Oleh Syaifuddin
Ada gejala perilaku ekonomi Islam warga Nahdhatul Ulama’ (NU) atau yang familiar dengan sebutan warga nahdhiyin. Njelimet sekali mungkin istilah yang saya gunakan, ada perilaku ekonomi ada perilaku ekonomi Islam. Untuk menyederhanakan pembahasan, yang saya maksudkan dengan perilaku ekonomi Islam adalah bagaimana warga nahdhiyin berhubungan dengan istilah istilah dan praktik ekonomi syari’ah, perbankan syari’ah, pasar modal syari’ah, bisnis syari’ah, mudharabah, musyarakah, bay’ almurabahah dan seterusnya.
Semula saya menangkap di permukaan, ada yang berbeda antara cara nahdhiyin di Ternate dan tempat lain, terutama di kota kota besar Jawa dalam mempraktikan ekonomi syariah. Setidaknya di kalangan menengah ke atas yang sangat dekat dengan terma, istilah dan praktik ekonomi syari’ah, seperti perbankan syari’ah, baytul mal wa tamwil. Sementara saya menyebutnya dengan perilaku ekonomi nahdhiyin perkotaan.
Islam berkemajuan masyarakatnya dulu disebut dengan masyarakat Islam perkotaan, sementara muslim tradisional dewasa ini mengidentifikasi sebagai Islam nusantara. Sejak kemunculannya di tahun 1990 an yang gegap gempita, berakrab ria dengan ekonomi syari’ah adalah muslim perkotaan. Muslim tradisional masih menjaga jarak, sembari mencari format respon yang paling tepat terhadap fenomena ini. Sementara nahdhiyin Ternate sudah familiar dengan ekonomi syari’ah sejajar dengan muslim perkotaan.
Dalam praktiknya, muslim perkotaan dengan nahdhiyin perkotaan amaliah beragamanya nyaris serupa. Tidak ada perbedaan yang fundmental. Cukup lama saya kesulitan membuat kesimpulan terhadap fenomena ini. Setelah munculnya fenomena Ustadz Abdus Shomad dan pergerakan FPI dari waktu ke waktu, saya mulai bisa membuat benang merah. Semakin jelas dengan teori amaliah, fikrah dan harokah untuk melihat perilaku nahdhiyin.
Waktu meneliti tentang perilaku konsumen nahdhiyin di perbankan syari’ah, saya kesulitan untuk mengidentifikasi responden dari segi amaliahnya. Semuanya mengamalkan sholawat, tahlil, manakib dan ziarah kubur. Sebagai pembeda supaya jelas responden saya, maka pengurus organisasi di lingkungan NU sebagai indikator lainnya.
Dan itu cukup efektif menjelaskan apa ciri uniknya perilaku konsumen nahdhiyin pada bank syari’ah di Ternate. Memberikan landasan argumen yang kuat, mengoreksi kesalahan saya menempatkan pengurus MUI sebagai responden, meskipun yang bersangkutan juga pengurus wilayah NU. Unsur nahdhiyinnya yang didahulukan, keulamaannya di MUI sebagai pendukung.
Gejala perilaku ekonomi Islam nahdhiyin perkotaan di Ternate tidak terlalu terlihat di masyarakat kota di Jawa. Sebenarnya berkembang, tetapi dalam kantong kantong yang terbatas. Program studi ekonomi syari’ah, di berbagai perguruan tinggi Islam yang memberikan andil berkembangnya praktik ekonomi syari’ah, yang terbatas itu misalnya dengan keberadaan BMT di Pondok Sidogiri dan BPRS di Salafiyah Syafi’iyah. Namun, secara umum konsumen atau nasabahnya masih masyarakat muslim perkotaan yang berkemajuan.
Mulai terlihat ada pergeseran gejala.
Dua rois syuriah NU KH. Sahal Mahfudh dan KH. Ma’ruf Amin adalah kontributor utama lahirnya fatwa fatwa keuangan syari’ah sebagai pedoman lembaga lembaga ekonomi syari’ah dapat tumbuh dan berkembang pesat seperti saat ini. Kedua tokoh ini memberikan pijakan “Islamic Yuris” yang kokoh dan bahkan tidak dimiliki oleh negara negara lain. Fatwa keuangan syari’ah nampaknya sederhana, tapi sesungguhnya itu yang paling utama dibutuhkan industri keuangan syari’ah dan ekonomi syari’ah.
Nah, jika di level tinggi tokoh tokoh NU berperan penting dalam membangun struktur ekonomi dan industri keuangan syari’ah, mengapa di level menengah sampai bawah terjadi anomali? Gejala nahdhiyin perkotaan dan teori amaliah, fikrah dan harakah bisa memberikan penjelasan, sekaligus seperangkat solusi untuk memperbaiki keadaan.
20 Oktober 2020
#149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar