Jumat, 23 Oktober 2020

Lingkungan Pembentuk Budaya Santri

 

Oleh Syaifuddin




Masih dalam spirit peringatan hari santri. Santri itu profesi seumur hidup. Sejak menjadi santri maka seumur hidup kita adalah santri. Seorang kyai pun adalah santri. Syaikhona Kholil, dari Bangkalan Madura adalah guru dan kyainya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Suatu ketika Kyai Hasyim sepulang dari Makkah, kyai Kholil segera mendatanginya untuk belajar ilmu ilmu hadith, kyai menjadi santri. Ketika keluar dari Majelis, keduanya berebut menyiapkan alas kaki gurunya, sebagai penghormatan. Sebab kedua Kyai merasa santri dari yang lainnya.

Santri itu menjadi lifestyle, gaya hidup. Clifford Geertz memilah masyarakat jawa dalam tiga kelompok, yaitu : santri, abangan dan priyayi. Santri menjadi subkultur tersendiri dengan pola hidup dan gaya tersendiri. 

Kemajuan zaman tidak melunturkan tradisi santri dan pesantren. Dia senantiasa mengalami evolusi, transformasi dan penyesuaian. Santri yang diidentikan oleh Clifford dengan nada minor,  “kethu miring”, “sarung nglinting” dan “gudiken” tidak lagi dapat kita jumpai sekarang. Harum, bersih, rapi, wangi, higienis menjadi tampilan santri masa kini. Goodlooking, smart, tangkas, santun, tawadhu’ adalah profil santri kekinian. Sesekali berdasi, berjas bersentuhan dengan teknologi informasi di laboratorium seakan menjadi gaya baru santri masa kini.

Santri menjadi kultur, menjadi budaya tidak berdiri sendiri dan tiba tiba saja muncul. Kultur santri memerlukan ekosistem kebudayaan dan tradisi yang berkembang dan menjalar pada masyarakat. Selalu berkembang dan acapkali menyusut dan bermigrasi.

Sepanjang yang saya ingat mulai kakek saya sudah terhubung dengan dunia ponpes. Mbah saya adalah santri. Tidak tahu persisnya di pesantren mana saja, tapi jaringan pertemanannya adalah santri dan ulama’ aswaja. Di masa menjelang revolusi kemerdekaan, para santri tidak hanya mondok di satu tempat. Untuk belajar Fiqh mondok di Lirboyo, belajar tasawuf mondok di Langitan, belajar hadith mondok di Tebuireng dan seterusnya. 

Mertua kakek saya seorang advokat yang tinggal di Surabaya, sehingga kerap berinteraksi  dengan pemerintahan hindia Belanda, dalam penyelesaian persoalan persoalan hukum kaum pribumi. Dalam masa revolusi kemerdekaan di seputar perang 10 Nopember, kakek pernah menjadi kurir Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, untuk berkoordinasi antar para pejuang kemerdekaan. Masa revolusi dan agresi militer Belanda yang membonceng sekutu, memaksa santri turun gelanggang, berada di medan laga. Hidungnya yang mancung dan kulitnya yang putih, dianggap dapat mengkamuflase tentara hindia Belanda, dapat bergerak antar tempat tanpa hawatir dicurigai.

Penyamarannya tidak selalu berhasil, sebagai komandan Hizbullah, kakek yang santri senantiasa diburu Belanda. Rumahnya yang di kampung kauman, 20 km dari kota Gresik, dekat jalan Dendles pesisir utara Jawa, sering disatroni Belanda. Di kakinya masih bersarang peluru oleh oleh santri dalam kontak fisik dengan tentara penjajah. Tembok rumahnya yang gosong karena dibumihanguskan oleh tentara Belanda, masih sempat saya saksikan pada dekade 80 an.

Selepas revolusi kemerdekaan tradisi mengirim putra putri kakek ke ponpes terus berlanjut. Anak pertamanya dikirim ke Liroboyo, Denanyar, Peterongan, berahir di Langitan. Putrinya dikirimkan ke pondok takhfid di Surabaya, kemudian dicarikan jodoh santri hafid dari Pasuruan. Ada yang dikirimkan ke ponpes terdekat atau dicarikan suami Kyai. Keterhubungan dengan dunia ponpes terus dipertahankan.

Jaringan kekerabatan dengan orang orang alim, dengan para santri terus dipertahankan. Biasanya berlanjut dengan jaringan dan silsilah ketarekatan.

Sampai generasi cucunya memondokkan atau mengirim ke ponpes tetap menjadi kebiasaan. Santri dan ponpes menjadi satu satunya jalur memberikan pendidikan terbaik untuk generasi penerus kaum santri, meskipun mengalami sedikit pergeseran dengan bergesernya formalisme pendidikan Islam di ponpes. 

Untuk menjaga keterhubungan jaringan pesantren tidak hanya berlangsung di Indonesia, tetapi diperluas hingga dunia internasional atau antar negara. Anak dan cucu kakek dijejaringkan dengan keulama’an dan dunia pendidikan Islam di beberapa negara (di Mesir, Saudi dan Yaman tidak menggunakan nama ponpes). Beberapa anak cucu kakek pergi nyantri ke al-Azhar di Mesir, ke Sayyid Maliki di Arab Saudi dan Tarim di Yaman

Perluasan pengaruh dan tradisi santri juga berlangsung melalui proses perkawinan. Abah membawa tradisi mengirim ke ponpes pada keluarga istrinya. Beberapa adik ipar diperkenalkan dengan pendidikan Islam dengan mengirimnya mondok di Langitan atau Sungilebak, ke ponpes ponpes yang bisa dijangkau. Untuk memperluas dan menjaga ketersambungan silsilah keilmuan. Selanjutnya akan berpengaruh pada lingkungan baru yang semakin terkoneksi dengan ponpes dan lahirlah santri santri baru.

