Sabtu, 29 Agustus 2020

Belajar Menulis Dari Sang Imam

 



Oleh Syaifuddin

Sebagai peneliti dan penulis atau orang yang sedang belajar menulis, selayaknya kita berguru pada apa yang dikerjakan oleh Imam Bukhari. Beliau mengerjakan sebuah karya yang tidak ada duanya dengan ketekunan, pengorbanan waktu, harta dan tenaga. Magnum opusnya al-Jami’ al-Sakhih. Kitab hadith nomor satu. Setingkat di bawa Alquran, kalamullah. Hadith bukanlah kitab karangan, maka apa yang dilakukan oleh Imam lebih tepatnya sebagai mencatat, dan membukukan. Hadith Shahih Bukhari, disusun dengan tingkat kecermatan tingkat dewa, kehatia-hatian tingkat wali, dan ketelitian riset tingkat mahagurunya mahaguru riset. Tidak dapat dibayangkan, tanpa hadith ini, milyaran umat Islam kesulitan menjalankan agama.

Waktu yang Imam habiskan untuk menulis, meneliti dan menelusuri hadith sakhihnya adalah 16 tahun, dan itu dilakukan setiap hari. Sekretaris Imam bernama Abu Hathim menceritakan, dalam satu malam beliau bangun antara 15-20 kali, untuk mengambil tinta, menyalakan lampu minyak untuk melakukan koreksi terhadap hadith yang dikumpulkannya. Kita menulis satu hari satu kali yang mungkin perlu waktu 1 jam, setelah 100 hari mungkin sudah mengeluh, merasa lelah, jenuh dan putus asa. Tidak ada apa-apanya dengan yang dilakukan oleh Imam Bukhari, bekerja non stop 5.600 hari.

Imam Bukhari mengumpulkan hampir satu juta riwayat hadith dari 85.000 periwayat, dan memilih 9.082 hadith. Penelitian yang tidak main main. Menyelidiki kualitas hadith, sehingga yakin betul bahwa hadith itu shahih diperlukan penelitian yang panjang dari ribuan narasumber, di wilayah yang terbentang ribuan kilometer. Memerlukan stamina dan mental baja untuk mengerjakan ini. Melakukan perjalanan penelitian berkeliling dari Siria ke Mesir dua kali (1.182 km kalau lurus), mengunjungi Bashrah dan Baghdad empat kali (545 km) , tak terhitung perjalanan ke Mekkah, Madinah, Kufah dan Baghdad. Mungkin puluhan ribu kilometer jalan yang ditempuh Imam Bukhari untuk memastikan catatannya Shahih.

Belum ditemukan tandingannya, ilmuwan yang melakukan perjalanan penelitian sedemikian jauh dan lamanya termasuk Wallace atau Marco Polo dan Ibnu Bathutah. Kita berhutang teladan yang luar biasa dari cara Imam Bukhari melakukan penelitian. Zaman ketika tidak ada referensi semelimpah sekarang, dibandingkan sekarang ketika demikian mudahnya menelusuri rujukan tanpa harus beringsut dari tempat duduk. Imam Bukhari bekerja tanpa didukung oleh manajemen sitasi online seperti mendeley atau zotero. Bekerja tanpa didukung kemudaha fasilitas seperti saat ini yang menyediakan ratusan media tulis, platform dan aplikasi. 

Dengan segala keterbatasan fasilitas riset pada masa itu, tapi Imam Bukhari mampu membuat standar penelitian kualitatif lapangan yang bahkan tetap digunakan dalam penelitian masa kini. Standar akademik riset dengan narasumber yang kredibel, kecukupan dan kelayakan narasumber. Imam Bukhari bahkan menggunakan verifikasi data penelitian bukan hanya triangulasi bahkan multiangulasi. Kalau riset sekarang dengan melakukan uji silang tiga metode verifikasi sumber, maka Imam Bukhari menerapkan banyak sekali verifikasi silang yang bahkan dilakukan berlapis lapis.

Misalnya sebuah hadith dinyatakan shahih jika diriwayatkan oleh banyak narasumber. Setelah itu perjalanan ringkaian periwayatan pun diteliti. Setiap mata rantai dicek kebenaran informasinya, kualitas kejujuran dan kecerdasan, preferensi politiknya, kualitas agamanya dan seterusnya. Super njelimet. Yang sekarang disebut sebagai takhrij hadith. Saya menyerah kalau mendalami kajian studi hadith. Begitu tidak mudahnya melakukan riset hadith.

Kalau kita sekarang menulis bebas, dengan standar tulisan biasa, kadang kadang akademik, seringkali semi akademik, dan kadang fiksi. Apa yang kita lakukan belum sampai sepersatujutanya pekerjaan Imam Bukhari. Mengapa demikian mudahnya kita menyerah.

