Senin, 17 Agustus 2020

100 Hari Non Stop

 Oleh Syaifuddin


Menulis setiap hari mudah atau sulit? Sebelum mempraktikkan menulis sendiri, membayangkan para wartawan, jurnalis, kolumnis dan ilmuwan yang menulis secara rutin setiap hari selama bertahun tahun, sesuatu yang mustahil. Membayangkan saja sudah stress. Melihat kesibukan yang luar biasa para wartawan cetak yang mengejar deadline jam sepuluh malam di Graha Pena, kantor redaksi Jawa Pos rasanya ngilu. Pagi sampai sore menghimpun informasi sore menulis dan mengirimkan ke redaktur. Bersiap siaga sampai berita naik cetak, mengulang demikian seterusnya setiap hari. Betapa tidak nyamannya hidup dalam tekanan deadline menulis setiap hari. Itu bayangan saya.

Di media sosial juga demikian. Saya membaca tulisan yang hadir setiap pagi di beranda selama bertahun tahun. Bayangan kesulitan yang muncul di benak saya. Kapan mengumpulkan bahan, kapan menganalisanya. Sedemikian kuat stamina membaca, berpikir dan menulis. Mengagumkan. Beberapa tahun terahir saya membaca tulisan pak Dahlan Iskan di Disway yang nyaris tanpa jeda, dengan tulisan tulisan bernas, ditengah kondisi penulis yang sudah pernah operasi besar, dengan ‘hati’ cangkokan. Itu berlangsung setiap hari dan berlangsung bertahun tahun dengan ajeg. Ajeg kualitas, ajeg waktu dan ajeg terbit.

Siapapun dengan kesungguhan mungkin bisa menempuh langkah yang sama. Perlu jam terbang, perlu lebih banyak belajar, perlu keteguhan hati. Untuk itu saya mencoba dalam beberapa hari ini untuk menulis setiap hari. Saya niatkan untuk belajar, saya niatkan untuk mencari ilmu, memberi manfaat. Ihtiar memperbaiki diri, mempraktikkan ilmu yang sudah dipelajari bertahun tahun mulai dari sekolah dasar sampai sekolah atap.

Ketimbang mengagumi karya orang lain dan membayangkan kesulitan dan kemustahilan yang dikerjakan oleh orang orang hebat lainnya, mengapa saya tidak melakukan eksperimen terhadap diri saya sendiri. Ada banyak sekali manfaat dan kebaikan yang saya rasakan dengan menulis setiap hari. Seperti para ‘Salikin” yang melakukan perjalanan spiritual untuk mencari kebenaran dan mencari kesejatian, perjalanan saya masih pendek. Seperti ujaran ‘konsistensi lebih utama daripada keramat’ “al istiqamah afdhalu min alfu al karomah “  maka saya mulai perjalanan keajegan menulis. Ada banyak hikmah yang saya dapat, banyak manfaat yang saya rasakan. Dalam kesempatan ini ada sepuluh kebaikan yang saya dapatkan dengan menulis setiap hari.

Pertama, tanpa jeda membuat menulis lebih ringan. Karena biasanya yang membuat menulis berat itu terjadi pada saat memulai. Kalau tulisan ini yang ke 100, kesulitannya terjadi pada seratus hari yang lalu. Pada saat memulai menulis. Jangan menulis dengan jeda justru saya dapatkan dari kawan kawan yang tidak menjalankan resepnya sendiri. Jeda yang terlalu lama akan membuat jurang semakin dalam dan membuat semakin berat untuk melompat. Makin pendek jeda makin ringan. Kalau tanpa jeda tidak ada beban.

Menulis setiap hari, sebenarnya ditujukan untuk menghilangkan jeda. Karena jeda ini seperti tembok penghalang, makin lama makin tinggi semakin sulit untuk melompati. Dengan meniadakan penghalang, menghilangkan jeda maka menulis akan mengalir terus. Bukan berarti tidak ada hambatan dan rintangan lain, tapi dengan menulis setiap hari halangan jeda tidak ada. Biasanya setelah jeda lama, kesulitan menulis seperti memulai dari awal lagi. Akan berangsur angsur menghilang hambatan menulis itu seiring dengan kebiasaan menulis yang kita lakukan.

Kedua, biasanya orang menulis ditentukan oleh mood. Kalau mood lagi baik, ingin menulis terus, sebanyak banyaknya. Bila tidak ada mood tidak ada hasrat untuk menulis. Baik kalau mood itu rutin datang seminggu sekali atau tiga hari sekali, tapi kalau menunggu sampai beberapa bulan atau beberapa tahun, betapa negatifnya ketergantungan kita pada mood.

Tapi kalau setiap hari kita menulis secara konsisten dan terus menerus, seperti orang yang berkendara di jalan tol dengan kecepatan konstan, tidak perlu energi tambahan untuk ngerem atau ngegas. Mood bagi orang yang menulis secara tetap terjadwal dan konsisten hanya menaik dan menurunkan kualitas tulisan saja. Tidak sampai menghentikan yang bersangkutan untuk berhenti. Mood jika itu benar mempengaruhi minat untuk menulis, sesungguhnya bisa dikondisikan. Bila didukung fasilitas yang memadahi, bahan tulisan yang cukup, kondisi kesehatan yang prima mood bisa diundang.

Bagi saya mood tidak menghentikan saya untuk menulis. Mood berpengaruh terhadap kecepatan menulis, berpengaruh terhadap kualitas tulisan. Selama syarat syarat yang diperlukan untuk menulis terpenuhi, maka pengaruh mood itu kecil sekali dan nyaris tidak ada. Kerapkali masalah atau kegelisahan kita terhadap situasi membuat menulis saya menjadi lancar.

Ketiga, kecepatan menuangkan gagasan dalam rangkaian tulisan mengalami percepatan secara gradual. Di minggu pertama perlu 60 menit untuk mengerjakan 600 karakter, maka tiap minggu makin cepat dan semakin cepat. Sekarang sudah memerlukan waktu rata rata 30 menit dengan jumlah karakter sekitar 700 an. Keterampilan terbentuk sesuai dengan jam terbang dan frekuensi latihan.

Seperti halnya keterampilan lainnya yang dikuasai oleh mahluk berakal, semakin sering dilatih semakin terampil. Keterampilan muncul akibat pengulangan yang konstan. Pikiran manusia juga mempunyai gerakan dan kecepatan. Kalau gerakan dan kecepatan itu dilatih maka otak kita menjadi terbiasa. Jenis tulisan itu ditentukan oleh ragam informasi, tapi prosedur dan sistematika kerja otak kita sudah menyesuaikan dengan standar logis karya tulis yang kita injeksikan ke dalam pikiran.

Lazimnya sebuah kebiasaan, menulispun mengikuti hukum kebiasaan. Kebiasaan menulis yang dilakukan setiap hari pada ahirnya membuat kerja otak kita berlangsung secara reflek, atau seperti otomatis. Sebelum kita menguasai keterampilan nyetir mobil, pikiran dan indera kita harus fokus dan koordinasi antara setir, gas, kopling, pindah gigi dan rem. Secara teori ruwet. Tapi kalau sudah terampil sudah biasa. Untuk belok pun tidak perlu mikir lagi, mata, kaki dan tangan reflek bergerak menyesuikan dengan kebiasaan yang dilakukan ketiga indera tersebut.

Keempat, keajaiban penguasaan bahan tulisan. Dengan menulis setiap hari, maka tantangan untuk mencari berbagai informasi yang relevan dengan tulisan frekuensinya semakin sering. Mengumpulkan bahan melalui membaca menjadi keniscayaan. Keterampilan mengumpulkan dan mengolah bacaan dengan sendirinya meningkat seiring dengan kecepatan menulis. Dalam proses mengumpulkan bahan bacaan penulis akan terpapar dengan beragam tulisan, maka secara tidak sadar tabungan pengetahuan akan meluas dan mendalam. 

Hakekatnya tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri, secara natural ilmu pengetahuan terbentuk secara interkoneksi antar satu dengan lainnya. Tidak ada disiplin ilmu yang berdiri sendiri tanpa dipengaruhi atau mempengaruhi disiplin ilmu. Bangunan ilmu diumpamakan bagai sebuah pohon, masing masing punya fungsi dan saling terhubung. Ada yang berfungsi sebagai akar, daun, batang, cabang, ranting, bunga dan buah. Manfaat menulis harian membuat kita lebih sering terpapar dengan banyak informasi dan pengetahuan baik yang terkait langsung atau yang terkait tidak langsung.

Kelima, kemampuan meningkatkan cara mengorganisir sumber informasi untuk menulis. Manusia adalah pembelajar yang baik. Ketika dihadapkan pada kesulitan, otak manusia mencari solusi. Satu kesulitan menghasilkan banyak jalan keluar. Dengan menulis harian kemampuan mengelola sumber informasi berkembang secara efektif. Metode metode pengumpulan dan pengelolaan informasi kerap kali tumbuh dan berkembang berdasarkan pengalaman. 

Ada sementara penulis mengumpulkan dan mensistematisir berbagai sumber referensi sebagai kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung dalam file file yang terorganisir, sehingga ketika kebutuhan untuk mengorganisir kunci kunci informasi itu secara induktif dapat dilakukan secara efektif. Tidak perlu harus menelusuri semua sumber informasi yang mungkin perlu waktu ribuan jam. Dengan cara seperti ini mengorganisir informasi untuk menulis menjadi sangat mudah dan cepat.

Saya memodifikasi berbagai metode pengorganisir informasi disesuaikan dengan kebutuhan jenis karya tulis. Untuk tulisan sederhana, informasinya diorganisir dari beberapa perkembangan terkini dari topik tersebut yang saya kumpulkan dari media media kredibel di internet. Untuk tulisan yang lebih berat dengan standar ilmiah yang lebih rigid, mau tidak mau harus mengumpulkan sumber informasi dari terbitan jurnal ilmiah yang terindeks dan kredibel.

Keenam, lebih mudah menyingkirkan hambatan menulis. Banyak hal yang menggoda pada saat sudah menetapkan diri untuk menulis di waktu, tempat dan media yang sama. Godaan tidak selalu buruk, tapi tidak baik untuk keberlangsungan menulis tertib dan konsisten. Tergoda beralih ke judul baru yang lebih menarik, sehingga kehilangan fokus, tulisan tidak tuntas. Godaan membaca dan menelusuri terus informasi baru di waktu seharusnya menulis. Tiba tiba lebih tertarik mengerjakan tulisan lain, melalaikan kewajiban menulis yang sudah kita tetapkan. 

Tergoda untuk menulis lebih baik dengan standar penulis beken yang sudah menulis puluhan tahun, ribuan artikel seperti Goenawan Muhammad, Dahlan Iskan, Asma Nadia atau Terre Liye. Merasa betapa buruknya tulisan kita, sehingga merasa tulisan kita tidak berguna, buruk sekali. Tergoda untuk melayani atau mengikuti saran penyinyir yang tahunya semua tulisan jelek di matanya, tetapi tidak punya solusi. Godaan godaan itu manis dan bermutu untuk diikuti. Tapi kalau saya ikuti godaan itu, mungkin sudah berhenti pada tulisan keempat, dan menikmati sebagai pembaca, pengkritik, penyinyir, pemalas. Memuaskan diri sebagai penulis kambuhan, pengkritik sadis, penggila bacaan, pengagum karya orang lain dan pelari dari dateline menulis.

Ketujuh, saya lebih mengenali pola dan karakter menulis saya. Setiap orang unik. Setiap orang punya karakter tulisan yang khas, bisa serupa tapi tidak sama. Pada ahirnya penulis akan mempunyai karakter tulisannya sendiri, hasil dari menguji coba dan menjelajah. Sekuat apapun saya mencoba mengimitasi gaya kepenulisan idola saya, pada ahirnya saya akan menemukan gaya yang paling nyaman buat saya sendiri untuk mengungkapkan gagasan. 

