Rabu, 22 Juli 2020

Keberagamaan



Corak keberagamaan masyarakat Maluku Utara ditentukan oleh transmisi para da’i dan mission.
Para peneliti dan penulis tentang corak beragama di Maluku Utara atau wilayah yang disebut sebagai kesatuan kebudayaan Maluku Kieraha belum banyak ditulis, atau bahkan bisa dibilang belum ada. Tulisan singkat ini mencoba menggunakan perspektif Danys Lombard dan kajian lain tentang lembaga pendidikan Islam seperti pangaji, madrasah dan pesantren di Maluku Utara.

Apa yang akan ditulis di bawah ini, baru pada tahapan permulaan untuk pengkajian lebih mendalam dengan basis teori dan metodologi yang lebih mapan. Sebagai pembaca biasa dan bukan orang yang menguasai metode sejarah tentu banyak kelemahan yang harus diperbaiki oleh para ahli. Tujuan awalnya adalah membuka kemungkinan membuat alternatif pandangan tentang proses pembentukan corak keIslaman masyarakat Maluku Utara.

Mengapa ini penting. Sebab Maluku Utara dengan penduduk muslim 70% berarti agama penduduk Maluku Utara lebih beragam. Islam bukan agama mayoritas mutlak. Kesediaan untuk hidup berbagi ruang, bertenggangrasa dengan perbedaan menjadi prasyarat penting menciptakab situasi yang damai dan harmoni. Sebagai wilayah yang pernah berada dalam situasi konflik berlatarbelakang agama, maka kerentanan itu juga perlu dieliminasi. Pemahaman yang lebih baik terhadap keberagamaan masyarakat Maluku Utara, memungkinkan untuk menciptakan situasi kondusif dalam jangka panjang dan permanen.

Pada beberapa bagian tulisan Danys Lombard dalam buku Nusa Jawa silang budaya, terutama di buku 2, seringkali disebut relasi penting antara pesantren Giri yang diasuh Raden Paku atau Sunan Giri (wafat 1506) dengan Maluku Utara. Hubungan pembinaan agama tidak hanya disebut dalam tulisan tulisan yang lebih baru oleh Adnan Amal, bahkan di sumber sumber yang lebih tua seperti karya Manusama atau Rikhlahnya Ibnu Batutah.

Pada karya Lombard juga dengan sangat meyakinkan dia susun argumentasi bahwa kata Jawi tidak selalu merujuk pada pulau Jawa, kadang pulau Sumatera dan kadang pulau penghasil Rempah. Ibnu Batutah seorang muslim traveler menulis dalam Rikhlahnya pulau Sumatera sebagai Usulul Jawi. Ini sekaligus memberikan ruang melihat hal hal yang selama ini tidak diketahui tentang Maluku Utara dengan menelusuri kata geografi Jawi sesuai dengan zamannya dan dalam konteks apa dia sedang digunakan.

Melihat eratnya hubungan Ternate-Giri yang didukung oleh banyak catatan naskah kuno, adanya kampung Falajawa dan berkembangnya lembaga pendidikan non formal pangaji sejak abad 16, maka dapat diduga corak keIslaman Giri sangat berpengaruh terhadap Islam di Maluku Utara. Dominannya pola pendidikan agama pangaji yang kemudian menyebar ke wilayah kesultanan Tidore, Jailolo dan Bacan menguatkan dugaan bahwa penyebaran Islam dan pembentukan corak keIslaman sangat dipengaruhi oleh eksistensi pangaji.

Konversi 4 kesultanan Maluku Kieraha dari kerajaan pagan ke Islam, dari kaicil ke sultan juga terjadi pada saat ujung abad 15, tatkala hubungan Ternate dan Giri sangat kuat. Sunan Giri selain seorang pimpinan keagamaan juga pimpinan pemerintahan raja yang berpusat di Giri Kedaton (Keraton Gunung) di kabupaten Gresik sekarang. Kerajaan Giri dilanjutkan dengan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram yang merupakan kerajaan Islam. Penamaan Giri dan Kie yang berarti gunung adalah bentuk persamaan lain yang layak untuk dikaji kaitannya.

Dengan relasi antar pemerintahan, maka kemitraan Ternate dan Giri tidak hanya mitra sesama masyarakat muslim tetapi juga aliansi politik. Hubungan politik dan agama pada masa masa tersebut sebenarnya juga membentuk jaringan kekerabatan dan keulamaan. Ini dapat dilihat dengan status Qadhi Abdullah Ibnu Abdussalam, tuan guru dari Tidore, ulama’ besar yang wafat di Captown merupakan keturunan Sayyid dari Cirebon.

Hubungan kekerabatan, relasi poltik, jaringan keilmuan inilah kaitan kaitan yang membentuk corak keberagamaan masyarakat Islam Maluku Utara. Mulai ahir abad abad 15 sampai dengan awal abad 20 corak keberagamaan masyarakat Maluku Utara mempunyai kesamaan dengan saudaranya di Jawa yaitu ahlus sunnah waljama’ah  ala Walisongo seperti corak keislaman Jawa Timur sampai Banten. 

Tentu saja tidak sama persis pada aspek aspek rinciannya, bentuk tahlilnya, istighasahnya dan aspek furu’iyah lainnya yang mengalami adaptasi dengan budaya lokal. Bentuk bentuk tarekat, hakekat, ma’rifat dan aspek kebatinan lainnya juga tumbuh dengan berbagai modifikasi dan adaptasi dengan budaya pra Islam. Ini juga memerlukan penyelidikan tersendiri yang memerlukan disiplin keilmuan yang beragam dan waktu penelitian yang panjang.

Lombard juga mempostulatkan suatu teori yang menjelaskan bahwa dinamika ilmu pengetahuan, sosial dan politik di wilayah wilayah yang kita sebut sebagai Indonesia diikat oleh kesamaan agama. Meskipun pengelana barat, Belanda, Portugal, Spanyol dan Inggris belum menguasai wilayah nusantara, para raja dan sultan yang muslim secara umum membangun kerjasama yang saling melindungi, walau sesekali terjadi sengketa diantara mereka.

Keeratan hubungan dengan agama dan mazhab yang sama memberikan keyakinan kepada kita bahwa Maluku Kieraha dan para raja di seantero nusantara membentuk kerjasama dalam pelbagai bidang. Dan karenanya corak besar keberagamaan/keberIslamannya mempunyai kesamaan. Terdapat sedikit perbedaan di variasi variasi kecil sesuai dengan ‘ijtihad’ kewilayahan dan akulturasi budaya.

Setelah berdirinya organisasi pergerakan yang episentrumnya di Jawa seperti Syarekat Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ maka Maluku Utara juga mendapat pengaruh. Masuknya Muhammadiyah di Maluku Utara dengan pendirian lembaga pendidikan di Halmahera Utara, Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan, menambah kekayaan corak Islam.

Setelah Indonesia merdeka kehadiran gerakan Alkhairat yang berpusat di Palu, Sulawesi Tengah juga memperkaya khazanah dunia pendidikan Islam dan pesantren di Maluku Utara. Organisasi Alkhairat memberikan penguatan pendidikan Islam lebih terorganisir di wilayah wilayah tertentu seperti Ternate, Bacan dan Halmahera Utara. 

Masuknya Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Tarbiyah, dan Jama’ah Tabligh menyemarakkan keberagamaan di Maluku Utara setelah reformasi.

Kelurahan Sangaji Ternate
22 Juli 2020

*) Naskah ini masih akan disempurnakan dengan referensi, data data yang lebih akurat dan teori yang lebih mendalam.
#73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar