Oleh Syaifuddin
Mengelilingi pulau Ternate sejauh 54 kilometer disebut dengan eron dari kata Inggris, around. Kebiasaan eron dilakukan dengan beragam cara, lewat darat melewati jalan aspal yang membentuk cincin luar, atau lewat laut menggunakan moda transportasi air, kapal kayu atau speedboat. Ada tradisi kololie kie yang sarat makna dan beragam nilai adiluhung, yaitu tradisi mengelilingi pulau Ternate.
Uniknya gerakan mengelilingi pulau dilakukan seperti perputaran thawaf, pulau di sebelah kiri dan laut disebelah kanan. Ke luar pusat kesultanan, dimulai dari kelurahan Salero, Dufa Dufa, Akehuda, Tafure, Tabam, Tarau dan memasuki kota dimulai dari kelurahan Sasa, Fitu, Ngade dan Kayu Merah.
Eron pada masa kini menjadi rute rekreatif, pada masa lampau sarat makna politis, budaya dan religius. Eron adalah kristal dari kearifan lokal, sublim dari berbagai nilai kesadaran kosmis yang berakar kuat dari masyarakat kepulauan. Kearifan yang terjaga melewati lintasan masa yang panjang lebih dari lima abad, seperti nasib kebun dan petani buah pala yang dari masa ke masa tak kunjung berubah.
Petani buah Pala mungkin tak semujur petani cengkih. Walaupun sama sama rumpun rempah yang menggoda bangsa Arab, Eropa dan China. Entah apa sebabnya nasib cengkih dan pala berbeda. Harga, fungsi, tata niaga, tata kelola komoditas yang berbeda, membuat nasib pala tak semujur cengkih.
Di masa penjelajah Eropa, harga pala ditentukan oleh rebutan monopoli rempah. Berbagai peperangan, berdirinya benteng Toloko, Oranye, Kastela sebuah bukti bahwa rempah diperjuangkan dengan keras. Tingginya harga dan langkanya komoditas tidak berarti membuat makmur para pemilik kebun pala. Monopoli diusahakan mati matian bertujuan memberikan keuntungan maksimal, menakan harga serendah rendahnya, menjual dengan harga setinggi tingginya. Biaya ekspedisi yang tidak murah, biaya peperangan yang mahal, ongkos melanggengkan kekuasaan dibebankan kepada pemilik kebun. Saat VOC bangkrut dan diambil alih oleh kerajaan Belanda, tekanan terhadap pemilik kebun tidak semakin berkurang, justru semakin menguat. Biaya tata niaga Pala beralih dari BUMN kepada negara yang target keuntungannya diharapkan lebih tinggi. Target pemasukan tidak lagi untuk perusahaan tetapi untuk negara, kerajaan Belanda.
Setelah hegemoni Belanda mapan, monopoli stabil menjadi hak milik sepenuhnya, terlebih setelah tercipta kesepakatan Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugal. Nasib baik tak juga datang kepada pemilik kebun pala. Coba lihat catatan sejarah di berbagai tempat, posisi kerajaan atau kesultanan terjepit diantara berbagai kepentingan. Kalau memihak kepada rakyat akan berhadapan dengan bangsa asing, dan eksistensi rapuh. Kebanyakan penguasa pribumi takluk dalam kepentingan penjajah. Beberapa pengecualian melawan seperti yang dilakukan Sultan Nuku, Sultan Baabullah dan Sultan Khairun, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Hasanuddin. Konsekuensi yang diterima berat, diperangi oleh para penjajah, ditawan dan diasingkan jika masih hidup.
Beberapa rezim penguasa pribumi bukan saja tidak melindungi rakyatnya, bahkan menjadi broker/calo komoditas, sehingga rakyat mengalami. Dalam naskah naskah kajian tentang nusantara di abad 17-19, kita akan dapatkan banyak sekali penguasa model ini, tidak hanya di wilayah Ternate. Epos epos kepahlawanan sering kita baca, perlawanan rakyat pada pemerintah pribumi yang berselingkuh dengan penjajah untk mendapatkan komoditas secara ajeg, baik dengan tujuan menumpuk kekayaan oleh penjajah maupun untuk kepentingan lainnya. Kolaborasi antara penguasa pribumi dan penguasa asing membuat petani komoditas seperti pala dan rempah rempah lainnya selalu sebagai subjek penderita.
Zaman berubah, musim berganti. Dari penjajah beralih ke pribumi. Kemerdekaan sudah berlalu 75 tahun. Penguasa yang silih berganti, tidak demikian dengan pemilik kebun pala di Ternate. Posisi sub ordinat, seperti menjadi label sejati. Para pemilik kebun pala karena alasan usia, kemampuan dan berbagai hal lainnya, terikat dengan kontrak kontrak yang merugikan. Kesepakatan antara pemilik kebun pala dengan para penyewa, investor atau pembeli, dengan dalih adat kebiasaan, menempatkan pada posisi yang lemah.
Statusnya sebagai pemilik kebun, penguasa lahan, pemelihara pala, tapi keuntungannya mengalir kepada para investor. Kontrak sewa lahan dengan sejumlah pohon pala di atasnya menggunakan akad sewa, padahal yang dibeli sebenarnya komoditas dengan pola ijon. Ijon umumnya menangguk untung atau ada kalanya merugi, transaksinya dilakukan setiap musim. Kontrak pala ini lebih eksploitatif lagi karena biasanya kontrak dilakukan dalam jangka panjang, yang dari waktu ke waktu pemilik lahan menyaksikan hasil buminya dinikmati investor.
Praktik ini menjadi budaya, adat istiadat yang terus dilanggengkan. Praktik yang tidak adil, strukturnya memiskinkan pemilik lahan. Jangan hanyak karena saling rela berarti muamalah ini sah. Tidak. Justru muamalah ini mengandung cacat rukun dan syaratnya. Akadnya ijarah/sewa tetapi praktiknya jual beli/buyu’. Disebut sewa tidak obyek yang dimanfaatkan. Pala tidak diambil manfaatnya, tetapi dipetik buahnya. Karena yang dijadikan objek perikatan adalah komoditas, lebih layak kalau disebut jual beli.
Ketidakadilan berikutnya adalah harga sewa, seharusnya harga beli tidak pernah mengalami penyesuaian. Dalam Islam praktik mu’amalah jual beli dengan cara ijon ini hukumnya batal, tidak sah. Supaya akad itu sah harus dipastikan pada awal kontrak perjanjian tentang kepastian kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan komoditas. Dengan adanya kepastian itu memberikan peluang koreksi pembayaran disesuaikan dengan kondisi pada saat panen pala. Koreksi ini memberikan keadilan kepada kedua belah pihak. Tidak ada bisnis spekulasi dan untung untungan.
Toboleu Puncak Ternate
25 Agustus 2020
#107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar