Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Juli 2020

Literasi Ideologis



Dalam tiga tahun terahir literasi sangat populer dalam masyarakat kita. Literasi dan istilah turunanya menjadi viral. Literasi seakan menggantikan istilah pendidikan, belajar, membaca, menulis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Literasi adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan dalam berbagai bentuk. Literasi secara sederhana bertumpu pada tiga kegiatan yaitu membaca, berpikir kritis dan menulis.

Literasi tidak sesederhana membaca saja sebagaimana yang selama ini dipahami, tapi yang paling penting justru memahami dan memunculkan perspektif baru dari cara manusia berpikir kritis dan mengkomunikasikan dalam bahasa yang dipahami manusia yaitu tulis dan lisan.

Membaca mungkin literasi yang paling tepat pada awal pertumbuhan manusia. Namun menulis seharusnya menjadi titik sentral dari kegiatan literasi pada masyarakat yang secara intelektual sudah melewati jenjang sarjana. Karena dengan menulis manusia akan mengembangkan sumber bacaannya dan mengolah informasi secara kritis. Melalui menulis dengan sendirinya manusia mengembangkan keterampilan literasi membaca dan berpikir kritis.

Menulis dalam bentuk blog yang dilakukan oleh buruh migran di Hongkong misalnya adalah salah satu literasi yang kreatif dan idiologis. Para pekerja domestik atau “babu”,  ditengah keterbatasan waktu fasilitas dan pendidikan dengan kegigihan dapat memberikan pengaruh positif kepada sesama buruh migran. Literasi menjadi alat perjuangan idiologis kaum buruh, alat advokasi untuk mencerdaskan diri.  

Buku “Suara Dari Margin: Literasi Sebagai Praktik Sosial” yang ditulis oleh Pratiwi Retnaningdyah (alumni Ph.D Moulber University Australia) dan Sofie Dewayanti (Alumni Ph.D University of Illinois at Urbana Champaign, Amerika) menceritakan bagaimana perjuangan “babu” berjuang dalam literasi. Migran asal Indonesia di Hongkong membentuk kelompok menulis dan membuka lapak buku di setiap ahir pekan. Rie rie mampu mengubah paradigma kalangan buruh migran Indonesia. Di sela sela kesibukan sebagai pekerja rumah tangga menyempatkan diri menulis di blog, kadang menyembunyikan catatan agar tidak diketahui majikan, meluangkan waktu menulis diantara kesibukan tanggungjawab sebagai pekerja dan keinginan mencerdaskan diri.  Para buruh berusaha keras agar babu berwawasan dan maju sehingga berdaya di negeri asing.

Babu atau buruh migran yang dianggap pekerja rendahan, oleh Rie rie direkonstruksi melalui medium teks menjadi praktik literasi yang menggugah. “Babu Ngeblog” akun blog yang dimiliki Rie rie menceritakan keseharian sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong. Tulisan-tulisannya menjadi energi ideologis. Inilah bentuk literasi ideologis menurut Pratiwi. Menurutnya, literasi ideologis adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami teks untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, material dan spiritual. Pemahaman hanya didapatkan melalui keterlibatan (trejaktori literasi), yaitu lintasan pengalaman seseorang ketika memaknai kegiatan membaca dan menulis untuk mencerna pengetahuan.

Literasi ideologis hanya bisa tercapai bila menulis dan membaca dijadikan tradisi. Di lingkungan pendidikan, para pendidik dan tenaga kependidikan menjadikan membaca dan menulis menjadi kultur dan mengakar. Membumikan gerakan literasi harus didasarkan dan dimulai dari pengetahuan tentang kebudayaan masyarakatnya. Strategi gerakan literasi harus bertumpu pada kearifan lokal yang dikembangkan menjadi gaya baru dan berkelanjutan. Misalnya di daerah yang terisolir dengan budaya lisan yang menonjol, maka tradisi lisan tersebut menjadi modal awal membumikan literasi dan dilanjutkan dengan pengembangan budaya tulis.

Mengembangkan budaya literasi semestinya didasari pada kemampuan mengambil kebudayaan literasi yang kita miliki. Bertumpu pada usaha memajukan diri dengan alasan alasan dari dalam bukan karena terpengaruh survai survai internasional, atau sekedari menaikkan rating literasi, tingkat membaca atau produktifitas menulis. Kalau alasannya faktor eksternal tersebut, maka gerakan literasi akan terjebak dalam gerakan artifisial dan simbolik.

Sayangnya gerakan literasi di Indonesia belum masuk ke substansi literasi yang sesungguhnya. Gerakan literasi membaca baru bergelora secara simbolik dengan kampanye. Para pelayan  literasi di birokrasi, perpustakaan, lembaga pendidikan belum sepenuhnya mempraktikkan menulis dan membaca sebagai gaya hidup sehari hari. Para ahli dan pakar yang seharusnya menulis, tapi lebih asik dengan budaya lisan, penceramah di seminar, workshop dan kuliah yang tidak didampingi oleh produktifitas tulisan. Fenomena ini disebut oleh Iqbal Dawami (Maghza, 2017) sebagai pseudoliterasi, yaitu mendaku sebagai pegiat literasi, tapi tidak membaca dan menulis, kepentingannya hanya merebut proyek literasi.

Kita mengharapkan banyak inisiatif, sehingga literasi semakin substantif. Sebagai misal New Literasi Studies  (NLS) yang ditawarkan oleh Sofie dan Pratiwi. NLS memandang khazanah literasi menempuh dua bentuk yaitu literasi otonom dan lietarasi ideologis. Literasi otonom adalah gerakan literasi yang murni untuk meningkatkan kemampuan baca dan tulis tanpa mempertimbangkan faktor lain.

NLS merupakan kerangka kajian literasi yang lahir dari gerakan buruh migran dan anak jalanan. Gagasan literasi dengan konsep terbarukan, literasi yang tidak hanyak lahir secara simbolik, dengan data dan fakta kuantitas, tapi literasi yang mempunyai spirit berdasarkan observasi dan pembacaan yang intens terhadap budaya dan jati diri masyarakatnya.

NLS menawarkan perspektif baru tentang dunia baca,  tulis, literasi, interaksi pengetahuan dan cara berpikir. Literasi tidak stagnan. Literasi menjadi pengalaman membaca, menulis, mencerna pengetahuan dan memberi pengaruh kuat terhadap yang bersangkutan untuk menentukan pilihan pilihan yang mentransformasikan hidupnya. 

Jika NLS digunakan oleh Pratiwi untuk mendokumentasikan praktiknya di kalangan buruh migran, maka Sofie mendokumentasikan praktiknya di kalangan anak jalanan. Sebagai contoh Bu Sri pengajar PAUD anak jalanan menggunakan teks kultural untuk memampukan anak supaya dapat masuk di SD, sehingga mentas dari kehidupan jalanan. Literasinya mentransformasikan anak anak dari sekolah di jalanan menuju sekolah normal pada masa pertumbuhan mereka menuju dewasa. Kehidupan jalanan akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap tumbuh kembang anak anak.

Jika literasi ideologis di bawah ke dalam konteks civitas akademik di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka gerakan literasi di kampus punya spirit yang lebih kuat. Sejauh ini literasi kampus Islam masih bercorak literasi otonom yang paling dasar. Kalau ditransfomasikan kedalam literasi ideologis maka gerakan literasi di kampus, spiritnya lebih kuat. Dosen menulis karena didorong oleh keinginan kuat membumikan pendididikan Islam, hukum Islam, ekonomi Islam, Sains Islam, ilmu al-Qur’an, peradaban Islam, ilmu ilmu keagamaan. Menulis, membaca dan mendeseminasikan pemikiran dibingkai dalam spirit ibadah. Membumikan nilai nilai Islam dalam masyarakat tidak lagi sebagai pilihan bebas, tetapi kewajiban.

Transformasi mahasiswa melalui pendidikan terjadi dalam kegiatan literasi ideologis yang mencerahkan dan konstruktif. Mahasiswa sedari awal dipersiapkan aktifitas literasinya secara lengkap. Mahasiswa didorong memaknai pemahamannya melalui menulis, karena menulis membuat mahasiswa berpikir kritis dan mencari sumber bacaan yang relevan. Melalui menulis mahasiswa terlibat langsung dalam transformasi dirinya dari satu titik ke titik berikutnya.  Literasi menjadi pengalaman yang membentuk pemahaman yang lebih kuat dan memberikan pilihan pilihan hidup yang lebih terbuka pada masa masa mendatang.