Imam Bukhari juga dikenal sebagai intelektual yang santun dalam menggunakan kalimat. Tidak pernah menggunakan istilah yang merendahkan narasumbernya. Perawi menempati posisi penting menentukan kualitas sebuah hadith. Kritik beliau terhadap perowi yang kurang krdibel pun dibungkus dengan bahasa yang halus. Tentang perawi yang jelas jelas pembohong digunakan kalimat “perlu dipertimbangkan”, “para ulama’ meninggalkannya” atau “para ulama’ berdiam diri terhadap hal itu”. Untuk perawi yang hadithnya tidak jelas, beliau menyatakan “hadithnya diingkari”. Ketika mengabaikan perawi yang diragukan kejujurannya, beliau membuat pernyataan: ”Saya meninggalkan sepuluh ribu hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadith hadith dalam jumlah yang sama atau lebih hadith hadith yang diriwayatkan oleh rawi yang perlu dipertimbangkan”.  Alhafidz Ibnu Hajar menjelaskan profil beliau. Imam Bukhari sangat jarang menggunakan kata kadzab/pembohong, wadda’/mengarang hadith palsu. Diksi Imam Bukhari sangat halus, perasaannya lembut, penghargaannya terhadap narasumber dengan tidak mengobral kata kata tercela, meskipun itu benar.

Dari sini kita belajar tentang bagaimana menentukan diksi atau pilihan kata dalam menulis dengan pilihan yang baik dan sopan. Meskipun diksinya santun tapi tetap tajam dan jelas. Imam Bukhari ditengah demikian panjang dan melelahkan pengerjaan karya akademik, tetap memberikan perhatian penuh pada diksi yang santun dan jelas. Diksi yang lembut bukan berarti mengabaikan akurasi pengertian dan data.

Tulisan acapkali mencerminkan akhlak dan kadar intelektual penulisnya. Penulis yang beradab menggunakan banyak pertimbangan dalam menghasilkan sebuah tulisan, walaupun tanpa meninggalkan produktifitasnya. Hati hati bukan berarti berhenti, waspada tidak bermakna tak bergerak. Produktifitas tulisan ditentukan oleh keterampilan yang dihasilkan dari jam terbang. Sedang kehati-hatian dalam memilih kata ditentukan oleh paradigma penulisnya.

Dalam menulis Imam Bukhari menyertainya dengan laku spiritual. Setiap memasukkan hadith yang telah diteliti dengan superketat ke dalam karya magnum opusnya, selalu didahului dengan shalat istikharah dua rakaat. Imam Bukhari dalam melakukan perjalanan penelitian hadith tinggal seruangan terus menerus, kecuali ke kamar mandi, sehingga sekretarisnya tahu apa saja yang diperbuat oleh beliau dalam dua puluh empat jam. Setiap bangun untuk mengoreksi hadithnya, Imam Bukhari mengerjakan sendiri, karena tidak mau mengganggu tidur sekretarisnya.

Imam Bukhari bukanlah orang miskin atau dari keluarga miskin. Beliau mewarisi kekayaan yang banyak dari orang tuanya. Tetapi lebih memilih jalan zuhud, dengan menyedekahkan seluruh harta kekayaannya. Dalam sehari hari beliau hanya mengganjal lapar dengan  2-3 butir kacang. Waktu sakit, tabib memeriksa air seni beliau, dan mendapati penyakit kurang gizi. Pada masa pendidikannya dulu, saking prihatinnya Imam Bukhari terpaksa makan rumput karena kelaparan, dihari ketiga ada orang yang memberinya uang.

Belajar dari Imam Bukhari , untuk meneruskan profesi kepenulisan, apapun pekerjaan kita, dosen, guru, ASN, pebisnis, mahasiswa, jurnalis, karyawan dan seterusnya, kita dapat belajar banyak dari apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari. Mungkin tidak musti selevel beliau, minimal kita menerapkan prinsip ketekunan, keseriusan, kesantunan, kejujuran dalam melakukan aktifitas menulis. Meletakkan niat ibadah sebagai fondasi dasar dalam melakukan aktifitas menulis, sehingga apa yang kita tulis berasal dari hati dan akan sampai di hati. Menulis dengan niat ibadah membuat tindakan kita tidak akan sia sia. Menulis dengan niat ibadah melahirkan energi yang berlimpah dan tak kunjung padam.

Sangaji Ternate 

30 Agustus 2020

#112


4 komentar:

  1. Luar biasa inspiratif dan motivatif. Saya banyak membaca buku motivasi dari sejumlah motivator berkaliber dunia. Saya menempatkan usi artikel ini, sejajar dengan buku mereka.

    BalasHapus
  2. Terimakasih pak Doktor Hamzah. Umpan balik seperti ini, membuat saya membaca kembali apa yg sudah saya tulis. Untuk memahami perspektif pembaca dan memperbaiki kekurangan pada tulisan saya berikutnya.

    BalasHapus
  3. Maturnuwun pak Doktor Naim. Penebar semangat.

    BalasHapus