Pangaji, madrasah, sekolah dan pondok pesantren, adalah model pendidikan Islam yang berkembang di Ternate dan Maluku Utara atau wilayah Maluku Kieraha. Pangaji sebagai metode pengajaran yang terlembagakan dan lestari hingga dewasa ini, tetapi perkembangannya tidak setransformatif dan progressif pondok pesantren, surau atau dayah di wilayah nusantara lainnya.
Pangaji merupakan lembaga pendidikan informal yang diinisiasi oleh sultan dan diselenggarakan di teras teras rumah serta masjid masjid sultan abad 15, masa berkuasa Sultan Zainal Abidin Syah. Pangaji dikelola oleh para Joguru (Imam). Pangaji bertahan dalam sistem pendidikan di Maluku Utara dan eksistensinya mulai menurun setelah berkembangnya madrasah dan sekolah.
Pangaji dalam rentang 1900-1942 pendidikan Islam di ternate mengalami transformasi yang cukup revolusioner seiring dengan pergerakan menuju Indonesia merdeka. Penting menjadi perhatian di momen revolusi kemerdekaan, pendidikan Islam di Ternate juga berjuang cukup kuat untuk menjaga eksistensi masyarakat Ternate dan kesultanan lainnya di Maluku Kieraha untuk menjadi negara sendiri atau berada dalam pangkuan Republik Indonesia.
Pangaji dalam proses awalnya adalah pengajaran mengaji, atau pengajaran agama Islam dalam bentuk yang sederhana, sebagai kelanjutan dari dakwah dan pembinaan umat Islam. Pangaji dikembangkan oleh Sultan Zainal Abidin sepulangnya dari studi banding sekaligus nyantri/mondok pada Sunan Giri, Gresik Jawa Timur pada tahun 1494. Meskipun pangaji tidak sama persis dengan pondok pesantren di Jawa Timur saat ini, karena pesantren di Jawa Timur juga sudah mengalami banyak sekali transformasi.
Pangaji pada dasarnya mengadopsi pengajaran dan dakwah pondok pesantren Sunan Giri. Kyai adalah pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur, maka di Ternate pengasuh pangaji adalah Joguru. Tingkatan Pangaji dibagi dalam dua level, di tingkat dasar diajarkan baca tulis al-Qur’an, sedang di tingkat lanjut diajarkan kitab kitab keagamaan. Model pangaji ini kemudian diadopsi dan diterapkan di kesultanan lainnya yaitu Bacan, Jailolo dan Tidore.
Joguru dari masa ke masa juga mengalami perubahan sesuai dengan besar kecilnya jumlah muridnya, lokasi wilayah dan seterusnya sama seperti Kyai di Jawa yang bermacam macam levelnya. Ada kyai khos, ada kyai kampung, ada kyai politik, ada kyai suwuk. Joguru dalam bahasa Ternate artinya guru mengaji sekaligus imam masjid. Peran dan fungsi Joguru sama dengan Kaleem (Qadhi), Imam, Khatib dan Moding, yaitu membantu pelaksanaan syari’at Islam di wilayah kesultanan.
Pangaji mengalami peminggiran sejak diterapkan politik etis Belanda pada awal abad 20 di nusantara. Program politik etis ketiga Belanda yaitu memperluas bidang pendidikan dan pengajaran. Dampaknya adalah masuknya pribumi ke dalam sekolah sekolah Belanda, sehingga mempengaruhi lanskape pendidikan nasional. Organisasi organisasi pergerakan seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah mendirikan sekolah sekolah formal untuk mempertahankan pendidikan Islam didapatkan oleh murid murid.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Ternate dan kesultanan lainnya, tapi juga terjadi hampir di seluruh wilayah nusantara. Organisasi Islam memodernisasi pendidikan Islam secara klasikal menyesuaikan pendidikan modern sekuler yang diterapkan Belanda. Beberapa pesantren modern, juga mengadopsi pendidikan modern ala Belanda seperti yang dilakukan oleh Pondok Gontor di Ponorogo. Sejak tahun 1930 an Gontor sudah menerapkan kurikulum dan pola yang menggabungkan kurikulum pondok salaf dan kurikulum sekolah sekuler. Dari cara berpakaian juga sama, menggunakan celana panjang, menggunakan jas dan dasi.
Yang membedakan dengan sekolah sekuler, pondok modern masih menggunakan sarung sebagai ciri pondok pesantren islam di nusantara. Tidak semua pesantren melakukan perubahan, yang lainnya masih mempertahankan tradisi pondok pesantren salaf. Snouck Horgonje, orientalis Belanda menyebut ciri ciri fisik para peserta didik lembaga pendidikan Islam, sarung ngelinting, peci miring, gudiken.
Politik etis Belanda memberi kesempatan untuk memperkenalkan sekolah modern kepada bumiputera. Alasan penting yang membuat sekolah modern diperjuangkan oleh Belanda : (1) upaya mempengaruhi penduduk dengan agama yang mereka bawa, (2) kebutuhan sekolah anak anak orang Belanda di negeri jajahan, (3) menyediakan SDM bumiputera yang lebih murah dibandingkan mendatangkan tenaga kerja dari Belanda. Pendidikan Belanda sangat diskriminatif dan tentu saja makin menimbulkan kecemburuan warga terjajah.
Awal abad 20 akibat perang dunia pertama konfigurasi politik dunia berubah, Pan Islamisme yang sedang memuncak di negara negara penduduk mayoritas muslim. Kesadaran berbangsa dan berdikari secara ekonomi membangkitkan organisasi organisasi pergerakan menuju Indonesia merdeka. Gairah pendidikan Islam di Ternate juga ikut meningkat, terpengaruh dengan pergerakan yang ada di Jawa maupun di negara negara lain yang terjajah. Pangaji yang tersisih oleh kehadiran sekolah sekolah modern Belanda, berbenah diri dan bertransformasi menjadi madrasah madrasah.
Semangat modernisasi pendidikan Islam di Ternate memberikan pengaruh positif dalam gerakan serupa di wilayah Weda, Sanana dan Halmahera Utara. Kehadiran organisasi organisasi pergerakan seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah membangkitkan pendirian madrasah dan sekolah modern berbasis agama. Kehadiran madrasah disambut hangat oleh penduduk bumiputera yang tersisih dari sekolah sekolah Belanda. Di Maluku Utara pada tahun 1930 an Muhammadiyah mendirikan Madrasah di wilayah wilayah tersebut.
Penelitian pendidikan Islam di Ternate dan Maluku Utara terutama eksistensi pangaji mulai abad 15 memang sangat kurang. Yang banyak ditulis adalah sejarah politik di wilayah wilayah Ternate dan sekitarnya. Yang bisa mengantarkan ke pengetahuan dan eksistensi Pangaji diantaranya : Tesis Hairudin Amir Pendidikan Kolonial di Maluku Utara tahun 1900-1942 lebih menelisik pendidikan sekuler atau pendidikan modern, sedangkan eksistensi lembaga pendidikan Islam tidak disinggung. Atau makalah Prof. A. Rasyid Asbah berjudul Pendidikan di Maluku Utara pada Masa Kesultanan Ternate, yang disampaikan dalam seminar internasional yang diselenggarakan IAIN (STAIN) Ternate 2012. Dan tesis Fifi Tentang Pangaji Madrasah dan Sekolah.
Referensi
1. Yusuf Abdurahman dkk, Ternate Bandar Jalus Sutera (Ternate: Lintas, 2005)
2. M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010)
3. Ayzumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999)
4. Ayzumardi Azra,Surau di Tengah Krisis: Pesantren Dalam Perspektif Masyarakat dalam M. Dawam editor), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Jakarta, P3M, 1985.
5. A. Rasyid Asbah Pendidikan di Maluku Utara pada Masa Kesultanan Ternate, seminar internasional IAIN (STAIN) Ternate 2012.
6.Fakhriati.Sejarah Sosial Kesultanan Ternate.Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010.
7. Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
8. Samsul, Nizar, dkk. Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
9. M. Tahir Sapsuha. Pendidikan Pascakonflik: Pendidikan Multikultural Berbasis Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara. Yogyakarta: Pt LkiS Printing Cemerlang, 2013.
10. Vifi Vebrina A. Perkembangan Pendidikan Islam di Ternate
1900-1942 UIN jogja tesis, 2019
#54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar