Rabu, 12 Agustus 2020

Menerobos Badai Moneter

 Oleh Syaifuddin

Dua tahun menjelang datangnya milenium kedua, Indonesia disinggahi krisis ekonomi. Tahun 1997 krisis moneter, secara liar membongkar fondasi ekonomi dan sistem perbankan Indonesia yang lemah mengakibatkan krisis ekonomi tak terkendali. Belenggu 32 tahun mendapatkan momentum untuk bergoyang, krisis politik mengarah pada satu tuntutan lengserkan rezim. Kerusuhan dan penjarahan, serta ketidakpuasan publik terhadap pemerintah, hanya memberikan dua pilihan revolusi atau reformasi. 

Mulai 1997 banyak bank bertumbangan, terkena badai likuidasi. Pemerintah terpaksa mengeluarkan ratusah trilliun Rupiah untuk obligasi rekapitulasi ke sebagian besar bank bank kakap. Sementara bank bank kecil mencari selamat sendiri sendiri karena tidak mendapat bantuan obligasi rekap. Salah satu bank kecil yang terengah engah tapi bisa selamat adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang baru berusia seumur jagung. Daud  yang hanya dengan senjata ketapel tanpa bantuan dana sepeserpun dari pemerintah dapat melawan raksasa Jalut badai ekonomi.

“The true syari’ah bank” dapat selamat disebabkan oleh nasib yang baik dan sistem yang baik. Sistem syari’ah yang dijadikan landasan operasional bank muamalat tidak termasuk sistem yang dilalui jalur krisis moneter. Kapitalisme sedang membersihkan sistemnya yang berisi gelembung ekonomi dan kepalsuan. Bentuk gelembungnya adalah spekulasi. Bank syari’ah bergerak di sektor riel, membuang spekulasi, sehingga tidak tertabrak langsung oleh badai krisis moneter yang melibas sebagian besar negara negara di Asia dan Asia Tenggara.

Saya menulis laporan tugas akhir tentang kemampuan bank mu’amalat bertahan dan bahkan tumbuh positif dana pihak ke-3 pada bank Muamalat Surabaya tahun 1998. Berdasarkan analisis laporan keuangan selama periode krisis yaitu 1996-1998 kami menyimpulkan bahwa kondisi keuangan bank syari’ah tumbuh dengan normal, terutama dana pihak ke-3. Non Performing Finance  (kredit macet) tidak kami teliti karena keterbatasan akses data, juga mempertimbangkan banyak bank dilikuidasi karena rush (nasabah menarik simpanannya secara massal). Bank lain banyak yang ambruk karena dana pihak ke-3nya kolaps, mengapa BMI stabil dan tetap naik. Inilah dasar paling pokok penelitian ahir kami disusun.

Sebenarnya apa yang dialami oleh BMI tidak sebagus yang terlihat di permukaan. BMI bisa melewati krisis betul, tetapi BMI tidak betul betul anti krisis atau kebal krisis. Bank syari’ah ini cukup terluka, karena rasio NPF nya 65,5% dari 479 milliar rupiah dana yang disalurkan untuk pembiayaan. Krisis ini juga menggerus dua pertiga modalnya sehingga tersisa 39 milliar rupiah saja, dan mengalami kerugian hingga 75,5 milliar.

Beruntung ada Islamic Development Bank (IDB). Bila bank konvensional diringkus (dilikuidasi)  atau ditalangi oleh negara, maka BMI mendapat pertolongan berupa suntikan dana segar dari IDB. Beruntungnya lagi, regulasi IDB membolehkan investasi di bank syari’ah. Karena pada periode berikutnya IDB dibatasi oleh regulasi mereka untuk tidak boleh memiliki saham di sebuah bank syari’ah lebih dari 20 persen.

Satu tahun setelah krisis modalnya sudah kembali ke angka 101, 4 milliar dan sepuluh tahun kemudian modalnya sudah mendekati 1 trilliun rupiah, tepatnya 966,18 milliar rupiah. Apa pelajaran yang dapat diambil dari kejadian melewati krisis pertama dalam kehidupan bank syari’ah, hususnya BMI?

Pertama, krisis ekonomi atau krisis keuangan selalu punya siklus untuk terulang dalam bentuk yang bermacam macam dan tidak terduga. Krisis ekonomi model 1998 yang besar itu terjadi pertama kalinya dialami Indonesia setelah merdeka tahun 1945. Tapi siklus krisis 10 tahunan nyaris terjadi terus menerus. Misalnya tahun 1988 juga terjadi krisis moneter yang melahirkan kebijakan Pakto 88. Karenanya siklus harus diantisipasi terutama dengan menjaga angka kecukupan modal dan rasio NPF yang sehat.

Kedua, krisis ekonomi dan krisis moneter umumnya tidak pandang bulu. Konvensional atau syari’ah dilibas semua. Walaupun akibat krisis yang paling terdampak adalah bank konvensional tetapi dalam sistem ekonomi yang saling berhubungan, maka setiap krisis akan berdampak sistemik. Apa yang terjadi di bank konvensional akan berpengaruh juga pada bank syari’ah. Jangan dihubung hubungkan, dengan menyimpulkan berarti dua sistem bank itu sama saja. Tidak disitu hubungannya.

Ketiga, beruntung pada saat krisis ada IDB yang mempunyai kesiapan modal untuk mendukung keberlanjutan BMI. Yang dibantupun hanya satu bank, tidak memerlukan dana talangan swasta yang cukup besar. Kalau kejadian serupa menimpa 12 bank umum syari’ah yang berkembang saat ini, bagaimana menutupi kebutuhan modal yang mungkin jumlahnya ribuan trilliun. Kecil kemungkinan terjadi krisis sebesar itu lagi, apalagi sudah ada LPS, lembaga penjamin simpanan, sehingga kemungkinanan seperti itu akan terulang misalnya kebutuhan modal bank syariah yang meningkat akibat suatu hal. Perlu pemikiran yang antisipatif, atau kerjasama antar bank syari’ah atau skema apa yang memungkinkan untuk mengatasi persoalan seperti ini. Jangan sampai antar bank syariah malah saling sikut saling makan.

Kehebatan BMI melewati krisis Indonesia di usia yang masih belia, 6 tahun, mendapat pujian Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”.”Ketika Indonesia mengalami krisis, Bank Muamalat mampu bertahan lebih baik dibandingkan bank bank umum, karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang akan membangkrutkan hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia.

Sangaji Ternate 

13 Agustus 2020

#95


2 komentar: