Senin, 03 Agustus 2020

Masjid Level 109



Kembalinya Ayasofya menjadi masjid di Istanbul, setelah 86 tahun difungsikan sebagai musium, kita menyaksikan fakta yang jarang diketahui publik, tentang lanskap sosial sebuah masjid. Masjid di manapun tempatnya tidak pernah berdiri sendiri, seperti masjid raya yang banyak kita saksikan di tanah air, berhubungan dengan pasar, lembaga pendidikan, alun alun dan pusat pemerintahan. Demikian pula Ayasofya, masjid mempunyai konsep sebagai pusat peradaban, center of excellent.

Terlihat dalam peta lingkungan masjid dengan konsep Kulliye Utsmani. Masjid Ayasofya dikelilingi oleh hotel, pasar, ruang terbuka hijau, lima madrasah, rumah sakit, toilet umum, sahn, musoleum, kamar penjaga makam, pemandian umum, dapur umum dan fasilitas publik lainnya, yang dibiayai oleh dana wakaf. Meskipun hampir seabad dalam kepungan sekulerisme Turki, tapi lanskap itu tidak berubah sampai Ayasofya dikembalikan fungsinya sebagai masjid.

Masjid tidak bisa hanya dilihat fungsinya sebagai tempat ibadah. Di beberapa tempat fungsi masjid sebagaimana yang terjadi di masjid Ayasofya, terus berkembang menjadi pusat pengembangan peradaban. Banyak pondok pesantren, perguruan tinggi, pusat gerakan, lembaga pendidikan, riqwah, zawiyah, dayah dan pusat sosial keagamaan lainnya yang bermula dari masjid atau bahkan musholah. Masjid berfungsi sebagai pusat ibadah ritual sekaligus ibadah sosial. Masjid memainkan peran yang lebih besar lagi, memahami cara semesta beribadah kepada Allah (sains) dan gerakan ekonomi syariah seperti peran yang dilakukan oleh masjid Salman ITB atau masjid Jogokaryan di Jogjakarta.

Masjid dalam sejarahnya mempunyai fungsi yang vital dalam pertumbuhan masyarakat muslim. Masjid pada masa kini dan masa mendatangpun mencari format yang paling strategis menemani sejarah perkembangan umat Islam. Publik sudah familiar dengan kiprah Masjid Jogokaryan di Jogja atau Masjid Namira di Lamongan. Selayaknya masjid lain di seluruh tanah air belajar dari masjid masjid yang sudah berhasil.

Ada beberapa tawaran menarik bagaimana merevitalisasi fungsi masjid. Seorang aktivis masjid di Kalimantan mengusulkan masjid dikelola oleh CEO. Gagasan visioner ini mendapat tanggapan yang apatis dan apriori dari para pembaca. Untuk itu dia menjelaskan tentang masjid 100 paragraf.

Masjid yang melaksanakan fungsi dasar sebagai tempat pelaksanaan ibadah mahdhah, air wudhu dan toilet yang bersih. Shalat rawatib berjalan dengan tertib, khatib terjadwal dengan baik. Maka yang diperlukan masjid cukup, imam, muadhin dan petugas kebersihan. Biaya operasional didapat dari kencleng, dilaporkan secara tertib. Selesai. Dia menyebutnya sebagai masjid satu paragraf.

Masjid 100 paragraf yang dia maksudkan sebagai contoh adalah masjid Munzalan Mubarak Pontianak Kalimantan Barat. Masjid ini wakaf dari bapak Muhammad Nur Hasan. Wakafnya  berupa tanah beserta bangunan. Berdiri tahun 2012, dalam dua tahun sudah mampu membangun sistem organisasi manajemen masjid yang mapan. Masjid ini bergerak dalam empat bidang yaitu ibadah, sosial, pendidikan dan ekonomi.

Masjid menanggung kebutuhan beras pondok pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan secara gratis, atau dengan bayaran yang sangat murah. Pondok yang dibantu bukan sembarang pondok. Pondok yang berkomitmen kuat pada anak anak yang kurang mampu dengan menanggung seluruh biaya hidup selama di pondok pesantren. Kyai Lukmanul Hakim pengelola masjid berhasil meyalurkan 71 ton beras setiap bulan ke 126 pondok pesantren.

Masjid punya program bagi bagi hadiah untuk muslimah. Pembagian buah buahan, pembagian makanan, perbaikan infrastruktur pesantren dan santuanan para mubaligh. Belas milliar dana dihimpun dan disalurkan setiap bulannya. Banyak lagi wakaf langsung dari kegiatan kegiatan sosial yang dapat digerakkan oleh masjid Munzalan Mubarak.

Di bidang pendidikan masjid membiayai pendidikan TK, SD sampai SMP berasrama, sampai pondok pesantren yang dikelola oleh masjid. Memberikan beasiswa kepada para santri yang dikirim ke Gontor dan pondok pesantren lain. Penguatan pendidikan jaringan pengusaha ansor munzalan. Pembinaan organisasi santri se Indonesia. Sedang mempersiapkan pembangunan lembaga pendidikan terpadu mulai tingkat TK sampai program Doktor. Perencanan SDM dan lahan sudah siap.

Kegiatan ekonomi masjid Munzalan Mubarak lebih semarak lagi. Beberapa unit ekonomi digerakkan seperti munzalan mart, pabrik roti, munzalan store, munzalan studio, reparasi AC, perdagangan, distributor produk halal, investasi syirkah produktif dan lain sebagainya. Keuntungan tijarah ini yang sebagian besar dialokasika untuk pengembangan sumber daya insani santri maupun kegiatan ibadah, sosial, dan pendidikan di atas.

Masuk akal bila masjid dengan 100 program, 100 gagasan, 100 paragraf  seperti masjid Munzalan Mubarak sebaiknya dikelola oleh profesional, CEO yang mumpuni dan menguasai manajemen yang multiaspek. Bukan hanya penguasaan ilmu ilmu keagamaan atau manajemen masjid yang tradisional, tetapi juga mumpuni dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan sehingga mampu mengembalikan fungsi masjid sebagaimana zaman keemasan Islam.

Indonesia mempunyai jumlah masjid terbanyak di seluruh dunia, 800 ribu masjid. Jumlah yang luar biasa. Bila masjid masjid tersebut walaupun tidak keseluruhan, tapi bertransformasi menuju masjid 10 paraggraf, masjid 20 paragraf, masjid, 50 paragraf, masjid 100 paragraf atau bahkan masjid 1000 paragraf, maka kontribusinya terhadap pembangunan peradaban yang unggul akan tercapai.

Mari kita optimalkan masjid dalam fungsi sosialnya, sebab ibadah mempunyai dimensi yang luas. Tidak hanya dimensi ritual saja, tetapi juga dimensi sosial. 

Dufa Dufa Ternate 
4 Agustus 2020
#86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar