Jumat, 17 Juli 2020

Membaca Karena Kepo


Koran sesobek bungkus bawang merah atau bumbu lainnya, selalu kunanti. Dari koran bekas saya tahun bahwa Kualalumpur ibukota Malaysia, bukan kubangan lumpur. Mana ada pertandingan sepakbola internasional dilaksanakan di tanah becek dan berlumpur, melalui koran bekas saya mendapat penjelasan. Itulah awal mula hobi membaca. Menuliskan kata  “membaca” sebagai hobi saya, di kertas perkenalan itu keren rasanya. Membaca menjadi hobi spesial, karena di lingkungan pelosok miskin dan tandus,  sekolah dan membaca itu kemewahan. Demikianlah awal mengenal kata, memahami makna melalui membaca, pada hal hal sederhana yang tersedia.

Kelas satu sekolah dasar, di ahir catur wulan pertama, saya sudah bisa membaca. Awal mula kata yang bisa saya baca adalah kapal. Kelas satu diajar ini ibu budi, wati kakak budi, iwan adik budi, sepertinya menghafal. Senin pagi,  bu Lis Suyati guru kelas satu membuat kuis dengan kosa kata yang tidak ada dalam buku, saya bisa membaca dengan benar, maka boleh pulang duluan. Rasanya istimewa bisa membaca paling cepat. Tidak ingat bagaimana proses nalar membaca terbentuk, dan ahirnya kesan pertama itu memberikan dorongan kuat untuk terus membaca. Dengan membaca rasa ingin tahu saya semakin tumbuh.

SD di desa bangunan inpres yang kualitasnya tidak merata, berlantai tanah dengan ruang empat lokal. Dengan lingkungan desa yang bersahaja, sekolah boleh tidak pakai alas kaki. Jamaknya sekolah-sekolah zaman sekarang, perpustakaan sekolah belum menjadi prioritas, jauh dari layak. Bacaan sangat terbatas. Selain beberapa buku cerita terbitan Balai Pustaka, ada beberapa majalah. Yang paling ditunggu oleh anak anak yang haus bacaan, majalah kuncup dan kuncung. Majalah tipis, 40 an halaman. Di kelas 2 saya dimotivasi oleh Kakak untuk kirim ke surat pembaca majalah kuncup. Alhamdulillah dimuat, walau hanya lima baris dalam satu paragraf. Bangganya bukan main, ditunjukkan ke mana mana. Sebenarnya ini motivasi yang kuat untuk berkarya, sayangnya puluhan tahun berikutnya tidak pula lahir karya tulis. Tapi spirit berprestasi terbentuk mulai peristiwa itu.

Sejak keluarga besar transmigrasi mandiri ke Kalimantan Timur, keluarga kami homeless, berpindah dari pinjam rumah satu ke rumah lainnya. Rumah jati warisan dari kakek dijual, karena Abah tidak bisa bertani, tidak ada penghasilan dari sawah garapan, lama lama semua aset. Tiga belas tahun kami keluarga nomaden, 8 orang tinggal di rumah pinjaman berukuran kecil. bagaimana saya memelihara hobi membaca? Kebetulan ada tetangga yang kerjanya mapan,  berlangganan koran dan majalah bermutu di masa itu. Juga rajin beli buku buku terbaru. Majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Trubus, Ulumul Qur’an, Tempo, Hukum, Intisari dan buletin Setia Kawan secara rutin saya baca. Agak ke belakang sering membaca buletin LP3ES dan buletin terbitan Bina Desa. Sering ada perasaan malu, karena sering bertamu hanya supaya dapat membaca majalah majalah tersebut. Sebagai penghobi baca itu sangat menantang dan menghilangkan dahaga bacaan.

Kalau saya kilas balik, bacaan saya waktu usia SMA majalah majalah ilmiah berkelas terutama yang diterbitkan oleh LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya dan Ulumul Qur’an. Majalah Islamnya juga  terbaik pada zamannya Kiblat dan Panji Masyarakat. Juga rutin membaca Tempo dan Intisari beralih sebentar ke Majalah Hukum dan Keadilan waktu Tempo dibredel. Tulisan tulisan Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur, Bang Imad dan GM lebih dulu saya baca daripada kolom pak DIS. Tentu saja ingatan tentang isinya sudah lama kabur, lha bacaanya pinjam terus, tidak pernah bisa beli.

Sampai dengan SMA saya belum punya bacaan kelasnya referensi.  Beberapa bacaan umum : terjemahan Al-Qur’an departemen agama yang kecil dengan huruf kecil dan supertebal, Sahahih Buchari, Shahih Muslim, Riyadhus Sholihin dan Bulughul Marom. Kitab kitab dengan huruf arab melayu (pegon) tafsir al-Ibriz, tafsir al-Iqlil, aqidatul awwam. 

Satu tahun setelah Lulus SMA saya mencoba mencari pekerjaan jadi buruh pabrik di Surabaya. Saya tahu diri tidak mungkin Abah bisa menguliahkan, karena masih ada empat adik yang harus disekolahkan sampai lulus aliyah atau SMA. Dengan berbekal 5000 rupiah pada ahir bulan Sya’ban berangkat ke Surabaya dengan tujuan yang belum tahu. Karenanya njujug masjid di Rungkut industri, dan banyak pencari kerja yang tidur di masjid. Pemilihan waktu yang salah, sebab biasanya pabrik-pabrik menerima karyawan baru setelah lebaran. 

Karena tidak punya keterampilan husus dan tidak ada orang dalam yang bisa memasukkan kerja di Pabrik, saya ke Balai latihan kerja. Karena kebetulan di sana ada dua kursus keterampilan yang bisa diikuti yaitu kursus komputer dan wood proses. Di wood proses hari Sabtu dan Minggu bisa magang di industri praktikum, bayaran dua hari itu yang digunakan untuk biaya hidup. Di rungkut industri ada harian sore Surabaya Post yang ditempelkan di dinding balai pertemuan warga. Tiap sore puluhan orang bergantian saling geser untuk bisa membaca. Satu satunya kesempatan saya menikmati dunia baca. Jangankan membeli buku, berkunjung ke perpustakaan pun tidak ada waktu dan biaya, karena urusan isi perut lebih mendesak daripada isi kepala.

Dalam usia remaja saya, membaca sudah menjadi kebutuhan, karena tanpa informasi dan pengetahuan baru ada yang kurang, membaca juga bagian dari rekreasi, keluar sejenak dari himpitan hidup. Perjalanan spiritual, melanglang buana ke pengetahuan pengetahuan baru, memasuki pikiran dan gagasan yang beragam. 

Dengan latar belakang keluarga yang pas-pasan, sudah saya tutup keinginan untuk kuliah, cukuplah dengan ijazah SMA saya bekerja keras untuk mengubah nasib. Dengan bekal kemampuan Word Star dan Lotus 123, saya melamar jadi tukang ketik, cleaning service dan penjaga kantor. Bacaan sumber inspirasi dan motivasi terbaik. Jenis bacaan yang paling saya suka adalah sejarah, biografi dan kisah manusia. Karena bacaan bacaan itu yang membuat saya terus bergerak. Dengan sedikit penghasilan, mulai menyisihkan uang untuk beli buku dan majalah bekas di jalan Semarang, Surabaya. Modul, makalah, naskah naskah akademik saya gandakan supaya bisa saya pelajari di rumah. Saking banyaknya buku dan diktat copian, emak pernah tanya mau bikin apa mengumpulkan buku sebanyak itu. Rumah dari dinding sesek, tidak ada lemari, banyak rayap, tidak aman. Kerja jaga kantor, hanya lulusan SMA. Jadi untuk apa barang barang itu, mungkin itu yang terpikir oleh emak. 

Karena isnspirasi bacaan saya mulai ada keinginan untuk sekolah lagi. Kebetulan waktu itu Bank BII (sekarang Bank Mayapada) membuka lowongan pekerjaan rendahan. Sayangnya ijazah tidak mendukung. Tahun 1996 saya mulai mencari kampus kuliah sore yang tidak terlalu jauh dari kantor. Ketemulah dengan Syari’ah Banking Institute, Program profesi bank syari’ah 2 tahun. Memenuhi syarat semuanya, kuliah sore, terjangkau jalan kaki, program studi perbankan. Meskipun bank syari’ah saat itu masih sebiji, dicibir dan dianggap bank aneh. 

Sudah mulai kuliah dan punya penghasilan sendiri, meskipun kecil maka mulai berlangganan majalah dan membeli buku. Bacaan korannya Republika, majalahnya Sabili, Hidayatullah, al-Wa’i buletin jum’atnya al-Islam. Lingkungan pergaulan tidak memberikan peluang untuk mengakses sumber sumber bacaan yang lebih beragam. Suatu episode perjalanan bersentuhan dengan pemikiran pemikiran Islamis. Pada saat yang sama, samar samar mendengar pemikiran Islam Liberal dan karya karya syi’ah, tapi masih sulit untuk dijangkau. Inilah periode bacaan membentuk watak ideologis saya. Pembacaan yang luas juga membuat cara kita beragama lebih luwes. Bacaan membuat wawasan kita terbuka dan membentuk cakrawala berpikir tanpa batas.

Lewat kegemaran membaca hidup saya terus berubah. Saya juga bingung darimana saya begitu suka membaca sejak kecil. Lingkungan membaca tidak ada, fasilitas juga kurang. Rasa ingin tahu, kepo yang mendorong saya suka sekali membaca dan lama lama seperti ketagihan. Membaca sudah menjadi kebutuhan. Sepuluh tahun yang lalu setiap ke toilet wajib membawa buku atau majalah, alhamdulillah sekarang tidak lagi. Yang masih jadi kebiasaan jelek yang bertahan lebih lama, kalau mau makan harus sambil baca buku, kalau tidak ada buku seperti makan tanpa lauk. Seiring dengan menurunnya fungsi mata membaca menjadi terganggu. Tertolong dengan adanya tablet. Bacaan digital baik pdf atau e-book, dan perpustakaan digital sudah tidak masalah lagi. Anak saya suka protes, karena di depan gadget terus. Padahal itulah kerja saya baca. 

Kadang kadang terpikir, nanti di alam kubur boring tidak ada yang dibaca.

#68

5 komentar:

  1. Pak doktor termasuk beruntung, dianugerahi minat membaca yg tinggi. Mejadi modal penting bagi perubahan hidup. Meski mungkin di alam barzakh tdk ada taman baca, tapi paling tdk identitas malaikat dan karaktet munkar nakir, sdh terbaca dgn baik. Jafi urusannya akan lancar.

    BalasHapus
  2. Yang di alam barzakh, imajinasinya orang linglung pak Dr. Hamzah. Yang jadi pertanyaan minat baca disebabkan kepepet atau terberi?

    BalasHapus
  3. Maturnuwun, mudah mudahan bisa konsisten menulis walau gak karu karuan Pak Dr. Naim. Masih terus belajar.

    BalasHapus
  4. Nek aku motivasinya jelas pak, membaca karena bosan, jaman sekolah bosan gak berani pacaran dan gak mampu jajan, pelarianya ke perpustakaan, karena motivasinya hanya membuang kebosanan jadinya bacaanya yang ringan ringan.

    BalasHapus