Awalnya saya banyak mengoreksi, menyelaraskan dengan gaya pak Dahlan. Kok dirasakan kurang pas, mencoba gaya pak Pram. Lama lama kok serasa terlalu bertele tele. Mencoba gaya pak Renald Kasali, Mbah Nun, Cak Nur. Tapi pada ahirnya saya lelah dengan mengimitasi. Ahirnya, menulis saja yang penting standar penulisannya tidak aneh. Mau nyastra atau bahasa pokrol, santai atau serius yang penting sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Lebih penting menyampaikan isi dulu, soal struktur bahasa yang benar nanti dikoreksi editor, dibetulkan pembaca. Ketimbang berpusing di tata bahasa, tapi tidak ada gagasan atau tulisan utuh yang jadi.

Waktu kapan yang pas untuk saya menulis masih fleksibel, tapi tempat dan media untuk menulis sudah menetap sampai tulisan ke 100. Dan itulah pola menulis harian yang cocok untuk saya. Dengan kewajiban pekerjaan kantor yang berfluktuasi, maka belum ditemukan waktu yang konsisten. Paling sering menulis di jam 19.00 s.d 23.00. Mencatat dan mengumpulkan bahan setiap ada kesempatan di colornote atau di whatsap. Lebih cepat menulis di laptop. Untuk artikel jurnal bereputasi, dimulai dengan membuat kerangka mulai judul, abstrak, pendahuluan, methode, data, pembahasan sampai kesimpulan. Mereview dengan fenomena praktis pada penelitian penelitian mutahir. Melakukan ajusment dan review, translete, proofreading dan seterusnya. Gaya dan karakter yang paling cocok untuk saya, dapat ditemukan setelah menulis berulang ulang hingga ratusan kali setiap hari.

Kedelapan, mengerjakan kewajiban menulis lebih mudah, santai dan cepat. Dahulu kala, di luar waktu mengerjakan tugas ahir (tesis dan disertasi), laporan penelitian, menulis artikel jurnal biasanya tidak pernah membaca dan menulis. Membacapun untuk menikmati, sesantai santainya tanpa target, tanpa tuntutan kewajiban memahami, tanpa membuat catatan catatan penting yang dapat ditelusuri kembali. Biasanya dikerjakan karena ditagih promotor atau dikejar target waktu. Menulis menjadi beban, berpikirnya diseret seret, kualitas ditentukan oleh koreksi promotor atau reviewer penelitian. Kualitas minimalis karena tidak dikerjakan dengan kesungguhan hati dan kesiapan lahir batin.

Setelah menulis setiap hari maka mengerjakan laporan penelitian atau menulis artikel jurnal ilmiah serasa lebih ringan. Karena kebiasaan mengolah data dan menyajikan dalam bentuk tulisan dilatih setiap hari. Mengorganisir informasi, membangun kerangka berpikir, menghubungkan antar bagian, antar sub bab, antar bab dan antar buku dilatih setiap saat sehingga membentuk pola yang memudahkan untuk menyelesaikan tulisan kewajiban.

Kesembilan, banyak ide untuk menulis buku baru atau melanjutkan buku lama yang sering ngetem. Sejak membiasakan menulis setiap hari selain artikel bebas dan artikel tematik, maka kegiatan melanjutkan tulisan yang terhenti bertahun tahun lebih mudah untuk dikerjakan. Tulisan yang sudah ngetem tahunan, berhenti berulang ulang sebelum sampai di bab terahir, ikut terbantu untuk selesai. Karena bahan bahan yang dibaca selama mengerjakan artikel yang bersinggungan dengan outline dan kerangka buku mengingatkan untuk kembali melanjutkan tulisan yang terputus. Bahan bahan yang dibaca memberi inspirasi dan informasi tambahan yang penting untuk melengkapi kekurangan yang ada pada buku yang belum selesai tersebut.

