Jumat, 23 Oktober 2020

Lingkungan Pembentuk Budaya Santri

 

Oleh Syaifuddin




Masih dalam spirit peringatan hari santri. Santri itu profesi seumur hidup. Sejak menjadi santri maka seumur hidup kita adalah santri. Seorang kyai pun adalah santri. Syaikhona Kholil, dari Bangkalan Madura adalah guru dan kyainya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Suatu ketika Kyai Hasyim sepulang dari Makkah, kyai Kholil segera mendatanginya untuk belajar ilmu ilmu hadith, kyai menjadi santri. Ketika keluar dari Majelis, keduanya berebut menyiapkan alas kaki gurunya, sebagai penghormatan. Sebab kedua Kyai merasa santri dari yang lainnya.

Santri itu menjadi lifestyle, gaya hidup. Clifford Geertz memilah masyarakat jawa dalam tiga kelompok, yaitu : santri, abangan dan priyayi. Santri menjadi subkultur tersendiri dengan pola hidup dan gaya tersendiri. 

Kemajuan zaman tidak melunturkan tradisi santri dan pesantren. Dia senantiasa mengalami evolusi, transformasi dan penyesuaian. Santri yang diidentikan oleh Clifford dengan nada minor,  “kethu miring”, “sarung nglinting” dan “gudiken” tidak lagi dapat kita jumpai sekarang. Harum, bersih, rapi, wangi, higienis menjadi tampilan santri masa kini. Goodlooking, smart, tangkas, santun, tawadhu’ adalah profil santri kekinian. Sesekali berdasi, berjas bersentuhan dengan teknologi informasi di laboratorium seakan menjadi gaya baru santri masa kini.

Santri menjadi kultur, menjadi budaya tidak berdiri sendiri dan tiba tiba saja muncul. Kultur santri memerlukan ekosistem kebudayaan dan tradisi yang berkembang dan menjalar pada masyarakat. Selalu berkembang dan acapkali menyusut dan bermigrasi.

Sepanjang yang saya ingat mulai kakek saya sudah terhubung dengan dunia ponpes. Mbah saya adalah santri. Tidak tahu persisnya di pesantren mana saja, tapi jaringan pertemanannya adalah santri dan ulama’ aswaja. Di masa menjelang revolusi kemerdekaan, para santri tidak hanya mondok di satu tempat. Untuk belajar Fiqh mondok di Lirboyo, belajar tasawuf mondok di Langitan, belajar hadith mondok di Tebuireng dan seterusnya. 

Mertua kakek saya seorang advokat yang tinggal di Surabaya, sehingga kerap berinteraksi  dengan pemerintahan hindia Belanda, dalam penyelesaian persoalan persoalan hukum kaum pribumi. Dalam masa revolusi kemerdekaan di seputar perang 10 Nopember, kakek pernah menjadi kurir Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, untuk berkoordinasi antar para pejuang kemerdekaan. Masa revolusi dan agresi militer Belanda yang membonceng sekutu, memaksa santri turun gelanggang, berada di medan laga. Hidungnya yang mancung dan kulitnya yang putih, dianggap dapat mengkamuflase tentara hindia Belanda, dapat bergerak antar tempat tanpa hawatir dicurigai.

Penyamarannya tidak selalu berhasil, sebagai komandan Hizbullah, kakek yang santri senantiasa diburu Belanda. Rumahnya yang di kampung kauman, 20 km dari kota Gresik, dekat jalan Dendles pesisir utara Jawa, sering disatroni Belanda. Di kakinya masih bersarang peluru oleh oleh santri dalam kontak fisik dengan tentara penjajah. Tembok rumahnya yang gosong karena dibumihanguskan oleh tentara Belanda, masih sempat saya saksikan pada dekade 80 an.

Selepas revolusi kemerdekaan tradisi mengirim putra putri kakek ke ponpes terus berlanjut. Anak pertamanya dikirim ke Liroboyo, Denanyar, Peterongan, berahir di Langitan. Putrinya dikirimkan ke pondok takhfid di Surabaya, kemudian dicarikan jodoh santri hafid dari Pasuruan. Ada yang dikirimkan ke ponpes terdekat atau dicarikan suami Kyai. Keterhubungan dengan dunia ponpes terus dipertahankan.

Jaringan kekerabatan dengan orang orang alim, dengan para santri terus dipertahankan. Biasanya berlanjut dengan jaringan dan silsilah ketarekatan.

Sampai generasi cucunya memondokkan atau mengirim ke ponpes tetap menjadi kebiasaan. Santri dan ponpes menjadi satu satunya jalur memberikan pendidikan terbaik untuk generasi penerus kaum santri, meskipun mengalami sedikit pergeseran dengan bergesernya formalisme pendidikan Islam di ponpes. 

Untuk menjaga keterhubungan jaringan pesantren tidak hanya berlangsung di Indonesia, tetapi diperluas hingga dunia internasional atau antar negara. Anak dan cucu kakek dijejaringkan dengan keulama’an dan dunia pendidikan Islam di beberapa negara (di Mesir, Saudi dan Yaman tidak menggunakan nama ponpes). Beberapa anak cucu kakek pergi nyantri ke al-Azhar di Mesir, ke Sayyid Maliki di Arab Saudi dan Tarim di Yaman

Perluasan pengaruh dan tradisi santri juga berlangsung melalui proses perkawinan. Abah membawa tradisi mengirim ke ponpes pada keluarga istrinya. Beberapa adik ipar diperkenalkan dengan pendidikan Islam dengan mengirimnya mondok di Langitan atau Sungilebak, ke ponpes ponpes yang bisa dijangkau. Untuk memperluas dan menjaga ketersambungan silsilah keilmuan. Selanjutnya akan berpengaruh pada lingkungan baru yang semakin terkoneksi dengan ponpes dan lahirlah santri santri baru.

Para santri ini di masyarakat kemudian menjadi tokoh agama, guru ngaji, mudin, tempat masyarakat memohon bimbingan dalam beragama. Tidak sedikit yang menjadi kyai, baik kyai yang mempunyai pesantren maupun kyai yang mengajar agama dari masjid ke masjid, dari musholah dan langgar. Lulusan ponpes mengajarkan kitab turats/kitab kuning di masyarakat secara langsung, terutama di bulan Ramadhan. 

Kita fatkhul wahab, fatkhul qarib, fatkhul mu’in dan kitab kita fiqh lainnya dibacakan secara tetap sampai tamat pada masjid masjid tertentu selama bulan puasa. Untuk yang ringan ringan aqidatul awam, sulam dan safinatunnajah. Di forum forum yang lebih spesifik diajarkan kita uquduljain. Itulah pekerjaan para santri yang utama selain sampingannya sebagai pebisnis atau pegawai. Atau yang sebaliknya. Tergantung pilihan para santri.

Tatkala pesantren telah mengalami transformasi bantuk dan strategi pengajaran, menyesuaikan tuntutan zaman, para cicit dari kakek saya tetap mempertahankan pilihan sebagai santri untuk mendapatkan pendidikan ilmu dunia dan akhiratnya. Ketika ponpes tidak hanya salaf, bahkan sudah menjadi ponpes kholaf dan ponpes modern tidak menyurutkan minat calon calon santri dari generasi keempat mempertahankan statusnya sebagai santri.

Ponpes dan santri dapat terus lestari dan bahkan berkembang, karena tradisi ini ditopang oleh sebagian besar keluarga dan masyarakat yang menjaga keberlangsungan agama. Ponpes menjadi subkultur yang membuat Islam menjadi praktik dalam kehidupan sehari hari masyarakat muslim nusantara. Ponpeslah yang menjaga tafaquh fiddin. Eksistensi santri dan ponpes adalah eksistensi Islam. Selama masih ada santri syiar dan kemurnian berIslam akan tetap terjaga dan menjadi lifestyle Islam nusantara.


23 Oktober 2020

#152


Tidak ada komentar:

Posting Komentar