Para santri ini di masyarakat kemudian menjadi tokoh agama, guru ngaji, mudin, tempat masyarakat memohon bimbingan dalam beragama. Tidak sedikit yang menjadi kyai, baik kyai yang mempunyai pesantren maupun kyai yang mengajar agama dari masjid ke masjid, dari musholah dan langgar. Lulusan ponpes mengajarkan kitab turats/kitab kuning di masyarakat secara langsung, terutama di bulan Ramadhan. 

Kita fatkhul wahab, fatkhul qarib, fatkhul mu’in dan kitab kita fiqh lainnya dibacakan secara tetap sampai tamat pada masjid masjid tertentu selama bulan puasa. Untuk yang ringan ringan aqidatul awam, sulam dan safinatunnajah. Di forum forum yang lebih spesifik diajarkan kita uquduljain. Itulah pekerjaan para santri yang utama selain sampingannya sebagai pebisnis atau pegawai. Atau yang sebaliknya. Tergantung pilihan para santri.

Tatkala pesantren telah mengalami transformasi bantuk dan strategi pengajaran, menyesuaikan tuntutan zaman, para cicit dari kakek saya tetap mempertahankan pilihan sebagai santri untuk mendapatkan pendidikan ilmu dunia dan akhiratnya. Ketika ponpes tidak hanya salaf, bahkan sudah menjadi ponpes kholaf dan ponpes modern tidak menyurutkan minat calon calon santri dari generasi keempat mempertahankan statusnya sebagai santri.

Ponpes dan santri dapat terus lestari dan bahkan berkembang, karena tradisi ini ditopang oleh sebagian besar keluarga dan masyarakat yang menjaga keberlangsungan agama. Ponpes menjadi subkultur yang membuat Islam menjadi praktik dalam kehidupan sehari hari masyarakat muslim nusantara. Ponpeslah yang menjaga tafaquh fiddin. Eksistensi santri dan ponpes adalah eksistensi Islam. Selama masih ada santri syiar dan kemurnian berIslam akan tetap terjaga dan menjadi lifestyle Islam nusantara.


23 Oktober 2020

#152


Kamis, 22 Oktober 2020

NU-Santri di Era New-Santri


 

Oleh Syaifuddin


Pondok pesantren (ponpes) telah hidup ratusan tahun dalam tradisi pendidikan Islam di nusantara. Usia ponpes dengan sendirinya hampir seusia Islam di nusantara ini. Dalam tradisi lisan dan tulis yang sempat kita dapatkan, pada masa Walisongo (Wali Sembilan) ponpes sudah eksis. Raden Ainul Yakin kecil, nama kecil Sunan Giri pernah nyantri di ponpesnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel di daerah Ampel Denta, Surabaya. 


Di masa kemudian Sunan Giri bertransformasi dari santri menjadi Kyai yang wali, sehingga diberi gelar Sunan. Ponpes Sunan Giri berada di ketinggian kota Gresik yang disebut sebagai Giri Kedaton. Santrinya berasal dari penjuru nusantara. Sultan Zainal Abidin Syah, raja muslim kedua dari Kesultanan Ternate pernah nyantri di Gresik.


Demikian pula seorang santri aswaja yang bertahan di pesisir Lamongan di daerah Paciran mendirikan ponpes di Sendang Duwur. Kelak di kemudian hari Kyainya bergelar Sunan Drajad, menjaga tradisi pendidikan Islam di pesisir utara pulau Jawa.


Bila penelitian Prof. Ayzumardi Azra berhasil memetakan jaringan ulama’ nusantara, maka sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa sejak masa lampau para ulama’ sudah berjejaring. Kyai Hasyim membuat simpul jaringan ulama’ dalam jam’iyah NU, sesungguhnya melanjutkan tradisi keulamaan yang sudah dikerjakan pada masa masa sebelumnya.


KH. Hasyim Asy’ari mengkonsolidasikan kekuatan jaringan Kyai, ponpes dan santri dalam wadah NU untuk menghadapi tantangan zaman yang berubah. Awalnya adalah Ihtiar mengamankan praktik keagamaan aswaja yang mendapat rintangan pada permulaan abad 20 di wilayah pusat Islam oleh Raja Saud. Komite Hijaz yang ditunjuk untuk menghadap raja Saudi berhasil memperjuangkan aspirasi umat Islam nusantara. 


Tradisi keagamaan yang menjadi amaliyah sebagian besar muslim nusantara, sejak zaman para wali yang mengIslamkan tanah Jawa, terus dipelihara oleh ponpes ponpes di Jawa. Lembaga pendidikan Islam ini menjadi pusat intelektual sekaligus benteng tradisi ahlus sunnah waljama’ah yang disebut sebagai Islam Nusantara oleh Kyai Said. Islam nusantara bukan agama baru atau aliran baru, tetapi Islam yang khas nusantara yang dipraktikkan sejak masa Walisongo.


Islam yang sama dan menjadi praktik beragama yang bertahan hampir 5 abad di nusantara, kemudian oleh Kyai Hasyim Asy’ari diorganisir dalam wadah jam’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU). Kyai kyai pengasuh jutaan murid pada ponpes ponpes berpaham ahlu sunnah waljama’ah an nahdhiyah yang melahirkan santri aswaja (NU santri).


Santri NU dari waktu ke waktu berhadapan dengan persoalan kemasyarakatan yang berbeda beda. Santri generasi milenial dan santri generasi Z (Gen-Z) berada pada suasana pendidikan yang berbeda. Dunia pendidikan Islam juga mengalam modernisasi. Fasilitas infrastruktur, kurikulum, manajemen ponpes dan ekosistem pendidikan Islam juga sudah berubah. 


Ponpes yang kholaf dan salaf pada masa menjelang kemerdekaan sudah mengalami transformasi bentuk yang beraneka ragam. Ada tujuh macam lebih bentuk ponpes. Dalam setengah abad terahir ponpes mengalami bentuk dan perubahan sistem dengan pesat. Maka santri tempo dulu berbeda dengan new santri. 


