Kamis, 22 Oktober 2020

NU-Santri di Era New-Santri


 

Oleh Syaifuddin


Pondok pesantren (ponpes) telah hidup ratusan tahun dalam tradisi pendidikan Islam di nusantara. Usia ponpes dengan sendirinya hampir seusia Islam di nusantara ini. Dalam tradisi lisan dan tulis yang sempat kita dapatkan, pada masa Walisongo (Wali Sembilan) ponpes sudah eksis. Raden Ainul Yakin kecil, nama kecil Sunan Giri pernah nyantri di ponpesnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel di daerah Ampel Denta, Surabaya. 


Di masa kemudian Sunan Giri bertransformasi dari santri menjadi Kyai yang wali, sehingga diberi gelar Sunan. Ponpes Sunan Giri berada di ketinggian kota Gresik yang disebut sebagai Giri Kedaton. Santrinya berasal dari penjuru nusantara. Sultan Zainal Abidin Syah, raja muslim kedua dari Kesultanan Ternate pernah nyantri di Gresik.


Demikian pula seorang santri aswaja yang bertahan di pesisir Lamongan di daerah Paciran mendirikan ponpes di Sendang Duwur. Kelak di kemudian hari Kyainya bergelar Sunan Drajad, menjaga tradisi pendidikan Islam di pesisir utara pulau Jawa.


Bila penelitian Prof. Ayzumardi Azra berhasil memetakan jaringan ulama’ nusantara, maka sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa sejak masa lampau para ulama’ sudah berjejaring. Kyai Hasyim membuat simpul jaringan ulama’ dalam jam’iyah NU, sesungguhnya melanjutkan tradisi keulamaan yang sudah dikerjakan pada masa masa sebelumnya.


KH. Hasyim Asy’ari mengkonsolidasikan kekuatan jaringan Kyai, ponpes dan santri dalam wadah NU untuk menghadapi tantangan zaman yang berubah. Awalnya adalah Ihtiar mengamankan praktik keagamaan aswaja yang mendapat rintangan pada permulaan abad 20 di wilayah pusat Islam oleh Raja Saud. Komite Hijaz yang ditunjuk untuk menghadap raja Saudi berhasil memperjuangkan aspirasi umat Islam nusantara. 


Tradisi keagamaan yang menjadi amaliyah sebagian besar muslim nusantara, sejak zaman para wali yang mengIslamkan tanah Jawa, terus dipelihara oleh ponpes ponpes di Jawa. Lembaga pendidikan Islam ini menjadi pusat intelektual sekaligus benteng tradisi ahlus sunnah waljama’ah yang disebut sebagai Islam Nusantara oleh Kyai Said. Islam nusantara bukan agama baru atau aliran baru, tetapi Islam yang khas nusantara yang dipraktikkan sejak masa Walisongo.


Islam yang sama dan menjadi praktik beragama yang bertahan hampir 5 abad di nusantara, kemudian oleh Kyai Hasyim Asy’ari diorganisir dalam wadah jam’iyah Nahdhatul Ulama’ (NU). Kyai kyai pengasuh jutaan murid pada ponpes ponpes berpaham ahlu sunnah waljama’ah an nahdhiyah yang melahirkan santri aswaja (NU santri).


Santri NU dari waktu ke waktu berhadapan dengan persoalan kemasyarakatan yang berbeda beda. Santri generasi milenial dan santri generasi Z (Gen-Z) berada pada suasana pendidikan yang berbeda. Dunia pendidikan Islam juga mengalam modernisasi. Fasilitas infrastruktur, kurikulum, manajemen ponpes dan ekosistem pendidikan Islam juga sudah berubah. 


Ponpes yang kholaf dan salaf pada masa menjelang kemerdekaan sudah mengalami transformasi bentuk yang beraneka ragam. Ada tujuh macam lebih bentuk ponpes. Dalam setengah abad terahir ponpes mengalami bentuk dan perubahan sistem dengan pesat. Maka santri tempo dulu berbeda dengan new santri. 


Undang undang nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren, memberikan tantangan dan peluang bagi NU santri dan New Santri. Pondok pesantren tidak lagi menginduk pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.


Dalam beberapa dekade ponpes mengalami tantangan, santrinya tidak dianggap oleh dunia kerja dan lembaga pendidikan formal. Akibatnya ratusan ribu ponpes mendirikan lembaga pendidikan formal di dalam pesantren : SD, SMP, SMA, SMK atau MI, MTs, MA. Supaya para santri dapat berkompetisi di sektor formal. Usaha ponpes memperkuat masa depan santri.


Usaha ponpes mempertahankan melahirkan ulama’, ihtiar ponpes menghasilkan santri yang tafaquh fiddin menghadapi tantangan berat sebelum UU nomor 18 tahun 2019. UU ini menaikkan ponpes mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai lembaga pendidikan formal dan non formal. Inilah peluangnya.


Untuk fungsi sebagai lembaga formal, mulai dasar sampai menengah berbentuk muadalah dan diniyah formal. Untuk pendidikan tinggi berbentuk ma’had aly, berjenjang dari S1, S2 sampai S3. Semua kurikulumnya fokus pada pendalaman agama dan berbasis kitab turats/kitab kuning. Untuk fungsi ponpes sebagai lembaga pendidikan non formal berbentuk pengajian kitab kuning saja.


Tantangan ponpes terletak pada komposisi fungsi ponpes menurut UU tersebut. Fungsi ponpes ada tiga yaitu fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Dari 55 pasal yang ada, 21 pasal berkaitan dengan fungsi pendidikan, 6 pasal berbicara tentang fungsi dakwah dan 3 pasal tentang pemberdayaan masyarakat.


Tantangan berikutnya bagi NU santri adalah mengembalikan kitab kuning sebagai jati diri ponpes. Sebelum tahun 1980 an muncul istilah yang sangat populer: Pesantren adalah kitab kuning dan kitab kuning adalah pesantren. Tantangan mengembalikan ke jati diri pesantren setelah terbawa arus ke pendidikan formal ala sistem pendidikan nasional.


Santri dan ponpes berada dalam dunia pendidikan Islam yang sangat dinamis, dengan tantangan yang cenderung keras. Momentum hari santri menyuguhkan peluang dan tantangan baru bagi NU Santri di era New Santri.



Ternate

22 Oktober 2020

#151


Tidak ada komentar:

Posting Komentar