Mengapa literasi keuangan syari’ah misalnya masih menempel di permukaan pemahaman masyarakat? Salah satu sebabnya karena literasi keuangan syari’ah belum menjadi kultur di lingkungan akademik dan para pelaku industri keuangan syari’ah. Literasi ideologis dapat menjadi jawaban terhadap persoalan membumikan ekonomi syari’ah. Semoga.

Benteng Toloko Ternate
1 Agustus 2020
#83

Kamis, 30 Juli 2020

Literasi : Khutbah Dari Kaki Bukit.



Setelah sebelas tahun ini untuk pertama kalinya kembali berkhutbah di tapal batas, balik gunung. Momennya juga tepat sama sama khutbah Idul Adha. Jika sebelas tahun yang lalu di kelurahan Gambesi, maka tahun ini di kelurahan Ngade. Masjid Annur Ngade berada tepat di sebelah laguna. Kalau pembaca melihat pemandangan tiga pulau kecil berbentuk gunung di birunya laut, pemandangan dari atas bukit yang didahului oleh laguna, maka itulah tempat saya maksudkan dengan kelurahan Ngade, disebutnya Ngade puncak. Masjid An-Nur  di Ngade pantainya. 

Masyarakat Ternate punya sebutan perkampungan di balik gunung. Sebagaimana kita mafhum pulau Ternate di puncaki dengan gunung Gamalama di tengah tengah. Pusat pemerintahan, fasilitas publik dan tempat tempat keramaian berada di pulau pada sisi sebelah timur, kiblatnya mengarah ke gunung. Sedangkan di sisi barat, daerah perbukitan dengan pantai kebanyakan bertebing dan arah guguran lahar dan lava mengalir disebut sebagai balik gunung. 

Karena medannya yang sulit, bertebing menghadap ke laut lepas, sehingga hanya sedikit penduduk Ternate yang tinggal di wilayah itu. Dengan sendirinya wilayah balik gunung kurang berkembang. Sementara sisi timur pulau Ternate penduduknya padat dengan berbagai fasilitas publik perkotaan yang semakin maju. Karena sisi barat yang masih alami dan cenderung sunyi sebenarnya cocok untuk tinggal bagi yang tidak suka dengan keramaian. Tapi karena Ternate ini sudah pulau dan kota yang tenang, mengapa juga cari tempat yang lebih sunyi lagi?

Tema khutbah saya kali ini bertema literasi dalam arti luas, biasanya saya selalu membawakan tema terkait ekonomi syari’ah. Seakan akan ekonomi syari’ah menjadi topik utama khutbah saya, baik pada khutbah Jum’at maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Walaupun bertema literasi tetapi kali ini tetap dikaitkan dengan literasi ekonomi syari’ah. Apa hubungannya idul adha dengan literasi?

Ibadah Kurban sebagaimana disampaikan dalam QS 51:56 adalah ditujukan untuk mengingatkan kaum muslimin, orang orang yang beriman pada tujuan hidupnya yaitu semata untuk beribadah kepada Allah Swt. Kurban dimaksudkan sebagai  ujian ketaqwaan, kepatuhan dan keikhlasan kita dalam menjalankan perintah Allah. Literasi adalah pintu gerbang untuk menjangkau, memahami perintah dan larangan Tuhan sebagai jalan menuju ketaqwaan. Tanpa literasi manusia berada dalam kegelapan.

Literasi adalah jalan menuju cahaya kebenaran, suluh pengetahuan. Pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai masyarakat literasi jauh lebih besar daripada pengorbanan untuk pemenuhan kebutuhan perut. Di dalam masyarakat yang sudah kelebihan gizi, maka penyakit yang muncul dalam masyarakat modern justru kelebihan gizi. Maka perngorbanan untuk memajukan pengetahuan terus selalu harus diingatkan melalui momen Idul Adha/Idul Qurban.

Kurban mengandung makna simpul solidaritas sosial. Kaum muslimin diperintahkan mematikan ego, mementingkan diri sendiri, sekaligus menumbuhkan kepekaan sosial.  Kurban memerintahkan kita berubah dari berpusat kepada diri sendiri menjadi untuk kepentingan orang lain atau kepentingan sesama mahluk Allah. Kurban dari kata qurban, taqaruban yang berarti mendekatkan diri. Yaitu mendekatkan diri orang orang beriman kepada Tuhan Nya, dengan cara mematikan dan mengasampingkan individualismenya dengan menyerahkan hewan kurban untuk disembelih dan dibagikan kepada orang orang yang membutuhkan. Bukan darah dan daging kurban yang sampai kepada Tuhan, tetapi ketaqwaan dan kepatuhan yang menjadi esensi pokok/nilai inti dari ibadah kurban.

Titik temu kurban dengan literasi adalah kepatuhan kepada Allah Swt. Literasi adalah perintah pertama dalam wahyu Tuhan kepada Nabi ahir zaman. Iqra’, bacalah adalah perintah untuk memasuki dalam dunia pengetahuan. Esensi dari semua gerakan pendidikan adalah literasi. Membaca adalah pintu gerbang literasi. Melalui membaca orang mempunyai perspektif baru, mempraktikannya, mengembangkannya kemudian menulisnya dalam sebuah karya. Proses yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat.

Dalam gerakan literasi nasional misalnya, mencanangkan enam literasi dasar yang wajib dikembangkan. Enam literasi itu diantaranya literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.

Umat Islam tidak bisa buta sejarah dan menafikan bahwa dalam berekonomi, umat Islam bersentuhan dengan keuangan, dan literasi finansial syari’ah atau literasi keuangan syari’ah. Kalau pengetahuan dan kesadaran ini tidak menjadi keseharian kehidupan keuangan orang Islam, maka orang orang yang berpengetahuan, para alim, para ahli hukum Islam, para pelaku ekonomi syari’ah yang tidak memberikan suluh penerangan dengan mewujudkan literasi keuangan syari’ah, menanggung dosa.

Karena itu literasi dan lebih husus literasi keuangan syari’ah tidak lagi sifatnya fardhu kifayah, tapi sudah menjadi fardhu ain. Kewajiban semua ummat Islam untuk menggelorakan literasi keuangan syari’ah, karena literasi inilah yang mendekatkan diri kita kepada taqwa. Taqwa dalam arti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya.

Larangan Allah Swt terhadap muamalah maliyah, atau aktifitas ekonomi adalah menghilangkan unsur riba, gharar, maysir dan dhalim dalam kegiatan keuangan. Keuangan yang mengandung unsur riba harus diketahui oleh khalayak bentuk dan cirinya. Umat Islam yang tidak tahu membedakan transaksi riba dengan yang syar’i berarti belum syari’ah financial literete. Demikian pula maysir (gambling) , gharar (tidak pasti) dan dhalim (tidak pada tempatnya) harus menjadi pengetahuan umum umat Islam. Kesadaran dan pemahaman ini hanya bisa dilakukan melalui literasi yang terencana, masif dan berkesinambungan.

Qurban atau ihtiar mendekatkan diri kepada Allah melalui literasi adalah pengorbanan yang lebih besar dan menyentuh substansi kurban yang lebih esensial. Semangat kurban yang diejawentahkan dalam semangat literasi sesungguhnya adalah mewujudkan ketaqwaan yang lebih relevan dengan kebutuhan umat Islam Indonesia pada ahir ahir ini. 

Mengapa umat Islam Indonesia selalu terlilit dalam kemiskinan, berada dalam lingkaran masalah yang tidak berkesudahan dan tidak bisa menaikkan peradaban? Salah satu sebab utamanya adalah dalam segala segi kehidupan umat Islam tidak menjadikan al-Qur’an dan spirit dan nilai nilai pengetahuan yang terkandung di dalamnya sebagai praktik sehari hari. Masyarakat non muslim di negara negara maju justru mempraktikkan spirit literasi dan spirit al-Qura’an dalam berpengetahuan.