Ide ide baru bermunculan untuk menulis buku yang serumpun dengan buku buku yang sudah diterbitkan atau yang sedang ditulis. Dengan menulis harian, artikel artikel tematik membuat perspektif saya pada sebuah tema semakin mendalam dan meluas. Hal hal inilah yang menginspirasi membuat buku yang lebih sesuai dengan kebutuhan lingkungan akademik saya. Buku buku yang akan saya tulis adalah mengisi kekosongan jenis bacaan di bidang tertentu yang semestinya penting untuk ada, atau buku dengan perspektif baru pada disiplin ilmu serumpun, atau sebuah koreksi terhadapa buku buku yang sudah ada, dan semstinya diluruskan atau diperbaiki.

Kesepuluh mengoreksi tabiat buruk dalam menulis, seperti plagiarisme dan menjahit karya ilmiah. Bagi sebagian besar orang yang bergerak di dunia akademik, sebagai tenaga pendidik atau kependidikan, para birokrat dan guru tentu sudah tahu bagaimana tuntutan kewajiban menghasilkan karya ilmiah dengan berbagai level standar dari yang sederhana sampai ke yang rumit. Tuntutan yang besar tapi tidak diikuti dengan pengembangan diri menguasai keterampilan menulis yang baik, ahirnya terjebak dalam budaya plagiasi, modifikasi karya ilmiah orang lain atau menulis dengan cara menjahit. Menulis seperti menjahit adalah merangkaikan gagasan pikiran banyak orang yang mengikuti bangunan yang kita tetapkan. 

Menulis karya ilmiah yang benar adalah membangun ide gagasan dan kegelisahan akademik kemudian mencari jawaban terhadap pertanyaan itu dengan menggunakan teori atau hasil penelitian termutahir terhadap tema tersebut. Tugas penulis adalah memastikan bahwa sudah melakukan survai terhadap riset riset serupa sehingga tidak terjadi pengulangan. Berdasarkan penelusuran tersebut, penulis menentukan posisi mendukung, menentang, atau memberikan tawaran baru. 

Kalau prosedur menulis diikuti dengan benar, tidak mungkin terjadi pengulangan ide atau bahkan mengcopas karya orang lain. Dengan membiasakan menulis setiap hari yang selalu dimulai dari kegiatan perencanaan tulisan, membuat kerangka, menyiapkan sumber informasi atau data kemudian menuliskannya maka menulis karya ilmiah menjadi lebih mudah. Bukan berarti ‘memudahkan’, memperkecil makna karya ilmiah, tapi karya seilmiah apapun atau tidak seilmiah apapun menggunakan kerangka sistematika dan logika yang sama. Selebihnya hanyalah persoalan keandalan data, ketepatan teori, ketajaman analisis, kesesuaian tema tulisan tema dengan fokus jurnal ilmiah dan mengikuti selingkung (format penulisan).

Yang saya rasakan menulis dengan mengikuti prosedur dan sistematika karya ilmiah lebih mudah dilakukan daripada memodifikasi karya orang lain atau menjahit gagasan orang lain. Mencocok cocokkan banyak pemikiran, karakteristik data dan menyambung nyambungkan selain tidak dibenar dengan standar karya ilmiah, juga membuat kita sering mengalami split pemikiran.

Sepuluh manfaat yang saya dapatkan dengan menulis secara rutin setiap hari, mungkin tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh penulis lain. Pengalaman saya sebagai ‘salik penulis’, seseorang yang melakukan perjalanan ‘ruhani’ kepenulisan akan berbeda dengan ‘salik’ yang lain, tergantung amal perbuatan dan anugerah yang Tuhan berikan kepada kita. Mudah-mudahan sekelumit pengalaman ini bermanfaat dan menginspirasi pembaca untuk menulis setiap hari. Sehingga mengalami pencerahan yang melebihi saya, melahirkan banyak ‘suluh’ pengetahuan dan menggelorakan literasi di sekeliling kita. Tulisan ini juga sebagai penanda dan rasa sukur saya sudah melewatkan menulis sembarangan yang ke 100.


Sangaji Ternate 

18 Agustus 2020

#101


6 komentar: