak bisa menggantikan karya pertama. Di dalam setiap karya terdapat jiwa kita. DNA pemikiran kita. Melalui karya diri kita terlahir. Melahirkan karya adalah perjuangan idiologis. Seburuk apapun karya dia ada, dan lebih bermanfaat dibandingkan yang tiada. Minimal bisa dibuat penerang saat dalam kegelapan.
BalasHapus