Undang undang nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren, memberikan tantangan dan peluang bagi NU santri dan New Santri. Pondok pesantren tidak lagi menginduk pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.


Dalam beberapa dekade ponpes mengalami tantangan, santrinya tidak dianggap oleh dunia kerja dan lembaga pendidikan formal. Akibatnya ratusan ribu ponpes mendirikan lembaga pendidikan formal di dalam pesantren : SD, SMP, SMA, SMK atau MI, MTs, MA. Supaya para santri dapat berkompetisi di sektor formal. Usaha ponpes memperkuat masa depan santri.


Usaha ponpes mempertahankan melahirkan ulama’, ihtiar ponpes menghasilkan santri yang tafaquh fiddin menghadapi tantangan berat sebelum UU nomor 18 tahun 2019. UU ini menaikkan ponpes mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai lembaga pendidikan formal dan non formal. Inilah peluangnya.


Untuk fungsi sebagai lembaga formal, mulai dasar sampai menengah berbentuk muadalah dan diniyah formal. Untuk pendidikan tinggi berbentuk ma’had aly, berjenjang dari S1, S2 sampai S3. Semua kurikulumnya fokus pada pendalaman agama dan berbasis kitab turats/kitab kuning. Untuk fungsi ponpes sebagai lembaga pendidikan non formal berbentuk pengajian kitab kuning saja.


Tantangan ponpes terletak pada komposisi fungsi ponpes menurut UU tersebut. Fungsi ponpes ada tiga yaitu fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dari 55 pasal yang ada, 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan, 6 pasal berbicara tentang fungsi dakwah dan 3 pasal tentang pemberdayaan masyarakat.


Tantangan berikutnya bagi NU santri adalah mengembalikan kitab kuning sebagai jati diri ponpes. Sebelum tahun 1980 an muncul istilah yang sangat populer: Pesantren adalah kitab kuning dan kitab kuning adalah pesantren. Tantangan mengembalikan ke jati diri pesantren setelah terbawa arus ke pendidikan formal ala sistem pendidikan nasional.


Santri dan ponpes berada dalam dunia pendidikan Islam yang sangat dinamis, dengan tantangan yang cenderung keras. Momentum hari santri menyuguhkan peluang dan tantangan baru bagi NU Santri di era New Santri.



Ternate

22 Oktober 2020

#151


Selasa, 20 Oktober 2020

Spirit Jihad Dalam Peringatan Hari Santri

 

Oleh Syaifuddin



Hari santri ditetapkan setiap tanggal 22 Oktober sejak 6 tahun lampau. Tanggal tersebut dipilih bersamaa momen dikeluarkannya resolusi jihad oleh hadratus syaih Hasyim Asy’ari, pendiri dan ra’isyul akbar organisasi ummat Nahdhatul Ulama’ (NU). Resolusi yang memberikan pijakan kepada umat Islam terutama para santri,  dengan segenap jiwa raga mempertahankan bumi pertiwi dari agresi penjajah dan negara negara sekutu yang telah memenangkan perang dunia II.


Peristiwa yang memberikan arti pentingnya perjuangan membebaskan negeri dari penjajahan. Melahirkan kepahlawanan ‘arek arek Suroboyo’ dalam peristiwa heroik 10 Nopember 1945. Yang sama pentingnya dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, menghalau kekuatan asing, melawan campur tangan kekuatan internasional yang akan mengambil kemerdekaan.


Santri adalah produk pondok pesantren. Santri hasil pendidikan Islam, pola pendidikan yang digali dari makna pembelajaran sepanjang hayat. Pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian material, kemakmuran jasmani, mulia di dunia. Lebih jauh dari itu pendidikan Islam menjangkau pada capaian spiritual, kesejahteraan ruhani, kemuliaan di dunia hingga keselamatan di kehidupan berikutnya yang dipercayai Islam.


Pondok pondok pesantren menjadi tulang punggung yang melahirkan pejuang pejuang kemerdekaan. Santri bukan hanya pelajar seperti yang kita pahami sebagai manusia yang menempuh pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Santri melampau pelajar, karena dia belajar dari sejak dalam buaian sampai ke liang lahat, seperti yang diajarkan oleh Islam.


Pondok pondok pesantren adalah basis perjuangan dan perlawanan terhadap pemerintah penjajah di tanah air. Melalui pendidikan di pesantren, kesejahteraan dan keberadaban masyarakat di negeri terjajah dapat terus diupayakan. Para santri dan tentu saja para Kyai dan civitas pondok pesantrenlah  yang menggelorakan perjuangan membebaskan negara, kemerdekaan dan kebebasan menjalankan agama.


Santri adalah jaringan terpelajar yang bekerjasama antar pondok pesantren dan para alumninya di masyarakat, menjadi bantalan sosial yang membangun dan mengembangkan kesadaran keIslaman dan keIndonesiaan. Santri ini mayoritas muslim tradisional yang berada di depan pada saat bangsa memanggil, tetapi surut ke belakang pada masa tertib sipil. Pembawa praktik nilai nilai Islam, berjuang, berkorban. Memberikan manfaat kepada manusia lainnya sebagai tujuan.


Jaringan santri dan pondok pesantren ini paling giat berorganisasi untuk menyelesaikan persoalan masyarakatnya melalui tiga gerakan : gerakan kebangsaan (hizbul wathan), gerakan ekonomi (nahdhatut tujar) dan gerakan pemikiran (tazwirul afkar). Tiga gerakan yang dianggap penting untuk mengangkat harkat dan martabat kaum muslimin melalui gerakan politik, ekonomi dan pendidikan.


Maka peristiwa 22 Oktober, dikeluarkannya resolusi jihad, merupakan salah satu bagian titik penting dari perspektif gerakan kebangsaan yang dilakukan oleh kaum santri di tanah air. 


Bila ditarik ke belakang, santri dengan salah satu organisasinya NU, juga menjadi aktor dan jaringan yang penting dalam memelihara bangsa dari pengaruh ideologi yang tidak sesuai dengan jati diri masyarakat Islam nusantara. Sebutlah bagaimana pertentangan NU dengan ideologi komunis pada masa sebelum Indonesia merdeka. 


Dalam transisi revolusi kemerdekaan, yang menjadi korban pembantai PKI dalam pemberontakan Madiun adalah para Kyai dan santri di pondok pondok pesantren. Karena santri dan pesantren adalah penghalang utama ideologi PKI. Demikian pula dalam menangkis infiltrasi ideologi lain yang tidak sejalan dengan jati diri masyarakat Indonesia, santri dan pesantren menjadi benteng pertahanan masyarakat.


Santri adalah pelaku di dunia pendidikan, “pelajar muslim”, penuntut ilmu. Santri adalah abdi ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Ilmu keagamaan Islam menjadi jati diri santri untuk mencapai tujuan dunia dan akhiratnya. Di dalam Islam ilmu pengetahuan tidak dipisah pisahkan, sejauh bertujuan untuk mewujudkan perannya sebagai “khalifatun fil ardh” dan ibadah, maka sah sebagai ilmu pengetahuan Islam.


Santri tidak hanya terpelajar di masjid dan lembaga keagamaan lainnya. Karena santri juga berperan nyata dalam berbagai bidang untuk kemaslahatan umat manusia. Karenanya pemilihan 22 Oktober sebagai hari santri, menegaskan kembali peran santri di berbagai bidang. Semangat jihad dalam hari santri, selalu mengingatkan bahwa pengorbanan dalam menciptakan kemaslahatan umat dilakukan dengan kesungguhan dan kerelaan mewakafkan jiwa dan raga.


21 Oktober 2020

#150


Nahdhiyin Perkotaan

 Oleh Syaifuddin





Ada gejala perilaku ekonomi Islam warga Nahdhatul Ulama’ (NU) atau yang familiar dengan sebutan warga nahdhiyin. Njelimet sekali mungkin istilah yang saya gunakan, ada perilaku ekonomi ada perilaku ekonomi Islam. Untuk menyederhanakan pembahasan, yang saya maksudkan dengan perilaku ekonomi Islam adalah bagaimana warga nahdhiyin berhubungan dengan istilah istilah dan praktik ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, pasar modal syari’ah, bisnis syari’ah, mudharabah, musyarakah, bay’ almurabahah dan seterusnya.


Semula saya menangkap di permukaan, ada yang berbeda antara cara nahdhiyin di Ternate dan tempat lain, terutama di kota kota besar Jawa dalam mempraktikan ekonomi syariah. Setidaknya di kalangan menengah ke atas yang sangat dekat dengan terma, istilah dan praktik ekonomi syari’ah, seperti perbankan syari’ah, baytul mal wa tamwil. Sementara saya menyebutnya dengan perilaku ekonomi nahdhiyin perkotaan.


Islam berkemajuan masyarakatnya dulu disebut dengan masyarakat Islam perkotaan, sementara muslim tradisional dewasa ini mengidentifikasi sebagai Islam nusantara. Sejak kemunculannya di tahun 1990 an yang gegap gempita, berakrab ria dengan ekonomi syari’ah adalah muslim perkotaan. Muslim tradisional masih menjaga jarak, sembari mencari format respon yang paling tepat terhadap fenomena ini. Sementara nahdhiyin Ternate sudah familiar dengan ekonomi syari’ah sejajar dengan muslim perkotaan.


Dalam praktiknya, muslim perkotaan dengan nahdhiyin perkotaan amaliah beragamanya nyaris serupa. Tidak ada perbedaan yang fundmental. Cukup lama saya kesulitan membuat kesimpulan terhadap fenomena ini. Setelah munculnya fenomena Ustadz Abdus Shomad dan pergerakan FPI dari waktu ke waktu, saya mulai bisa membuat benang merah. Semakin jelas dengan teori amaliah, fikrah dan harokah untuk melihat perilaku nahdhiyin.


Waktu meneliti tentang perilaku konsumen nahdhiyin di perbankan syari’ah, saya kesulitan untuk mengidentifikasi responden dari segi amaliahnya. Semuanya mengamalkan sholawat, tahlil, manakib dan ziarah kubur. Sebagai pembeda supaya jelas responden saya, maka pengurus organisasi di lingkungan NU sebagai indikator lainnya.


Dan itu cukup efektif menjelaskan apa ciri uniknya perilaku konsumen nahdhiyin pada bank syari’ah di Ternate. Memberikan landasan argumen yang kuat, mengoreksi kesalahan saya menempatkan pengurus MUI sebagai responden, meskipun yang bersangkutan juga pengurus wilayah NU. Unsur nahdhiyinnya yang didahulukan, keulamaannya di MUI sebagai pendukung. 


Gejala perilaku ekonomi Islam nahdhiyin perkotaan di Ternate tidak terlalu terlihat di masyarakat kota di Jawa. Sebenarnya berkembang, tetapi dalam kantong kantong yang terbatas. Program studi ekonomi syari’ah, di berbagai perguruan tinggi Islam yang memberikan andil berkembangnya praktik ekonomi syari’ah, yang terbatas itu misalnya dengan keberadaan BMT di Pondok Sidogiri dan BPRS di Salafiyah Syafi’iyah. Namun, secara umum konsumen atau nasabahnya masih masyarakat muslim perkotaan yang berkemajuan. 


Mulai terlihat ada pergeseran gejala.

Dua rois syuriah NU KH. Sahal Mahfudh dan KH. Ma’ruf Amin adalah kontributor utama lahirnya fatwa fatwa keuangan syari’ah sebagai pedoman lembaga lembaga ekonomi syari’ah dapat tumbuh dan berkembang pesat seperti saat ini.  Kedua tokoh ini memberikan pijakan “Islamic Yuris” yang kokoh dan bahkan tidak dimiliki oleh negara negara lain. Fatwa keuangan syari’ah nampaknya sederhana, tapi sesungguhnya itu yang paling utama dibutuhkan industri keuangan syari’ah dan ekonomi syari’ah.


Nah, jika di level tinggi tokoh tokoh NU berperan penting dalam membangun struktur ekonomi dan industri keuangan syari’ah, mengapa di level menengah sampai bawah terjadi anomali? Gejala nahdhiyin perkotaan dan teori amaliah, fikrah dan harakah bisa memberikan penjelasan, sekaligus seperangkat solusi untuk memperbaiki keadaan. 


20 Oktober 2020

#149


Senin, 05 Oktober 2020

Belajar Dari Nilai Filosofis Pondok Pesantren

 

Oleh Syaifuddin



Pondok pesantren menjadi inspirasi lahirnya madrasah, berdirinya pondok pesantren lain  atau munculnya universitas Islam sesuatu yang lumrah. Tapi menjadi inspirasi lahirnya padepokan seni, yang didirikan oleh pak Bagong seniman keraton Jogjakarta, baru tidak biasa.


Tanpa modal harta yang memadahi, tidak dibekali ilmu pedagogi pak Bagong Kussudardja mendirikan Padepokan Seni Bagong Kussudardja (PSBK) gara gara kesengsem dan kesetrum kehidupan pesantren. Pak Bagong yang kristen sebelumnya ikut shooting film Al Kautsar, salah satu lokasinya di pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang.


Pak Bagong kepincut kehidupan komunal dan sistem pendidikan pesantren. Takjub dengan ketekunan santri, hangatnya relasi ustadz dan santri, tentu juga kyai dan kehidupan pondok pesantren. Akrab, guyub, penuh kesantunan dan kesahajaan. Terpesona denga pemandangan yang elok dan langka, pak Bagong mbatin, pingin membuat “pesantren” seni, 70 persen praktik, 30 persen teori. Dan padepokan pesantren seninya Kiai Bagong melestarikan dan melahirkan seniman seniman handal sudah 42 tahun, diantaranya almarhum seniman Djaduk dan pak Butet Kertaredjasa.


Pondok pesantren punya ragam bentuk sistem yang sangat banyak, mungkin bisa ratusan model. Dari puluhan ribu pondok pesantren di Indonesia masing masing mempunyai strategi dan sistem yang berbeda beda.  Dari sekian banyak perbedaan pondok pesantren mempunyai satu persamaan yaitu dicirikan dengan adanya empat unsur Kyai, Santri, Masjid dan Asrama, kecuali pesantren online.


Para peneliti tentang pondok pesantren mengkalisifikasikan pondok pesantren berdasarkan model pendidikan kedalam 7 kategori : pesantren salaf klasik tradisional, pesantren modern, salafiyah modern, pesantren campuran (Mondok dan Kalong), pesantren takhassus, pesantren salafi, dan Boarding School bermodel pesantren.


Tradisi pendidikan Islam dalam bentuk pondok pesantren di Indonesia berumur 500 tahun lebih. Banyak pondok pesantren yang berusia diatas seratus tahun dan masih tetap bertahan. Pondok Modern tertua yang pernah ada diantaranya Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Pondok pesantren awal yang dikenal dalam sejarah diantaranya yang dikenal sebagai Langgar Bubrah di Jawa Tengah, Pondok Sunan Ampel di Surabaya yang sekarang bertransformasi menjadi pesantren di kawasan nDersemo, dan Pesantren Sunan Giri di Perbukitan Giri Kedaton Gresik yang menginspirasi lahirnya sistem pendidikan Islam Pangaji di wilayah Maluku  Kieraha (Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, sebagian Sulawesi dan sebagian Pilipina).


Apa yang mengilhami pendirian Padepokan Seni Bagong Kussudardja karena pesantren mempunyai tradisi pendidikan yang sangat kuat. Pendidikan yang dijalankan dengan kesungguhan, keikhlasan, tanggungjawab dan terlembagakan budaya pendidikan dengan nilai, mileu bersumber dari ajaran Islam. Pak Bagong hanya mengambil satu nilai dari sekian banyak nilai yang dipelihara di pondok pesantren. Kalau di pondok pesantren dari subuh sampai malam orang belajar agama, di padepokan dari subuh sampai malam : latihan seni, berpikir seni, mengolah dan berkarya seni.


Di Pondok Gontor misalnya mempunyai sistem pendidikan yang disebut sebagai Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI). Pendidikan setingkat SMP dan SMA yang dipersiapkan menjadi guru umat, pendidik bangsa. Sistem ini sudah diterapkan lebih dari 60 tahun, nyaris tanpa perubahan. Uniknya meskipun sudah tua kurikulumnya tetapi lulusannya tidak pernah ketinggalan zaman. 


Bukan berarti pondok tidak mengadopsi perubahan. Setiap kali perubahan kurikulum pendidikan setingkat SMP dan SMA yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia akan diadopsi, ternyata hasil kajian menunjukkan kurikulum dan buku daras KMI lebih relevan menjawab tantangan zaman. Misalnya dalam pelajaran bahasa Inggris, pernah ditawarkan buku ajar terbitan dalam negeri untuk menggantikan buku ajar terbitan oxford yang berusia lebih dari seabad, ternyata buku penggantinya tidak lebih baik. Kurikulum memang punya peran penting, namun yang lebih penting lagi sistem pendidikan yang dijalankan secara konsisten oleh para pendidiknya dengan budaya dan nilai pondok yang dipegang dengan kuat.


Di satu pondok Gontor saja, terdapat 450 guru yang mengajar 30 mata pelajaran, 100 kelas dan 4000 santri, yang harus dikelola dan dijadwalkan dengan rapi oleh Direktur KMI. Dua puluh orang staf KMI pada pagi buta, sebelum para santri mengganti sarung dengan celana panjang dan kemeja mereka sudah harus mengecek absensi, memeriksa kelas, menyediakan kelengkapan kelengkapan lain yang diperlukan Direktur. 


Kala mentari terbit, para guru telah berdasi rapi menyerbu dapur sebelum masuk ke kelas para staf KMI giliran melakukan tabkir, berdiri di sudut sudut pondok mengawasi santri yang menyemut berduyun duyun menuju kelas. Jam 7 tepat aktifitas pengajaran di kelas sudah dimulai tapi mereka terus bekerja: masuk kelas, menyiapkan rapat rapat, supervisi pelajaran kelas, mengkoordinasikan guru yunior, menyiapkan map map guru senior, memeriksa kelas, asrama rayon dan seterusnya.


Para staf KMI ini sibuk sepanjang waktu. Pada masa ujian pertengahan tahun atau akhir tahun bila di lembaga lain, pekerjaan lebih sedikit tapi bagi mereka itu waktu puncak kesibukan. Meskipun ada panitia ujian yang langsung disupervisi oleh Kyai dan Direktur KMI kesibukan mereka tetap tinggi. Mendamping para guru, menyelesaikan tugas tugas administratif berikutnya, mempersiapkan data prestasi santri untuk pengambilan kebijakan Direktur KMI, untuk penempatan santri di kampus kampus cabang, setelah kenaikan kelas ataukah di pertengahan tahun itu.


Ustadz Nasrullah Zarkasyi Allahu yarham menyebut mereka ini (staf KMI)  the real principal. Orang orang mengetahui dan sangat hapal dengan rinci tugas rutinnya, bekerja tanpa komando, dengan kesadaran dan keikhlasan tinggi. Ya betul. Mereka bekerja tanpa dibayar. Mereka lah nyawa KMI. Mereka bekerja tanpa imbalan jasa, tanpa gaji, tanpa fasilitas. Santri Gontor berhutang terima kasih kepada mereka. Sistem seperti ini tidak bisa berjalan baik hampir seratus tahun jika tidak dibangun berdasarkan nilai yang mendarah daging.


Pondok Gontor meletakkan keikhlasan sebagai nyawa penggerak inisiatif dan aktifitas pondok secara keseluruhan. Keberkahan itu timbul karena sistem dibangun dalam kerangka ibadah. Pengabdian dan kesungguhan memberikan pelayanan terbaik tidak berdasarkan materi yang diterima. Para staf yang bekerja fulltime, sepanjang waktu sepanjang tahun, bisa dikata sama sekali tidak digaji. Keikhlasan yang tinggi menimbulkan kecintaan pada tugas.


Dalam benak mereka suara lonceng pondok, lalu lalang para santri, gemuruh suara anak anak dari kelas yang mengulang pelajaran, waktu istirahat, atau berduyun duyun keluar dari kelas menuju berbagai rayon asrama santri, pemandangan yang melahirkan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Di usia muda, 20-25 tahun mereka sudah merasakan cinta dan kebahagiaan seorang guru. Guru yang berdedikasi pada santri dan menikmati pekerjaannya. Guru yang tidak pernah bosan melihat santri. Gaji menjadi tidak berarti, mengalahkan anugerah nikmat memberi. Mereka mendapat pelajaran hidup yang paling berharga dengan menjadi bagian dari penerapan nilai nilai pondok.


Itulah millieu pondok Gontor yang dijaga bertahun tahun dan menjadi etos, budaya kerja sejak pondok didirikan. Orang orang terlibat menjadi dinamis, aktif, penuh inisiatif dan bertanggungjawab, menjadi satu kesatuan sistem yang bergerak terus sepanjang waktu. Muncul kesadaran tinggi, tanggung jawab mengemban amanah masing masing dengan pengabdian total. 


Keunggulan seperti ini berbeda beda antar satu pondok dengan pondok lainnya. Setiap pondok mengembangkan nilai yang paling sesuai dengan tujuan pondok didirikan. Kekayaan khazanah yang membuat pendidikan Islam terus berjalan, agama terus terpeliharan. Pondok pesantren tidak akan pernah mati dan bahkan terus berkembang sebagai tulang punggung agama. Pondok pesantren menjadi benteng tanggu peradaban Islam dan kokohnya Republik Indonesia.


6 Oktober 2020

#148


Minggu, 04 Oktober 2020

Berkah Musibah : Menulis



Oleh Syaifuddin


Bunga tumbuh pada saat dahan kurus dan daun berguguran. Panas membuat bunga bougenvil menampilkan bunganya. Tanaman mampu mempersembahkan keindahan karena derita dan nestapa yang menimpanya. 


Mangga yang manis berbunga pada saat panas menyengat, buahnya segar karena kurang air. Sinar mentari yang terik diubahnya menjadi daya kehidupan, menghijaukan daun menebalkan dahan, menghasilkan buah yang banyak. Tetumbuhan mampu menyerap carbon dan polusi di udara, mengubahnya menjadi oksigen yang dihirup mahluk hidup lainnya.


Tanaman merica berbuah lebat pada saat panas mentari dan melemah pada saat udara teduh dan berlimpah hujan. Maka ketika panas sedang tinggi tingginya diberikan pupuk, sehingga semakin panas dan menyuburkan buahnya.


Alam memberi kita pelajaran kepada manusia. Sebuah kemampuan mengubah apa yang buruk buat manusia, adalah media untuk produktif. Tempaan adalah stimulus untuk menghasilkan. Ujian adalah cara menaikkan level. Kemudahan lahir dari kesulitan.


Pandemi yang hadir dalam tujuh bulan terakhir, terlepas dari apa penyebabnya, menjadi ujian bersama. Semua terpengaruh. Sudah ratusan ribu korban meninggal, jutaan menusia terinfeksi. Pendidikan terganggu. Sekolah sekolah tutup, universitas sunyi. Kantor kantor dan pabrik beroperasi sebagian. Ekonomi terpengaruh. Resesi mulai menyapa negara negara, satu demi satu. Depresi ekonomi sudah di depan mata. Resesi itu bila tetanggamu kehilangan pekerjaan, depresi itu jika kamu juga mulai kehilangan pekerjaan.


