Kamis, 13 Agustus 2020

Mengayuh di Tengah Badai Ekonomi Dunia

Oleh Syaifuddin

Tahun 2008 terjadi krisis ekonomi dunia. Krisis ini bermula dari krisis keuangan di Amerika yang disebabkan oleh subprime mortage. Krisis ini didorong oleh tingginya nafsu konsumsi warga Amerika. Mereka hidup dalam gelimang hutang, kartu kredit dan kredit perumahan. Lambat laun perusahaan pemberi kredit bangkrut karena kehabisan likuditas. Berantai terus sampai runtuhnya perusahaan finansial. Bursa saham Wall Street kolaps, sehingga perusahaan besar Lehman Brothers dan Goldman Sachs yang berusia ratusan tahun gulung tikar.

Sektor keuangan yang lagi kisruh berdampak pada sektor riel Amerika. Krisis keuangan Amerika yang terjadi pada pertengahan 2008 menurunkan daya beli masyarakat, sehingga impor Amerika dari berbagai dunia menurun drastis. Besarnya tingkat konsumsi Amerika yang sedang termehek mehek tentu memberikan dampak terhadap menurunnya penjualan produk dari banyak negara. Inilah cara krisis ekonomi Amerika merambat ke banyak negara dan mempengaruhi ekonomi dunia, maka terjadilah krisis ekonomi 2008.

Dahsyatnya krisis ekonomi 2008 sangat berdampak terhadap Amerika. 7,3 juta pekerjaan hilang dan tingkat pengangguran di kisaran 10%. Sebanyak 7,8 juta rumah hilang karena diambil alih (disita) akibat buruknya kredit perumahan di Amerika. Perlu waktu 10 tahun untuk memulihkan ekonomi. Uni Eropa menggelontorkan paket penyelamatan 10.368 triliun rupiah untuk wilayah Inggris dan 37.000 triliun rupiah untuk zona Eropa. Tiongkok mempersiapkan dana stimulus untuk memulihkan krisis sebesar 8.665 triliun rupiah.

Krisis ekonomi dunia 2008 lebih besar dibandingkan dengan krisis 1998. Tetapi dampak kerusakan yang ditimbulkan terhadap ekonomi Indonesia tidak terlalu berat, karena kecilnya prosentasi eksport Indonesia terhadap PDB (Product Domestik Bruto). Dengan kata lain produk Indonesia proporsinya cukup kecil dibandingkan sektor ekonomi lain sehingga ketika permintaan produk mengalami pernurunan, pengaruhnya tidak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Berbeda dengan negara negara seperti Singapura dan Malaysia yang proporsi eksport produknya 200 dan 100 persen, maka ketika permintaan produk internasionalnya mengalami penurunan, maka perekonomiannya sangat terpengaruh.

Tapi di sektor tenaga kerja Indonesia terpengaruh dengan krisis yang terjadi di Malaysia, karena 1,2 juta buruh migran dari Indonesia terancam dipulangkan, sehingga meningkatkan pengangguran di Indonesia dan menurunkan devisa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah krisis turun dari 6,01% di tahun 2008 menjadi 4,63% di tahun 2009.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 2008 modalnya sudah berkembang menjadi 966,18 miliar meningkat pesat dari 101,4 miliar setelah krisis 1998. Dalam waktu 11 tahun pembiayaan macetnya telah menurun drastis dari 65% terus menurun sampai dibawah 5%, angka pembiayaan macet  yang dianggap cukup sehat bagi bank. Di tengah kondisi krisis ekonomi dunia, ternyata berimbas kepada kesehatan BMI. Pada ahir tahun yang  sama pembiayaan macet kambuh menyentuh angka 4,33%. Catatan kesehatannya tidak semuanya buruk, karena perusahaan masih meraih laba bersih 203 miliar rupiah.

Krisis 2008 sangat mengguncang pasar modal di seluruh dunia. Zona zona ekonomi besar seperti Amerika, Eropa dan Tiongkok. Krisis ekonomi dunia juga mempengaruhi dunia perbankan yang terhubung dengan pasar modal dan keuangan. Perbankan syari’ah di Indonesia relatif selamat dari pengaruh krisis ekonomi dunia, karena perbankan syari’ah bergerak di sektor riel. Serupa dengan krisis 1998, pengaruh yang paling dirasakan oleh BMI adalah naiknya pembiayaan macet yang berada di kisaran 6,5 % berada di atas batas aman yang diperbolehkan oleh otoritas keuangan yaitu 5%.

Pasca krisis 2008 kondisi BMI mengalami kondisi naik turun. Pembiayaan macet naik terus sampai dengan tahun 2014 berada di level 7,11%.  Meningkatnya rasio pembiayaan macet membuat modal perusahaan kembali tergerus. Padahal pada tahun sebelumnya BMI mendapat suntikan dana 1,35 triliun

Pengalaman BMI melewati badai krisis ekonomi 1998 dan 2008 memberikan pelajaran berharga, bagaimana bank syari’ah melewati dari krisis ke krisis dengan strategi sebaik baiknya. Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman melewati dua krisis ini. Pertama, bank syari’ah dalam hal ini BMI bisa mengelola pembiayaan macet dari jauh lebih kecil dibandingkan krisis sebelumnya. Kedua, kemampuan mengelola risiko pembiayaan menjadi lebih baik, karena BMI aktif memupuk dan memulihkan modalnya setelah krisis 1998. Sehingga ketika datang krisis ekonomi periode berikutnya BMI lebih siap. Modal hanya tergerus sedikit. Ketiga, dengan kondisi permodalan yang jauh lebih baik seharusnya BMI bisa menekan rasio pembiayaan berada dalam batas toleransi yang diperbolehkan oleh otoritas keuangan. 

Mengapa BMI tidak mampu mengendalikan dan menerapkan manajemen risiko perbankan dengan baik? Maka tulisan berikutnya akan menelisik sebab persoalan strategi atau model bisnis BMI yang dianggap kurang tepat. 

Sangaji Ternate 

14 Agustus 2020

#96


Tidak ada komentar:

Posting Komentar