Spirit literasi menjadi penting bagi umat Islam di Ternate, karena anugerah kekayaan alam tidak kunjung memberikan manfaat diTersebabkan masih dominannya budaya pengetahuan lisan. Budaya yang mempunyai keterbatasan. Kekayaan pengetahuan yang tidak dapat berkembang dan terwariskan dengan lancar dari generasi ke generasi inilah tujuan utama dari pentingnya gerakan literasi di Ternate. Para pengelana barat yang rajin mencatat justru yang menikmati pengetahuan dari negeri rempah ini. Alfred Russel Wallace seorang sarjana yang membuat catatan terhadap beberapa spesies di sebagian besar wilayah nusantara selama delapan tahun. Meskipun bukan seorang ilmuwan biologi, tapi ketekunannya mengantarkan perjalananya sejauh 22.400 kilometer dan mencatat ratusan ribu spesimen fauna. Catatan itu kemudian dibukukan dalam karyanya yang berjudul “The Malay Archipelago”. Kerja kerasnya membuat Wallace mendapat reputasi sebagai naturalis, antropolog dan “Bapak Biogeografi”. Karya itulah yang memberi inspirasi kepada Charles Darwin untuk membuat teori evolusi dalam bukunya yang berjudul “On the Origin of Species”.

Ini pelajaran sangat penting bahwa literasi tulis, merubah dari budaya pengetahuan lisan ke budaya pengetahuan tulis mempunyai perbedaan yang sangat besar bagi pengetahuan dan perkembangan peradaban.

Danau Laguna Ngade
31 Juli 2020

#82 

Sabtu, 25 Juli 2020

Daya Gedor Morabind


Kementerian Agama RI lebih husus lagi direktorat penelitian dan pengabdian masyarakat (Litapdimas), selama musim pandemi Covid-19, dengan pola kerja Work From Home (WFH) lebih intensif melaksanakan rapat maya, bersama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri  (PTKIN) di tengah terbatasnya mobilitas manusia. 

Covid-19 tidak menghalangi kreatifitas dan inovasi, meskipun tidak bisa bermuwajaha langsung, namun penggunaan zoom meeting efektif untuk mencapai tujuan dari rapat, diskusi dan seminar oleh para pengelola litapdimas di 58 PTKIN seIndonesia. 

Pertemuan sore itu mendadak karena IAIN Salatiga memantik perbincangan dengan keberhasilannya dalam dunia perbukuan dan penerbitan. Setelah dilakukan identifikasi oleh seluruh PTKIN tenyata 38 dari 58 perguruan tinggi sudah mempunyai penerbit kampus atau University press. Dengan 70 % keberadaan university press di lingkungan kementerian agama menjadi modal yang positif untuk memperbaiki kualitas produk karya ilmiah buku. Apabila dilakukan penelusuran ke perguruan tinggi swasta di bawa Kementerian Agama ada peluang potensinya lebih besar lagi.

Untuk mendata produktifitas artikel pada jurnal ilmiah Kemenag RI mempunyai Moraref (Ministry of Religius Affairs Reference), sedangkan Morabind (Ministry of Religius Affairs Book Index) diharapkan menjadi instrumen pemantauan produktifitas dan peningkatan kualitas buku yang ditulis oleh dosen PTKIN.

Keberadaan university press dan Morabind menciptakan peluang yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan buku yang berkualitas, mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Memenuhi persyaratan 3M, mutu, merata dan murah.

IAIN Ternate sejak 2 tahun yang lalu sudah berupaya mempunyai lembaga penerbitan yang diberi nama IAIN Ternate Press. Meskipun ditengah polemik yang berseliweran, penerbitan ini tetap berdiri dan berjalan. Penerbitan ini menyediakan fasilitas kemudahan kepada dosen yang berminat menerbitkan buku. Kurang lebih 10 buku telah diterbitkan oleh  IAIN Ternate Press. Pencapaian yang sangat besar setara dengan pencapaian 45 tahun sebelumnya. Produktifitas penerbitan buku tidak semata ditentukan oleh penerbitan, tapi lebih pada keberanian dosen, para pendidik dan para pakar untuk menghasilkan buku ajar dan buku referensi. 

Walaupun kurang direspon positif pada awalnya, namun ternyata penerbitan kampus menjadi tren yang berkembang di PTKIN. Beruntung IAIN Ternate memaksakan diri punya penerbitan. Ahirnya sekarang kita merasakan manfaatnya, dapat maju bersama sama dengan PTKIN lain yang sudah punya university press.

Tradisi penulisan buku di kampus, university press berbeda dengan tradisi penulisan di penerbit komersial. Bila Mizan, Gramedia, Remaja Rosdakarya, Rajawali Grafindo dan seterusnya menerbitkan buku harus mempertimbangkan potensi pasar maka university press mempunyai misi yang berbeda. IAIN Ternate Press dan SUKA Press menerbitkan buku pertimbangan utamanya adalah mengabdi kepada keilmuan dan memberikan bacaan yang bermutu, mudah diakses dan murah harganya, mendukung lembaga pendidikan yang membawa misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maka mendigitalisasi buku adalah salah satu solusi untuk menghasilkan buku yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Masalahnya harus ada mekanisme penghargaan finansial yang sepadan kepada dosen dosen yang menulis buku ajar sehingga memberikan daya dorong untuk berkarya. Buku buku ajar yang hak kekayaan intelektualnya dapat digratiskan secara terbatas. Kita berharap produktifitas dosen dalam berkarya dengan penyediaan buku ajar murah dapat terpenuhi dengan mekanisme ini.

Buku referensi yang dihasilkan dari karya tulis dosen yang melakukan penelitian sudah selayaknya diterbitkan secara terbatas sesuai dengan anggaran penelitian yang tersedia. Buku hasil penelitian bila diterbitkan dipublish secara gratis dalam bentuk digital sebaiknya didukung dengan pembiayaan riset yang seimbang. Kurang fair bila biaya penelitian murah tetapi mengharapkan buku hasil penelitian yang berkualitas. Karena itu outcomes buku penelitian sudah dapat dipertimbangkan. Keberadaan buku digital atau buku elektronik ini sesuai dengan UU Sistem Perbukuan Pasal (5).

Terkait dengan rencana Kemenag RI merevitalisasi Morabind tidak terlepas dengan regulasi perbukuan di republik ini. UU nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan didukung oleh Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Terselip cerita, bahwa pada awalnya Kemenag RI tidak termasuk dalam sistem perbukuan padahal UU sudah sampai di sidang peripurna DPR. Maka UU tersebut mendapat revisi Pasal 6 ayat 3 yang berbunyi : “Muatan keagamaan dalam buku pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama.

Berdasarkan legalitas tersebut maka Kemenag RI menerbitkan Peraturan Menteri Agama nomor 9 tahun 2018 tentang buku pendidikan agama Islam. Dengan itu buku buku yang akan diterbitkan patuh pada batasa batasan sebagaimana yang diatur dalam pasal 42 ayat (5) yaitu : tidak bertentangan dengan nilai nilai Pancasila; tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan; tidak mengandung unsur pornografi; tidak mengandung unsur kekerasan; dan tidak mengandung ujaran kebencian.

IAIN Ternate Press sebagai penerbitan kampus atau university press sejalan dengan amanah Undang Undang sistem perbukuan tersebut dalam pasal 55 ayat  (2). Kampus mendorong ketersediaan buku teks untuk perguruan tinggi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau dan tersedia secara merata. Upaya itu dilakukan melalui pembentukan penerbitan, peningkatan kompetensi dosen untuk menulis buku, penerjemahan dan penyaduran buku untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemenag RI juga mendorong penerbitan buku melalui “program penerbitan 5000 buku”.  Buku yang diterbitkan berupa buku hasil riset, buku mata kuliah, buku referensi dan monograf. Program ini dijalankan oleh Litapdimas kemenag RI sinergi dengan PTKI melalui penerbitan mandiri, sinergi dengan penerbit dan program Morabind.

Tersisa satu pekerjaan rumah yang cukup penting tetapi genting, membangun budaya menulis di lingkungan akademik. Dosen yang menulis jumlahnya cukup kecil, terlebih di kampus kampus yang iklim akademiknya kurang maju. Di tahun 2011 saya pernah menemani Prof. Ahmad Kayacik dari Turkey Foundation menjadi narasumber seminar internasional pendidikan yang diadakan oleh STAIN Ternate. Salah satu topik diskusi kami adalah publikasi karya tulis dan kompetensi dosen di negeri kita. Dia membandingkan dengan sistem pendidikan tinggi di Turki dan saya menjelaskan sistem pendidikan di Indonesia, terlebih di kawasan timur Indonesia. Dia heran. Dalam pikiran saya bayna sama’ wa sumur. 

Sembilan tahun berlalu, persoalan seperti itu masih tetap terjadi di lingkungan saya. Tidak cukup do’a untuk menyelesaikan persoalan demikian. Harus ada solusi terstruktur dan terprogram yang menjadikan budaya akademik dan budaya ilmiah menjadi perhatian utama. Pembangunan fisik sangat penting, tetapi membangun sumber daya manusia jauh lebih penting untuk kampus yang berkualitas, untuk pendidikan tinggi yang berkualitas, dan peradaban Islam yang tinggi. Kampus yang wah dengan budaya akademik yang rendah tak ubahnya hotel berbintang, tamu keluar masuk untuk istirahat saja, tidak ada nilai tambah buat peradaban dan kemajuan Maluku Utara.

Sore di Kelurahan Sangaji Ternate
25 Juli 2020
#76

Senin, 20 Juli 2020

Hobi Membaca (tidak) Bisa Diturunkan

Kegemaran membaca bukan penyakit turunan. Beberapa anak mengikuti kebiasaan membaca yang dilakukan oleh orang tua, tetapi beberapa yang lainnya mempunyai hobi tersendiri. Hobi membaca dan menulis mungkin tidak digandakan dalam copy DNA yang dapat diwariskan tetapi sebagai hayawanun natiq (sapiens), kita mewarisi DNA Nabi Adam AS, mahluk yang selalu ingin tahu.

Seperti kebiasaan yang dimiliki dua anak saya. Sebuah buku bisa dibaca lebih dari lima kali. Pun sama ada yang kalau ke kamar mandi harus menyiapkan bekal buku untuk dibaca. Yang satu sama persis dengan kebiasaan saya, sebelum menyiapkan menu makanan harus siapkan buku bacaan. Ditanggung di rumah tidak ada buku satupun yang tidak dibaca. Nyaris tidak ada buku yang tidak terbaca,  bahkan sampai bundel majalah yang sudah berusia puluhan tahun pun dibaca ulang. Ada beberapa saja buku yang masih bagus karena jarang dibaca atau mungkin tidak pernah dibaca. Satu  set tafsir fi dzilalil Qur’an, Sayyid Quthb. Mungkin karena bahasanya terlalu berat, sama seperti buku Das Kapital Karl Marx. Terjemahannya saja sulit dipahami, apalagi aslinya.

Anak pertama yang tahun lulu lulus dari Gontor, koleksi bukunya lebih banyak yang buku cerita daripada kitab pondoknya, padahal pelajaran pondok ada 33 mata pelajaran. Satu mata pelajaran lebih dari satu buku. Pada saat kelas 6, semua buku mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6 diujikan. Itu mungkin yang membuat budaya membacanya semakin terbentuk. 

Anak ketiga keinginan kuat bisa membaca gara gara abangnya sering protes diminta bacakan adiknya. Karena itu dia berusaha keras secepatnya bisa membaca, supaya tidak tergantung budi baik abangnya. Kasihan Karena di Ternate tidak punya akses ke taman bacaan, akhirnya minta diprintkan kumpulan cerita di kertas kertas bekas. Dan hadiah yang paling dia suka adalah dibebaskan belanja buku di Gramedia atau Toga Mas.

Anak pertama bisa membaca sejak usia 5 tahun. Tidak dipaksa. Beberapa buku bergambar dan majalah anak anak sudah disediakan sejak mulai dia tengkurap. Awalnya dilihat lihat, digigit, disobek. Lebih besar sedikit dibolak balik lihat gambarnya. Setelah itu minta dibacakan. Ahirnya minta ajari cara membaca. Kemudian dia tenggelam dalam dunia buku, tanpa sadar.

Anak keempat adalah anomali. Tidak suka baca. Beli buku cerita, lebih suka yang bergambar. Waktu dihabiskan main game atau lihat youtube. Lingkungan membaca kondusif. Buku banyak, tempat baca ada, teladan membaca banyak. Apa sebabnya? Apakah generasi Z (Gen-Z) cara membacanya berbeda?

Walaupun buku di rumah tidak banyak banyak amat, 70 persen bacaan di rumah adalah majalah mulai dari Ummi sampai Hidayatullah, dari intisari sampai tempo. Membaca lebih bersifat rekreatif. Daripada melihat tayangan hiburan di televisi, hiburan di majalah lebih sesuai. Sebab hiburan di televisi pemirsa yang menyesuaikan, membaca majalah pembaca yang mengendalikan memilih dan memilah sesuai kebutuhan.

Seperti juga yang saya alami. Membaca cerita lebih menyenangkan, dan majalah sebagian besar berisi cerita. Beritapun dituturkan dengan narasi cerita. Cara ini saya lakukan untuk membuat membaca menjadi menyenangkan. 

Narasi cerita sekarang banyak diambil alih youtube, televisi dan tayangan lainnya, sehingga budaya membaca mungkin sudah bergeser menjadi budaya menonton. Menonton lebih banyak proses satu arah, sedang membaca adalah proses dialog pikiran antara author (penulis) dengan reader (pembaca).

Menguatnya komunikasi tutur, budaya lisan dengan semakin banyak produk video digital di banyak media sosial, tidak menurunkan minat sebagian besar manusia mentransformasikan pengetahuan melalui tulisan. Seperti yang sering kita kerap saksikan dalam berbagai perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, demikian hanyalah gejala sesaat, budaya instant yang dapat timbul tenggelam. 

Membaca dan menulis dalam kehidupan manusia sepertinya akan berlangsung sepanjang masa, yang diselingi/diinterupsi dengan budaya literasi lainnya yang bersifat tambahan. Kemunculannya menyesuaikan dengan trend teknologi yang berkembang pada masa tertentu.
#71


Minggu, 19 Juli 2020

Membaca Terarah

Setelah selesai S1 kesempatan untuk mengeksplore bacaan semakin beragam. Waktu lebih banyak dihabiskan di perpustakaan. Buku yang dapat dibeli terlalu sedikit dibandingkan dengan hasrat ingin tahu. Perpustakaan daerah Jawa Timur, mempunyai koleksi yang lebih lengkap dengan spektrum keilmuan yang lebih luas. 

Di Perpusda ini kepuasan membaca dapat terpenuhi. Bacaan mempunyai pengaruh menggerakkan. Membaca yang awalnya dengan tujuan membaca untuk memenuhi rasa ingin tahu, menjadi membaca untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh penulis. Saat itulah keinginan ambil magister tiba tiba menguat. 

Setelah membandingkan magister di Universitas Airlangga, Universitas Surabaya dan IAIN Sunan Ampel. Ahirnya pilihan jatuh ke Sunan Ampel karena program studinya paling cocok dengan kuliah sebelumnya, Ekonomi Syari’ah.

Bacaan yang menggiring saya ambil S2, bukan karena ingin jadi dosen, bukan karena ingin jadi PNS, bukan untuk mencari pekerjaan. Murni karena ingin mencari ilmu. Sejauh ini belajarnya dibimbing buku, sudah saatnya belajar dari ilmuwan. Buku dan rasa ingin tahu membawa perjalan lebih jauh. Melalui struktur pembelajaran S2 yang lebih sistematis, cara membaca saya lebih efektif. Membaca dengan tujuan, tidak lagi membaca untuk dinikmati. 

Waktu kuliah S2 mulai belajar menyusun makalah yang benar. Diajarkan filsafat ilmu sebagai dasar berpartisipasi menghasilkan produk dan reproduksi pengetahuan. Melalui metodologi penelitian diajarkan dan dilatih cara menghasilkan inovasi pengetahuan baru. Proses tesa, anti tesa dan sintesa diuraikan dalam artikel. Diajarkan membaca pengetahuan secara kritis. Diajarkan berpikiran terbuka dan mendialogkan pikiran dan gagasan. Membaca sudah menjadi bagian mengumpulkan mozaik mozaik untuk membangun susunan baru.

Dunia akademik bukan dunia saya. Setelah tahu bahwa Magister itu dapat digunakan untuk mengajar mahasiswa, baru mulai terpikir untuk jadi dosen. Usia sudah 34 tahun dan tidak pernah tertarik jadi PNS, kecuali Dosen PNS. Saya lihat teman teman yang aktif di dunia LSM, bebarapa dosen di PTN. Jadi saya pikir kalau jadi dosen PNS bolehlah, sebab masih bisa berkecimpung di dunia organisasi non pemerintah atau organisasi masyarakat sipil.

Ndilalah 3 hari setelah wisuda, iseng iseng buka FB ada yang memberi kabar di IAIN Sunan Ampel dibutuhkan dosen formasi Perbankan Syari’ah. Cocok dalam hati. Tapi perasaan KTP sudah jatuh tempo, belum diperpanjang. Jadi malas mengurus persyaratan. Seminggu berlalu, iseng buka KTP di dompet ternyata KTP masa berlakunya masih tahun depannya. Ahirnya mengajukan lamaran. Tapi niatnya masih iseng. 

Pada hari tes tulis, beli pensil 2B banyak diraut niatnya ladang amal, tidak lulus tidak apa apa yang penting sudah berbuat baik membantu kawan kawan yang berminat jadi PNS. Apalagi setelah lihat di gelanggang pesertanya ratusan dengan formasi puluhan, dan beberapa kenalan banyak lulusan Australia dan Mesir. Ada yang sudah mempersiapkan 5 kali test, lima tahun berturut turut mendaftar. Tinggal satu tahun di Pare untuk memperdalam Bahasa Inggris. Waktu itu testnya 3 soal. Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan potensi akademik.

Setelah selesai tes, segera terlupakan. Dua minggu berlalu dan pikiran sudah sibuk di urusan lain, ada telpon ke rumah dari teman memberitahu : nama ente ada dalam daftar peserta yang lulus untuk masuk tahap ke-2. Saya belum yakin.  Bukan saya pak, mungkin Pak Syarifuddin?. Teman bilang : dua dua nama Syaifuddin dan Syarifuddin masuk. Surprise, iseng saja kok dapat masuk seleksi tahap ke-2.

Tes kedua, wawancara, baca al-Qur’an dan microteaching. Enaknya kalau tidak berambisi, semuanya berjalan tanpa dagdigdug. Tidak ada turunan PNS, keluarga besar Bani Abdullah yang PNS bisa dihitung dengan jari. Tidak suka ngajar formal. Banyak faktor yang bisa menjadi alasan untuk tidak berharap lulus. Jadi semua proses dijalani apa adanya, tanpa persiapan.

Dua bulan kemudian diumumkan. Alhamdulillah tidak lulus. Tapi punya pengalaman baru, dapat saudara banyak. Tidak kecewa karena memang niatnya biasa biasa saja, tidak ngebet banget jadi dosen PNS, banyak yang masih bisa dikerjakan. Tahun berganti, peristiwa berlalu segera terlewatkan, datang kesibukan baru.

Suatu pagi sedang membaca, asyik asyik di rumah, pengacara, pengangguran banyak acara. Telpon rumah berdering. Perasaan mau mengangkat telpon kok terasa ada yang penting. Suara ibu ibu dari seberang telpon, memperkenalkan diri dan memferifikasi nama saya, trus langsung bertanya : Bapak ikut tes PNS di IAIN Sunan Ampel. Ya Bu, pernah ikut, sudah diumumkan tidak lulus. Pak, ini ada formasi di beberapa kampus tapi tidak di Surabaya dan Bapak memenuhi syarat. Silahkan dipikirkan, kalau Bapak berminat bapak ke kampus, silahkan urus pemberkasan. Telpon di ujung sana ditutup.

Glodak, gemetar langsung. Waduh bagaimana ini. Langsung dilakukan perundingan Linggar Jati dengan semua keluarga. Antisipasi kalau kampusnya di Tulungagung, Ponorogo, Jember  atau Madura. Besoknya ke kampus, baru tahun kalau penunjukannya di Ternate. Berarti harus ada perundingan kedua, konverensi meja bulat. Semua teman, kerabat memberikan dorongan untuk berangkat. Macam macam lah motivasi diberikan untuk menguatkan keputusan agar berangkat. 

Secepat kilat diputuskan menyelasaikan semua persyaratan pemberkasan, menjual yang bisa dijual, mobil, motor, ayam. Memulai dunia baru, dunia yang lebih dekat dengan membaca, dan tentu saja seharus menulis. Dunia pengetahuan, dunia pendidikan, dunia transformasi sumber daya manusia, dunia nalar kritis dan perubahan. 

Membaca dan kegemaran membaca membawa perjalanan saya sejauh ini. Kegemaran yang murah tapi amat besar faedah.

#70

Sabtu, 18 Juli 2020

Terapung di Laut


Witing tresno jalaran songko kulino. Rasa suka tumbuh karena biasa. Seperti pengalaman pagi ini, dengan peralatan snorkeling saya mencoba mengeksplorasi cara berenang dan pengamatan taman bawah laut pantai Falajawa. Keindahan dalam air, terumbu karang dan aneka biota laut yang mempesona. Seperti samudera yang menyimpan pengetahuan tanpa batas. Mengeksplorasi renang dan laut juga menyediakan pengalaman dan pengetahuan tanpa batas. 

Pagi ini mencoba pengalaman baru terapung di air asin. Terapung di air tawar, di sungai, telaga, tambak atau danau sudah biasa bagi saya. Itu pengalaman menyenangkan kami, kanak kanak yang lahir di dataran rendah rawa rawa. Kami biasa “ngintir”, terapung mengikuti arus sungai beberapa kilometer. Anak anak desa biasa berenang di sungai dari pagi sampai sore, sungai adalah wahana bermain tanpa batas. Manusia kecil  yang menyerupai ikan, keluar dari air kulit kisut semua, orang orang tua menjuluki kami “regul”, kucing air yang menghabiskan ikan bandeng di empang. Tapi di air laut baru pagi ini mencoba.

Setelah menyelam melihat beberapa ikan zebra meliuk liuk di terumbu karang, saya ngaso sebentar di rakit papan. Samar samar terdengar ada yang memanggil dari atas papan. Nampak pak Risdan direktur utama BPRS tertawa tawa. Pak, ngoni saya panggil dari tadi, tara respon. Maaf pak Haji, dua telinga tersumpal, tidak dengar suara apapun. Ahirnya kami ngobrol sebentar di atas. Saya ingin terapung macam ibu ibu berjilbab sana tu, tapi belum berani coba, ujar pak Haji. Ayo pak Haji tong coba, mumpung kita di laut, masih pagi, perenang belum banyak.

Saya lebih dahulu mencoba. Masuk ke air, terlentang pasrah. Saya pejamkan mata, menahan nafas siap untuk tenggelam. Tapi tidak juga tenggelam, malah kaki terangkat, sehingga seluruh tubuh melayang di permukaan air. Mencoba tidur, mengosongkan pikiran, sekitar 10 menit, sedalam apa kira kira tubuh saya masuk ke dalam air. Ternyata tetap terapung. Pak Haji tertawa melihat apa yang saya lakukan. Ngoni su bisa terapung e. Setelah tanpa babibu, Pak Risdan melompat dari rakit, sejurus kemudian tubuhnya sudah melayang di atas air laut.

Sementara agak di tengah laut, ada sekitar dua jam dua nenek berjilbab berenang sambil ngobrol seperti layaknya ibu ibu di kampung yang sedang memotong padi saat musim banjir sambil ngerumpi, seluruh tubuh terendam. Tapi ini nenek nenek bacarita sambil berenang, pakai jilbab kaos lengkap panjang dan berat. Awalnya, saya melihat ini hal yang muskil, sebab saya berenang 5 menit dari tangga sampai ke rakit papan sejauh 150 meter, sampai kehabisan nafas, pucat dan muntah muntah. Tapi setelah melatih terapung tadi, 4 jam berenang di air laut rasanya masih mampu.

Kita sering menahan diri untuk mencoba hal hal baru, karena sudah kita letakkan blog mental yang menahan untuk berbuat.

Seperti halnya menulis. Banyak hambatan yang sengaja kita taruh sehingga membuat kita enggan untuk melampaui, melewati. Hambatan itu berupa malu, takut, tidak bisa, sulit dan lebih banyak lagi. Masalahnya hanya satu, tidak langsung mencoba, padahal kita punya banyak pengalaman sebelumnya. Sepertu terapung di air laut tadi. Setelah langsung saya coba, ternyata bisa, hambatan dan ketakutan tenggelam itu tidak ada, kehawatiran itu adalah barier yang kita taruh.

Sebagaimana berenang di laut, menulis juga membawa kita pada pengalaman baru pengetahuan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelum kita menceburkan diri. Dengan langsung mencoba terapung tubuh kita membuat solusi sendiri menemukan tekniknya sendiri, tidak perlu teori, tidak perlu perencanaan. Sebab ini bukan renang gaya kupu kupu yang memerlukan seperangkat teori dan aturan. Menulis juga demikian supaya gagasan bisa terapung, menulis bisa mengalir, langsung lakukan, tekniknya akan muncul sendiri sesuai dengan kebiasaan masing masing. Karena setiap orang unik dalam menulis, dan sebisa mungkin temukan teknik dan ciri khasnya.

Tak terasa sudah dua jam berada di dalam air. Badan terasa bugar. Pikiran segar. Dapat pelajaran baru. Makan bubur kacang hijaunya mas Yasir sudah mampu memadamkan kelaparan. Dilanjutkan dengan bercengkerama di bawah palm melambai dan sepoi sepoi angin laut menjelang siang. Datang kantuk menyergap, rasanya ingin masuk air lagi. Sebaiknya cukup. Biasanya jam 10 ke atas waktu yang melenakan, di air enak dan menyenangkan, efeknya  matahari dan air laut bisa membuat kulit terbakar dan terkelupas.

#69

Jumat, 17 Juli 2020

Membaca Karena Kepo


Koran sesobek bungkus bawang merah atau bumbu lainnya, selalu kunanti. Dari koran bekas saya tahun bahwa Kualalumpur ibukota Malaysia, bukan kubangan lumpur. Mana ada pertandingan sepakbola internasional dilaksanakan di tanah becek dan berlumpur, melalui koran bekas saya mendapat penjelasan. Itulah awal mula hobi membaca. Menuliskan kata  “membaca” sebagai hobi saya, di kertas perkenalan itu keren rasanya. Membaca menjadi hobi spesial, karena di lingkungan pelosok miskin dan tandus,  sekolah dan membaca itu kemewahan. Demikianlah awal mengenal kata, memahami makna melalui membaca, pada hal hal sederhana yang tersedia.

Kelas satu sekolah dasar, di ahir catur wulan pertama, saya sudah bisa membaca. Awal mula kata yang bisa saya baca adalah kapal. Kelas satu diajar ini ibu budi, wati kakak budi, iwan adik budi, sepertinya menghafal. Senin pagi,  bu Lis Suyati guru kelas satu membuat kuis dengan kosa kata yang tidak ada dalam buku, saya bisa membaca dengan benar, maka boleh pulang duluan. Rasanya istimewa bisa membaca paling cepat. Tidak ingat bagaimana proses nalar membaca terbentuk, dan ahirnya kesan pertama itu memberikan dorongan kuat untuk terus membaca. Dengan membaca rasa ingin tahu saya semakin tumbuh.

SD di desa bangunan inpres yang kualitasnya tidak merata, berlantai tanah dengan ruang empat lokal. Dengan lingkungan desa yang bersahaja, sekolah boleh tidak pakai alas kaki. Jamaknya sekolah-sekolah zaman sekarang, perpustakaan sekolah belum menjadi prioritas, jauh dari layak. Bacaan sangat terbatas. Selain beberapa buku cerita terbitan Balai Pustaka, ada beberapa majalah. Yang paling ditunggu oleh anak anak yang haus bacaan, majalah kuncup dan kuncung. Majalah tipis, 40 an halaman. Di kelas 2 saya dimotivasi oleh Kakak untuk kirim ke surat pembaca majalah kuncup. Alhamdulillah dimuat, walau hanya lima baris dalam satu paragraf. Bangganya bukan main, ditunjukkan ke mana mana. Sebenarnya ini motivasi yang kuat untuk berkarya, sayangnya puluhan tahun berikutnya tidak pula lahir karya tulis. Tapi spirit berprestasi terbentuk mulai peristiwa itu.

Sejak keluarga besar transmigrasi mandiri ke Kalimantan Timur, keluarga kami homeless, berpindah dari pinjam rumah satu ke rumah lainnya. Rumah jati warisan dari kakek dijual, karena Abah tidak bisa bertani, tidak ada penghasilan dari sawah garapan, lama lama semua aset. Tiga belas tahun kami keluarga nomaden, 8 orang tinggal di rumah pinjaman berukuran kecil. bagaimana saya memelihara hobi membaca? Kebetulan ada tetangga yang kerjanya mapan,  berlangganan koran dan majalah bermutu di masa itu. Juga rajin beli buku buku terbaru. Majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Trubus, Ulumul Qur’an, Tempo, Hukum, Intisari dan buletin Setia Kawan secara rutin saya baca. Agak ke belakang sering membaca buletin LP3ES dan buletin terbitan Bina Desa. Sering ada perasaan malu, karena sering bertamu hanya supaya dapat membaca majalah majalah tersebut. Sebagai penghobi baca itu sangat menantang dan menghilangkan dahaga bacaan.

Kalau saya kilas balik, bacaan saya waktu usia SMA majalah majalah ilmiah berkelas terutama yang diterbitkan oleh LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya dan Ulumul Qur’an. Majalah Islamnya juga  terbaik pada zamannya Kiblat dan Panji Masyarakat. Juga rutin membaca Tempo dan Intisari beralih sebentar ke Majalah Hukum dan Keadilan waktu Tempo dibredel. Tulisan tulisan Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur, Bang Imad dan GM lebih dulu saya baca daripada kolom pak DIS. Tentu saja ingatan tentang isinya sudah lama kabur, lha bacaanya pinjam terus, tidak pernah bisa beli.

Sampai dengan SMA saya belum punya bacaan kelasnya referensi.  Beberapa bacaan umum : terjemahan Al-Qur’an departemen agama yang kecil dengan huruf kecil dan supertebal, Sahahih Buchari, Shahih Muslim, Riyadhus Sholihin dan Bulughul Marom. Kitab kitab dengan huruf arab melayu (pegon) tafsir al-Ibriz, tafsir al-Iqlil, aqidatul awwam. 

Satu tahun setelah Lulus SMA saya mencoba mencari pekerjaan jadi buruh pabrik di Surabaya. Saya tahu diri tidak mungkin Abah bisa menguliahkan, karena masih ada empat adik yang harus disekolahkan sampai lulus aliyah atau SMA. Dengan berbekal 5000 rupiah pada ahir bulan Sya’ban berangkat ke Surabaya dengan tujuan yang belum tahu. Karenanya njujug masjid di Rungkut industri, dan banyak pencari kerja yang tidur di masjid. Pemilihan waktu yang salah, sebab biasanya pabrik-pabrik menerima karyawan baru setelah lebaran. 

Karena tidak punya keterampilan husus dan tidak ada orang dalam yang bisa memasukkan kerja di Pabrik, saya ke Balai latihan kerja. Karena kebetulan di sana ada dua kursus keterampilan yang bisa diikuti yaitu kursus komputer dan wood proses. Di wood proses hari Sabtu dan Minggu bisa magang di industri praktikum, bayaran dua hari itu yang digunakan untuk biaya hidup. Di rungkut industri ada harian sore Surabaya Post yang ditempelkan di dinding balai pertemuan warga. Tiap sore puluhan orang bergantian saling geser untuk bisa membaca. Satu satunya kesempatan saya menikmati dunia baca. Jangankan membeli buku, berkunjung ke perpustakaan pun tidak ada waktu dan biaya, karena urusan isi perut lebih mendesak daripada isi kepala.

Dalam usia remaja saya, membaca sudah menjadi kebutuhan, karena tanpa informasi dan pengetahuan baru ada yang kurang, membaca juga bagian dari rekreasi, keluar sejenak dari himpitan hidup. Perjalanan spiritual, melanglang buana ke pengetahuan pengetahuan baru, memasuki pikiran dan gagasan yang beragam. 

Dengan latar belakang keluarga yang pas-pasan, sudah saya tutup keinginan untuk kuliah, cukuplah dengan ijazah SMA saya bekerja keras untuk mengubah nasib. Dengan bekal kemampuan Word Star dan Lotus 123, saya melamar jadi tukang ketik, cleaning service dan penjaga kantor. Bacaan sumber inspirasi dan motivasi terbaik. Jenis bacaan yang paling saya suka adalah sejarah, biografi dan kisah manusia. Karena bacaan bacaan itu yang membuat saya terus bergerak. Dengan sedikit penghasilan, mulai menyisihkan uang untuk beli buku dan majalah bekas di jalan Semarang, Surabaya. Modul, makalah, naskah naskah akademik saya gandakan supaya bisa saya pelajari di rumah. Saking banyaknya buku dan diktat copian, emak pernah tanya mau bikin apa mengumpulkan buku sebanyak itu. Rumah dari dinding sesek, tidak ada lemari, banyak rayap, tidak aman. Kerja jaga kantor, hanya lulusan SMA. Jadi untuk apa barang barang itu, mungkin itu yang terpikir oleh emak. 

Karena isnspirasi bacaan saya mulai ada keinginan untuk sekolah lagi. Kebetulan waktu itu Bank BII (sekarang Bank Mayapada) membuka lowongan pekerjaan rendahan. Sayangnya ijazah tidak mendukung. Tahun 1996 saya mulai mencari kampus kuliah sore yang tidak terlalu jauh dari kantor. Ketemulah dengan Syari’ah Banking Institute, Program profesi bank syari’ah 2 tahun. Memenuhi syarat semuanya, kuliah sore, terjangkau jalan kaki, program studi perbankan. Meskipun bank syari’ah saat itu masih sebiji, dicibir dan dianggap bank aneh. 

Sudah mulai kuliah dan punya penghasilan sendiri, meskipun kecil maka mulai berlangganan majalah dan membeli buku. Bacaan korannya Republika, majalahnya Sabili, Hidayatullah, al-Wa’i buletin jum’atnya al-Islam. Lingkungan pergaulan tidak memberikan peluang untuk mengakses sumber sumber bacaan yang lebih beragam. Suatu episode perjalanan bersentuhan dengan pemikiran pemikiran Islamis. Pada saat yang sama, samar samar mendengar pemikiran Islam Liberal dan karya karya syi’ah, tapi masih sulit untuk dijangkau. Inilah periode bacaan membentuk watak ideologis saya. Pembacaan yang luas juga membuat cara kita beragama lebih luwes. Bacaan membuat wawasan kita terbuka dan membentuk cakrawala berpikir tanpa batas.

Lewat kegemaran membaca hidup saya terus berubah. Saya juga bingung darimana saya begitu suka membaca sejak kecil. Lingkungan membaca tidak ada, fasilitas juga kurang. Rasa ingin tahu, kepo yang mendorong saya suka sekali membaca dan lama lama seperti ketagihan. Membaca sudah menjadi kebutuhan. Sepuluh tahun yang lalu setiap ke toilet wajib membawa buku atau majalah, alhamdulillah sekarang tidak lagi. Yang masih jadi kebiasaan jelek yang bertahan lebih lama, kalau mau makan harus sambil baca buku, kalau tidak ada buku seperti makan tanpa lauk. Seiring dengan menurunnya fungsi mata membaca menjadi terganggu. Tertolong dengan adanya tablet. Bacaan digital baik pdf atau e-book, dan perpustakaan digital sudah tidak masalah lagi. Anak saya suka protes, karena di depan gadget terus. Padahal itulah kerja saya baca. 

Kadang kadang terpikir, nanti di alam kubur boring tidak ada yang dibaca.

#68

Selasa, 30 Juni 2020

Cendikia


Menulis adalah tugas kecendikiaan. Dalam tradisi agama agama, juga dalam tradisi dan khazanah Islam,  menulis buku, mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu adalah perjuangan yang melelahkan. 

Imam Bukhari berkelana dari kota ke kota, antar negara meninggalkan kampungnya Bukhara, untuk mengumpulkan dan menyusun kitab hadith. Para imam mazhab fiqh dalam Islam adalah pejuang pejuang pengetahuan, ahli ilmu yang tidak lelah sepanjang hidupnya mengajar dan menulis. Melalui perjuangan sepanjang hidup Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal, maka umat Islam di penjuru dunia dapat membaca Kitab al-Muwatha’, al-Umm, al-Zuhd, Fadhailul Sakhabah, al Mabsuth, al Jamius Saghir dan lain lain.

Semua penulis hebat melalui proses panjang, berliku dan penuh tantangan. Menulis memerlukan ketekunan dan motivasi kuat. Hampir semua penulis melalu jalan terjal dan mendaki. Seakan ada anggapan bahwa yang wajib menguasai keterampilan menulis hanya jurnalis. Para akademis menjadikan menulis sebagai keterampilan minimalis, sekedar untuk syarat memenuhi kewajiban. Sebuah cara pandang yang salah, sebab keterampilan menulis juga tugas akademis, tugas cendikia.

Khalid Abou Fadhl dalam bukunya The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Book  menunjukkan bagaimana cara memahami Islam. Menurutnya untuk melihat keindahan Islam, lihatlah tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang begitu kuat. Tradisi kecedikiawanan dan menulis kitab, yang sambung menyambung dari generasi ke generasi. Rangkaian sanat keilmuan tidak pernah terputus dari masa ke masa mulai sejak zaman Rasulullah Saw., sampai para ulama’ di zaman sekarang. Buku atau kitab adalah penanda hidup dan lahirnya tradisi keilmuan. Ketiadaan tradisi menulis buku dan mewariskan ilmu adalah tanda matinya kecendikiawanan.

Menulis apa saja bahkan menulis yang lebih serius adalah tugas ilmuwan, tugas yang tidak bisa dielakkan oleh akaedimisi, oleh cendikia. Mengajar adalah salah satu dari bagian tugas akademisi, dan ada tugas yang jauh lebih penting yaitu menyerap pengetahuan semesta, menjaga tradisi intelektual dengan cara riset dan publikasi. Maka menulis adalah kewajiban mutlak ilmuwan. Alat ukur kecendikiaan diantaranya : budaya literasi, tradisi meneliti, mereview, memperluas dan memperdalam keilmuan, kegunaan atau manfaat ilmunya. Pada semua ukuran kecedikiaan itu dihubungkan dengan kemampuan menulis yang baik.

Menulis yang baik dan berbobot pasti disertai bacaan yang luas. Kedalaman pengetahuan diperoleh dari proses dialektika pengetahuan dan realitas. Manfaat sebuah ilmu atau tulisan tidak bisa dilepaskan dari bobot referensi baik secara kuantitas ataupun kualitas. Jumlah rujukan juga penanda apakah tulisan itu berkualitas atau tidak. Hal yang penting dan prinsip.

Literasi di era digital dan media sosial dihadapkan dengan persoalan kedangkalan pembahasan sehingga melemahkan reproduksi pengetahuan.Tom Nichols dalam The Death of Ekspertise  sebagaimana disampaikan oleh Prof. Zakiuddin Baidhowi,  Kecenderungan pada literasi instan yang menggejala secara massif sehingga kepakaran dan kecendikiaan terancam mati. Dangkalnya tulisan, sehingga seakan tidak punya bobot keilmuan, sehingga siapa saja yang tidak pakar pun dapat membuat pernyataan. Akhirnya expertise, keahlian dalam bidang intelektual seolah olah tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat.

Masyarakat merasa tidak menganggap penting kehadiran akademisi, kaum intelektual, karena internet sudah menjawab semuanya, mbah Google dan syaikh Youtube sudah menjawab semua pertanyaan. Akibatnya buku dirasakan tidak penting, menulis tidak diperlukan lagi. Prof. Zakiuddin menyebutnya sebagai kecendikiaan di era “Virtual Crowd”. Media sosial menyerupai kerumunan, individu dan individuasi tenggelam di tengah kolektivitas literasi instan yang banal dan dungu. Masyarakat dengan mudah like dan share tanpa melakukan filter dan pendalaman informasi. Dengan mudahnya buzzer memperdungu kerumunan citizen di media sosial.