Dampak negatif pandemi semakin banyak bila kita kupas. Tapi tidak akan mengubah apapun. Seperti tumbuhan yang merespon dengan tepat kondisi alam yang menimpanya. Kering kerontang dan sengatan panas matahari tidak membuatnya mati, tapi melahirkan kreasi. Ujian menjadikan manusia berubah lebih baik.


Banyak produktifitas menulis lahir di masa pandemi ini. Tidak sedikit Covid-19 melahirkan banyak artikel ilmiah. Ada ratusan artikel scopus bertema pandemi. Tidak saja dari bidang kesehatan tapi multidisiplin. Banyak buku berterbitan, edisi cetak maupun digital. Jutaan orang tergerak untuk menulis. Pandemi memberikan iklim yang kondusif bagi manusia untuk menulis. Manusia hidup dalam ancaman hawatir dan takut, tapi kemajuan teknologi yang diperoleh manusia masih memungkinkan untuk menulis. Dalam 75 tahun terahir kita tidak bertemu dengan perang dunia, pandemi ini dampaknya lebih dirasakan daripada perang dunia.


Guru guru menulis tergerak untuk membuka kursus kursus menulis. Ada yang berbayar mahal, karena membidik sasaran penulis dengan tingkat kemampuan tinggi. Ada yang berbayar sedang, karena bertujuan menggerakkan sebanyak mungkin penulis. Berbayar dengan tujuan supaya serius mengikuti ste demi step kepenulisan. Dan tidak sedikit guru guru yang membimbing dan mendampingi proses menulis secara gratisan. Semuanya bertujuan menggerakkan kemampuan menulis masyarakat. Sebab menulis mempunyai multi manfaat, keterampilan menulis berguna dalam semua bidang kehidupan.


Semua orang dapat menulis, tergantung kemauan. Setiap orang dapat menulis setiap hari, asal konsisten dan mampu menjaga minat atau spirit. Supaya semangat menulis selalu terjaga, diperlukan kelompok yang bisa saling menolong. Mengingatkan, mengoreksi dan menjaga supaya gelora menulis tetap terpelihara. Sepertinya sederhana, kelompok penting untuk menjaga minat dan tujuan menulis dapat tercapai. 


Menulis itu pertarungan dalam diri sendiri, mengorganisirnya untuk dituangkan dalam bahasa simbol yang mudah dipahami oleh orang lain. Tulisan yang baik dan diproduksi secara terus menerus memerlukan energi besar. Dengan berkelompok energi itu dapat terus dipelihara. Grup penulis membuat optimal menggali potensi menulis, sebab jalan sendiri terlalu sepi, kecuali bagi yang sudah terlatih.


Kebanggan tersendiri dan menjadi kebahagiaan, bila tulisan menggerakkan meskipun hanya satu orang. Seorang pembaca yang puluhan tahun tidak pernah menulis buku, ahirnya menerbitkan buku, karena selalu membaca tulisan di blog dan melihat buku yang saya terbitkan. Dampak positifnya terus mempengaruhi, sehingga dia terus menulis lagi dan merencanakan menerbitkan satu buku berikutnya dalam waktu dekat. Menurutnya menerbitkan karya buku mempunyai kenikmatan dan menaikkan kepercayaan diri. 


Sama seperti yang kita alami. Tergerak menulis karena terpengaruh oleh orang lain. Untuk terus menjaga spirit dan konsistensi menulis diperlukan kesungguhan. Kesungguhan hanya bisa ditumbuhkan dan dijaga dalam diri masing masing. Keteguhan itu lahir dari kesiapan meminggirkan hambatan dan rintangan. Pada awalnya menulis itu tidak punya konsekuensi apapun. Menulis tidak mendapat ganjaran, berhenti menulis tidak ada sangsi. 


Seperti apa yang sudah dilakukan oleh tetumbuhan dalam merespon panas dan polusi dan hal hal negatif yang hadir, manusia juga harus lebih positif dalam menghadapi pandemi. Dengan akal dan budi yang dianugerahkan kepada manusia beriman, seyogyanya pandemi menghasilkan buah terbaik yang dapat kita hasilkan.


4 Oktober 2020

#147


Kamis, 01 Oktober 2020

Riset Terbaru Bank Syari’ah

 

Oleh Syaifuddin



Meskipun pertumbuhan bank syari’ah di Indonesia cukup pesat dan mengalahkan pertumbuhan bank konvensional , dalam hal jumlah asset dan nasabah bank syari’ah masih kalah dengan bank konvensional. Lima persen bank syari’ah sembilan puluh lima persen konvensional, perbandingannya 1:19. Tak heran jika ke mana mana lebih mudah ketemu bank yang tanpa syari’ah. Lebih mudah ketemu masjid daripada bank syari’ah. Fasilitas ibadah sangat mudah ditemui, fasilitas muamalah kurang. Dapat juga ditarik pada konklusi, potret keberagamaan masyarakat kita, kuat di ibadah individual, tapi lemah di ibadah sosial.


Secara internasional, belum ada data yang cuku valid perbandingan bank Islam dengan bank konvensional. Secara global bank syari’ah punya banyak keunggulan dibandingkan bank konvensional. Keunggulan yang dimiliki tidak hanya di negara yang mayoritas muslim saja, tetapi juga di negara yang minoritas muslim, misalnya Amerika, Inggris, Singapura, India dan Australia.


Keunggulan bank syari’ah dalam riset riset kekinian antara lain :


KEUNGGULAN EFISIENSI. Dalam hal efisiensi bersih bank syari’ah lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Efisiensi bersih artinya kemampuan bank syari’ah menghemat pengeluaran bersih. Pengeluaran bersih adalah pengeluaran setelah dipotong oleh biaya operasional, pajak, zakat dan seterusnya. Bank syari’ah lebih unggul diaspek afisiensi bersih karena kapabilitas manajer bank bank syari’ah sangat bagus.


Dalam hal efisiensi jenis bank syari’ah lebih rendah dibandingkan bank konvensional. Ketiadaan standar baku dan banyaknya produk keuangan yang dibuat oleh bank syari’ah membuatnya tidak efisien. Di bank konvensional untuk semua jenis produk keuangan bank akadnya kredit/pinjam, yang membedakan tingkat bunga antar produk, tergantung jangka waktu dan risiko. Untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan, konsumtif, maritim, kelautan, usaha kecil, pertambangan dan ratusan produk keuangan perbankan konvensional semuanya pakai satu akad, kredit. (Jill Johnes : 2014)


Di Bank syari’ah untuk kredit perumahan misalnya bisa menggunakan akad bay’ al-murabahah, dapat juga menggunakan bay’ al-istishna’, bisa pulamenggunakan multi jasa. Satu jenis pembiayaan di beberapa bank bisa menggunakan bermacam akad. Belum lagi antar negara yang berbeda mazhab fiqhnya. Mazhab fiqh syi’i dengan sunni ragam mazhabnya juga beda lagi. Maka bila terjadi transaksi antar bank Islam antar negara dengan akad produk yang berbeda, akan terjadi kesulitan. Maka pada aspek ini bank syari’ah tidak efisien. Tetapi di aspek kemudahan, saling menguntungkan dan seterusnya di aspek akad lebih menarik minat bank syari’ah dibandingkan bank konvensional.


Pada efisiensi bruto, bank syari’ah dengan bank konvensional, posisinya imbang. Sama efisiennya atau sama sama kurang efisiennya tergantung pada regulasi setiap negara. Kesimpulan hasil riset yang bersifat general dan di puluhan negara, harus dilihat lagi dalam aspek mikro bank, sehingga bank syari’ah mempunyai keunggulan dan terus mempertahankan keunggulan, untuk menarik minat konsumen.


KEUNGGULAN RASIO KEUANGAN. Pada periode yang agak panjang pernak dilakukan penelitian pada ratusan laporan keuangan bank syari’ah dan konvensional secara proporsional di berbagai negara. Bank syari’ah unggul semua di profitabilitas, likuiditas dan tingkat keuntungan investasi.


Profitabilitas adalah kemampuan bank memperoleh keuntungan. Usaha bank syari’ah secara umum di negara manapun, pada periode pengamatan rata rata lebih untung bisnisnya dibandingkan bank konvensional.


Likuiditas adalah rasio keuangan bank yang menunjukkan kecukupan uang tunai. Pada masa masa tertentu penarikan uang di bank tinggi, misalnya pada saat hari raya keagamaan, tahun ajaran baru dan even even lainnya. Pada saat normal bank punya kecukupan dana rata rata yang siap ditarik atau dipindahbukukan ke bank lain, dihitung berdasarkan pengalaman pengalaman sebelumnya. Dalam hal ketersediaan dana ini bank syari’ah lebih unggul dibandingkan bank konvensional. (Asma Salman:2018)


Return of investment adalah kemampuan bank untuk memberikan keuntungan kepada para investor. Sebagai contoh, regulasi perbankan di Indonesia, jumlah modal bank rata rata di bawah 15% seluruh dana yang dikelola. Lebih banyak dana pihak lain daripada dana bank sendiri. Salah satu penyumbangnya adalah investor. Investor lebih nyaman berinvestasi di bank syari’ah, karena tingkat pengembaliannya lebih menguntungkan. 


KEUNGGULAN DALAM MEMPENGARUHI. Di negara yang menggunakan perbankan dengan dua sistem, yaitu regulasi bank syari’ah dan regulasi bank konvensional diatur berbeda, maka bank syari’ah yang mempengaruhi tingkat penetapan bunga yang berlaku di bank konvensional. Negara yang menggunakan dual sistem banking ini misalnya Indonesia, Malaysia, Kerajaan Saudi Arabia, Republik Iran dan beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim lainnya.


Uniknya tingkat suku bunga yang digunakan oleh bank konvensional tidak berpengaruh terhadap penetapan bagi hasil yang digunakan oleh bank bank syari’ah yang ada di negara negara tersebut.

Nisabah bagi hasil sebuah bank syari’ah dipengaruhi oleh bank syari’ah lainnya.


Bila bank konvensional pemimpin pasar mempunyai asset yang besar dan memberikan kredit dalam jumlah besar kepada nasabah yang banyak, maka dia yang akan mengendalikan bunga pasar, meskipun bank sentral sudah menetapkan tingkat suku bunga. (Celline Meslier : 2017)


Karena inilah usulan menteri BUMN untuk menyatukan beberapa bank syari’ah milik pemerintah, dengan cara merger. Bank syari’ah yang besar dan kuat dengan asset besar dan nasabah banyak tidak mudah didikte oleh bank konvensional. Dengan kekuatan bank syari’ah mekanisme pasar dan pergerakan ekonomi ditentukan oleh ekonomi sektor riel. Tapi kalau bank konvensional pengendali tingkat suku bunga pasar, maka ekonomi gelembung yang terjadi di masyarakat, yang sangat rentan dengan krisis moneter dan krisis ekonomi.


Referensi :

1. Jill Johnes, Marwan Izzeldin, Vasileios Pappas, A Comparison of Performance of Islamic and Conventional Banks 2004–2009, Journal of Economic Behavior & Organization Volume 103, Supplement, July 2014, Pages S93-S107

2. Asma Salman, , Huma Nawaz, Islamic Financial System and Conventional Banking: A Comparison, Arab Economic and Businnes Journal Volume 13, Issue 2 December 2018, Pages 155-167

3. Celine Meslier, Tastafiyan Risfandy, Amine Tarazi, Dual Market Competition and Deposit Rate Setting in Islamic and Conventional Banks, Economic Modelling, Volume 63, Juni 2017, 318-333

1 Oktober 2020

#146