Oleh Syaifuddin
Hijrah adalah perjuangan. Hijrah bukan sekedar keluar dari negeri kufar menuju negeri Islam. Kalender Hijriah oleh Khalifah Umar dimulai pada tahun hijrah bukan pada tahun fathul Makkah supaya menjadi kesadaran kolektif umat Islam sepanjang masa. Tahun migrasi kaum muslimin adalah tahun perjuangan, sedangkan futuh Makkah adalah tahun kemenangan. Memilih spirit perjuangan sebagai penanda waktu untuk selalu mengingatkan bahwa di sepanjang hidup orang beriman adalah perjuangan. Perjuangan tidak pernah usai, berlangsung terus sepanjang masa sejak dimulai.
Spirit perjuangan sebagai semangat hijrah selaras dengan firman Allah dalam QS Al-Syarh:7 :
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain. Literasi, perjuangan meningkatkan pemahaman, ihtiar memperbaiki pemahaman umat adalah usaha yang tidak pernah mengenal titik ahir. Menulis tidak mengenal kita selesai, selama kehidupan manusia masih berlangsung. Selesai menulis hari ini akan berlanjut pada esok hari, bersambung pada masa lusa dan seterusnya, sambung menyambung. Selesai satu urusan dilanjutkan dengan urusan lain, selesai satu tulisan dilanjutkan dengan tulisan lain. Itulah spirit perjuangan, makna perjuangan, menulis adalah perjuangan tiada henti.
Mengambil pelajaran dari semangat hijrah yang berdekatan dengan peringatan kemerdekaan RI ke 75, keduanya diikat oleh kesamaan semangat, yaitu perjuangan. Bila kemerdekaan itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan, pengorbanan jiwa, darah, harta dan air mata, maka tahun baru hijriah memberi semangat bahwa perjuangan tidak pernah berhenti.
Umat Islam di awal membangun peradaban unggul, yang dimulai dari Nabi sampai Khulafa’ al Rasyidin tidak menggunakan fathul makkah (kebebasan Makkah/kemenangan Islam) sebagai penanda waktu dari peradaban Islam. Memberikan pesan kuat, bahwa peradaban Islam itu tidak dibangun oleh kemenangan demi kemenangan, atau pembebasan demi pembebasan. Islam akan terus menjadi pola hidup, gaya hidup, nafas hidup, menjadi rahmatan lil’alamin, bila terus diperjuangkan.
Seperti juga halnya menulis dan literasi, adalah perjuangan mengabarkan dan mencerahkan, tidak mengenal kata ahir. Menulis adalah menghubungkan dari satu titik ke titik lainnya. Mengabarkan kebaikan dari masa menuju masa berikutnya. Mengkristalkan pengetahuan, hikmah dan pengajaran dari waktu ke waktu, sehingga dapat dibaca, dipelajari dan diambil hikmahnya oleh orang di tempat dan di masa yang lain. Tanpa tulisan yang berfungsi sebagai pelestarian warisan pengetahuan dari masa ke masa, mungkin peradaban manusia sudah lama punah, atau berjalan di tempat.
Hijrah bukan lari dari masyakat kufur, karena di Madinah juga banyak ditemukan orang kufur. Hijrah tidak diartikan sebagai meninggalkan yang sulit menuju yang mudah, karena perjuangan di Madinah tidak kalah sulitnya dibandingkan Makkah. Hijrah adalah membuka peluang kebaikan, dari masyarakat yang kaku dan individual menuju masyarakat yang bermusyawarah dan bekerjasama. Keluar dari masyarakat yang keras menuju masyarakat yang lembut sebagaimana firman Allah Swt.:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS Ali Imran : 159
Hijrah adalah migrasi dari masyarakat yang tersegregasi kelas sosialnya menuju masyarakat yang egaliter. Madinah negeri hijrah, seiring waktu menjadi masyarakat madani, berperadaban, adil saling bekerjasama namun semangat hijrah tidak pernah padam.
Ketika Rasulullah masih hidup, sahabat bernama Mujasyi’ ibn Mas’ud menghadap kepada nabi untuk berbai’at hijrah. Beliau bersabda: “Hijrah sudah berlalu bersama orang orang yang telah melakukannya. Baitlah untuk Islam, jihad dan berbuat kebaikan. Sejak saat itu hijrah yang secara fisik telah bermetamarfosa menjadi hijrah spiritual. “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Makna hijrah dengan demikian tumbuh menjadi semangat perubahan, perubahan yang dilewati dengan perjuangan, usaha yang tiada henti, dilakukan dengan bersungguh sungguh. Setelah futuh Makkah, para ahli hikmah memaknai hijrah sebagai hijrah sughra (kecil) dan hijrah kubra (besar). Hijrah kecil adalah pindahnya tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain untuk tujuan perbaikan dan perubahan. Hijrah besar adalah hijrahnya jiwa manusia dari kebiasaan buruk yang selama ini terus dilakukan. Pemaknaan yang senafas dengan transisi dari jihad kecil kepada jihad besar.
Ibnu Ajibah sufi Maroko dalam kitab Iqazul Imam memaknai hijrah dalah tiga aras. Pertama, hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan. Kedua, hijrah dari negeri kealpaan menuju negeri kesadaran. Ketiga, dari negeri jasmani menuju negeri ruhani.
Sebagai bagian masyarakat yang hidup dalam jagat maya yang berkelimpahan informasi maka tugas kepenulisan menjadi lebih penting dan wajib. Orang orang jahat yang menguasai informasi, memutarbalikkan fakta, penulisa penulis berbayar yang menguasai jagat media baik mainstream maupun sosial adalah tantangan masa kini. Kalau orang orang baik tidak menulis, atau jarang menulis, atau malas menulis.
Apabila orang orang yang waras tidak menjadikan menulis sebagai jalan perjuangan, yang harus digelorakan setiap waktu. Maka dunia kita akan dikuasai fitnah, jagat media kita akan dipenuhi informasi sesat. Informasi sesat yang diulang ulang, diperkaya dan dipercanggih pada ahirnya dianggap sebagai kebenaran. Informasi benar, ilmu yang lurus akan tenggelam, terpinggirkan. Kebenaran akan menjadi aneh, menjadi asing, karena kurang disuarakan. Orang akan berpegang pada pendapat umum, walaupun pendapat umum itu salah, karena pendapat yang benar tidak bersuara, tulisan kebenaran tidak ada. Bila kesesatan menguasai dunia wacana, tulisan salah memenuhi benak publik dengan cahaya, maka itu adalah cahaya api yang akan memakan, membumihanguskan peradaban.
Maka jadikanlah momentum hijrah, menyadarkan, mengingatkan kembali hakekat perjuangan yang tidak boleh berhenti, tidak boleh usai. Kebebasan ditentukan waktunya, tapi perjuangan tidak mengenal usai. Teruslah berjuang, teruslah menulis.
Sangaji Ternate
20 Agustus 2020
#103
Jos. 103.
BalasHapusHehehe. Njenengan saget mawon
BalasHapusSubhanalloh, nderek ngaos.
BalasHapusMonggo gus Lukman, ngaji sekarang menalar dan mensyarah dari kitab kitab kehidupan. Melanjutkan dari ngaji klasikal👍
BalasHapus