Kita berada di era kebingungan antara kecendikiaan buku dan kecendikiaan internet. Internet telah melakukan dimassifikasi informasi. Informasi sangat banyak dan beragam. Saking banyaknya tidak semua masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan yang seakan akan benar. Lahirlah hoaks yang beranak pinak. Di era internet tersedia sumber belajar yang variatif dan bebas belajar. Akibatnya lahir otoritas otoritas baru diantara otoritas otoritas yang sudah mapan. Keterampilan menulis yang baik semakin dibutuhkan. Tulisan yang berotoritas, berkualitas sekarang mempunyai identitas, bila penduduk Indonesia punya NIK, nomor induk kependudukan, maka setiap tulisan mantab punya DOI (Digital Objek Identifier). Identitas sebagai penanda bebas similirity, independent, punya hak intelektual dan keistimewaan lainnya.

Menjadi penulis yang baik diperlukan lingkungan yang kondusif, subur dalam budaya intelektual dan pembimbing yang otoritatif. Selalu ada peran mentor yang membentuk pribadi seorang penulis. Kepribadian kita dalam dunia kerja atau apapun dibentuk oleh orang orang hebat. Pak Haji Umar Said Tjokroaminoto adalah mentor yang hebat untuk Soekarno, Maridjan dan Simaoen. Dari Bang Mimar saya dapat pelajaran banyak tentang kecakapan, keterampilan, keahlian, idealisme dan integritas. Bang Miang mengajarkan untuk mencintai proses menulis. Dia juga mengajarkan, kemampuan menulis adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk membawa kebaikan bagi orang banyak. Demikian yang diceritakan pak Ade Armando.

Imam Syafi’i merupakan murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Ahmad ibnu Hanbal adalah murid Imam Syafi’i. Meskipun keempat imam ini mempunyai mazhab yang berbeda beda, tetapi mereka mempunyai rangkaian sanat keilmuan yang bersambung satu sama lain. Dan itulah pentingnya mentor, pembimbing, guru dalam tradisi keilmuan.

Menulis adalah bagian dari peran kecendikiaan, peran akademis yang tidak bisa dielakkan.

Sabtu, 06 Juni 2020

MOOD TIDAK DIBUTUHKAN DALAM MENULIS


Hilangkan pamrih menulis,  pada saat sedang menciptakan kebiasaan dan mengasah keterampilan menulis.

Bila pamrih atau alasan menulis supaya mendapat pujian, maka hasrat menulis hilang pada saat pujian tiada, keinginan menulis melemah saat respon pembaca biasa saja, menulis jadi aktifitas yang tidak menyenangkan bila mendapat kritikan. Maka minimalkan pamrih pujian sebagai tanggapan yang diinginkan dari tulisan.

Bila pamrih menulis karena kewajiban, maka menulis menjadi tekanan. Menulis jauh dari kata mengasikkan. Biasanya dikerjakan pada saat mendekati tenggat. Mati matian memaksa diri, menciptakan kondisi, memberi sugesti supaya bisa mengerjakan dengan suka hati.

Fatamorgana yang kita ciptakan akan bertahan dalam sesaat. Kita berusaha memanipulasi tekanan kejiwaan. Hasil kerja tidak maksimal. Setiap datang kewajiban terciptalah siklus serupa.

Tidak pernah mengambil pelajaran dengan terpaksa selalu mengulang tindakan karena kewajiban selalu datang berulang. Kita tidak mencoba mengembangkan keterampilan menulis, sebagai persiapan menangani kewajiban.

Jika menulis karena takut dinilai, maka buntulah gagasan, mandeglah tulisan. Anggap saja tidak ada yang pernah menilai negatif, anggaplah tidak ada yang akan salah paham dengan tulisan. Penilaian positif tidak akan menaikkan manfaat bagi saya. Penilaian negatif tidak akan merugikan saya.

Tulisan yang dinilai baik bagi pembaca tidak memberikan dampak positif buat saya. Tulisan yang dinilai buruk oleh pembaca tidak memberikan dampak negatif buat saya. Penulis saja jika segera menilai tulisan sendiri, maka akan segera dihapus, merasa malu, merasa tidak tepat sebelum gagasan semua tulisan sempurna. Pun demikian jika satu paragraf selesai tidak segera bergerak melanjutkan, kita menilai kembali tulisan kita dan merasa puas dengan kualitas tulisan, kita akan berhenti, mengulang ulang membaca dan lupa gagasan utuh dari keseluruhan tulisan.

Tulisan orang yang baru menciptakan kebiasaan menulis tidak harus baik, bermutu. Tulisan awal awal dalam menciptakan kebiasaan menulis selayaknya muter muter, mbulet, berpanjang lebar, kadang kadang pangkal ujungnya tidak jelas.

Tulisan orang yang baru memulai kebiasaan menulis tidak punya struktur yang jelas, cenderung bebas, tidak beraturan. Kadang kadang tulisan enak dibaca mudah dimengerti, menyentuh hati dan bahkan menginspirasi, tapi lebih sering tulisan yang tidak teratur.

Biarkan saja. Kalau sudah lewat dua bulan dan dinilai secara menyeluruh, mungkin bisa dikaji apa yang menyebabkan pada momen tertentu tulisannya sangat bagus, pasti ada faktor faktor unik yang mempengaruhi kejiwaan penulis dan dapat dijadikan penciptaan kondisi yang sesuai dengan keadaan terbaik yang sesuai bagi penulis.

Apa kondisi terburuk yang menghasilkan tulisan terburuk yang dialami oleh penulis juga perlu dipelajari. Pada saat tulisan datar dan menyeret nyeret ditemukan dalam kondisi bagaimana juga perlu dikenali oleh penulis. Semua evaluasi tadi biarlah penulis yang menentukan cara dan waktu menilai dan tidak usah menghapus atau mengedit tulisan yang sudah jadi atau sudah dipublish di blog misalnya.

Apa yang menjadi alasan untuk menulis menjadi kebiasaan. Karena kalau tanpa alasan, tanpa motivasi, tanpa daya yang menggerakkan tidak akan aktifitas menulis. Oprah winfrey menyampaikan dalam salah satu shownya, kebiasaan dapat diciptakan dengan mengulang secara konsisten selama 30 hari.

Mungkin setiap orang mempunyai karakter yang berbeda beda, sehingga waktu pengulangan supaya menjadi kebiasaan, perilaku menjadi otomatis berbeda beda. Jadi intinya ada repetisi perilaku yang diulang ulang bisa selama 30 hari, 40 hari dan seterusnya silahkan dipraktikkan sampai menulis yang konsisten menjadi habit.

Senada, serupa dengan itu, dapat mencoba kebiasaan hidup yang dibuat oleh Imanual Kant sepanjang hidupnya 80 tahun. Kant punya kebiasaan yang rutin dan nyaris mekanis. Suka tidak suka, mau tidak mau Kant mengikuti jadwal harian yang telah ditetapkan. Saking tepatnya Kant dalam mematuhi jadwalnya masyarakat Konikgsberg berseloroh, Kant lebih tepat waktu dari jam.

Kant tidak pernah mengikuti dorongan perasaan dorongan hati (mood) untuk mengerjakan sesuatu, perasaannya yang menyesuaikan waktu. Jadwal hidup Kant tidak pernah berubah semenitpun  dalam 60 tahun : Jam 4.55 bangun pagi, jam 5.00 minum Teh, Sampai Jam 07.00 mempersiapkan bahan bahan kuliah, Jam 07.00-09.00 memberi kuliah, Jam 09.00-12.45 menulis dan membaca, 12.45-16.00 makan siang sambil diskusi, Jam 16.00 jalan jalan kaki harus sendirian sambil berpikir, lanjut bekerja lagi, membaca, jam 22.00 tepat sudah naik ke tempat tidur.

Jadwalnya tepat dijalani tanpa ada yang meleset dan dilanggar. Para penulis sejarahnya mencatat hanya sekali saja dalam hidupnya Kant lupa jalan jalan sore, karena terlalu asik membaca buku Rousseau yang menurutnya buku itu sangat bagus.

Disiplin dalam membuat jadwal yang sudah ditetapkan akan membantu kita mengatasi persoalan mood yang sering dikambinghitamkan sebagai hambatan tidak menulis. Kant mempraktikkan produktifitas manusia dalam berpikir dan menulis ternayat bisa direkayasa. Perasaan yang harus mengikuti waktu, bukan waktu yang mengikuti perasaan.

Barangkali ini yang menjadi alasan Tuhan bersumpah demi waktu. Waktu dapat kita atur, sehingga hidup kita, mood menulis kita menyesuaikan dengan waktu.