Dalam tiga tahun terahir literasi sangat populer dalam masyarakat kita. Literasi dan istilah turunanya menjadi viral. Literasi seakan menggantikan istilah pendidikan, belajar, membaca, menulis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Literasi adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan dalam berbagai bentuk. Literasi secara sederhana bertumpu pada tiga kegiatan yaitu membaca, berpikir kritis dan menulis.
Literasi tidak sesederhana membaca saja sebagaimana yang selama ini dipahami, tapi yang paling penting justru memahami dan memunculkan perspektif baru dari cara manusia berpikir kritis dan mengkomunikasikan dalam bahasa yang dipahami manusia yaitu tulis dan lisan.
Membaca mungkin literasi yang paling tepat pada awal pertumbuhan manusia. Namun menulis seharusnya menjadi titik sentral dari kegiatan literasi pada masyarakat yang secara intelektual sudah melewati jenjang sarjana. Karena dengan menulis manusia akan mengembangkan sumber bacaannya dan mengolah informasi secara kritis. Melalui menulis dengan sendirinya manusia mengembangkan keterampilan literasi membaca dan berpikir kritis.
Menulis dalam bentuk blog yang dilakukan oleh buruh migran di Hongkong misalnya adalah salah satu literasi yang kreatif dan idiologis. Para pekerja domestik atau “babu”, ditengah keterbatasan waktu fasilitas dan pendidikan dengan kegigihan dapat memberikan pengaruh positif kepada sesama buruh migran. Literasi menjadi alat perjuangan idiologis kaum buruh, alat advokasi untuk mencerdaskan diri.
Buku “Suara Dari Margin: Literasi Sebagai Praktik Sosial” yang ditulis oleh Pratiwi Retnaningdyah (alumni Ph.D Moulber University Australia) dan Sofie Dewayanti (Alumni Ph.D University of Illinois at Urbana Champaign, Amerika) menceritakan bagaimana perjuangan “babu” berjuang dalam literasi. Migran asal Indonesia di Hongkong membentuk kelompok menulis dan membuka lapak buku di setiap ahir pekan. Rie rie mampu mengubah paradigma kalangan buruh migran Indonesia. Di sela sela kesibukan sebagai pekerja rumah tangga menyempatkan diri menulis di blog, kadang menyembunyikan catatan agar tidak diketahui majikan, meluangkan waktu menulis diantara kesibukan tanggungjawab sebagai pekerja dan keinginan mencerdaskan diri. Para buruh berusaha keras agar babu berwawasan dan maju sehingga berdaya di negeri asing.
Babu atau buruh migran yang dianggap pekerja rendahan, oleh Rie rie direkonstruksi melalui medium teks menjadi praktik literasi yang menggugah. “Babu Ngeblog” akun blog yang dimiliki Rie rie menceritakan keseharian sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong. Tulisan-tulisannya menjadi energi ideologis. Inilah bentuk literasi ideologis menurut Pratiwi. Menurutnya, literasi ideologis adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memahami teks untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, material dan spiritual. Pemahaman hanya didapatkan melalui keterlibatan (trejaktori literasi), yaitu lintasan pengalaman seseorang ketika memaknai kegiatan membaca dan menulis untuk mencerna pengetahuan.
Literasi ideologis hanya bisa tercapai bila menulis dan membaca dijadikan tradisi. Di lingkungan pendidikan, para pendidik dan tenaga kependidikan menjadikan membaca dan menulis menjadi kultur dan mengakar. Membumikan gerakan literasi harus didasarkan dan dimulai dari pengetahuan tentang kebudayaan masyarakatnya. Strategi gerakan literasi harus bertumpu pada kearifan lokal yang dikembangkan menjadi gaya baru dan berkelanjutan. Misalnya di daerah yang terisolir dengan budaya lisan yang menonjol, maka tradisi lisan tersebut menjadi modal awal membumikan literasi dan dilanjutkan dengan pengembangan budaya tulis.
Mengembangkan budaya literasi semestinya didasari pada kemampuan mengambil kebudayaan literasi yang kita miliki. Bertumpu pada usaha memajukan diri dengan alasan alasan dari dalam bukan karena terpengaruh survai survai internasional, atau sekedari menaikkan rating literasi, tingkat membaca atau produktifitas menulis. Kalau alasannya faktor eksternal tersebut, maka gerakan literasi akan terjebak dalam gerakan artifisial dan simbolik.
Sayangnya gerakan literasi di Indonesia belum masuk ke substansi literasi yang sesungguhnya. Gerakan literasi membaca baru bergelora secara simbolik dengan kampanye. Para pelayan literasi di birokrasi, perpustakaan, lembaga pendidikan belum sepenuhnya mempraktikkan menulis dan membaca sebagai gaya hidup sehari hari. Para ahli dan pakar yang seharusnya menulis, tapi lebih asik dengan budaya lisan, penceramah di seminar, workshop dan kuliah yang tidak didampingi oleh produktifitas tulisan. Fenomena ini disebut oleh Iqbal Dawami (Maghza, 2017) sebagai pseudoliterasi, yaitu mendaku sebagai pegiat literasi, tapi tidak membaca dan menulis, kepentingannya hanya merebut proyek literasi.
Kita mengharapkan banyak inisiatif, sehingga literasi semakin substantif. Sebagai misal New Literasi Studies (NLS) yang ditawarkan oleh Sofie dan Pratiwi. NLS memandang khazanah literasi menempuh dua bentuk yaitu literasi otonom dan lietarasi ideologis. Literasi otonom adalah gerakan literasi yang murni untuk meningkatkan kemampuan baca dan tulis tanpa mempertimbangkan faktor lain.
NLS merupakan kerangka kajian literasi yang lahir dari gerakan buruh migran dan anak jalanan. Gagasan literasi dengan konsep terbarukan, literasi yang tidak hanyak lahir secara simbolik, dengan data dan fakta kuantitas, tapi literasi yang mempunyai spirit berdasarkan observasi dan pembacaan yang intens terhadap budaya dan jati diri masyarakatnya.
NLS menawarkan perspektif baru tentang dunia baca, tulis, literasi, interaksi pengetahuan dan cara berpikir. Literasi tidak stagnan. Literasi menjadi pengalaman membaca, menulis, mencerna pengetahuan dan memberi pengaruh kuat terhadap yang bersangkutan untuk menentukan pilihan pilihan yang mentransformasikan hidupnya.
Jika NLS digunakan oleh Pratiwi untuk mendokumentasikan praktiknya di kalangan buruh migran, maka Sofie mendokumentasikan praktiknya di kalangan anak jalanan. Sebagai contoh Bu Sri pengajar PAUD anak jalanan menggunakan teks kultural untuk memampukan anak supaya dapat masuk di SD, sehingga mentas dari kehidupan jalanan. Literasinya mentransformasikan anak anak dari sekolah di jalanan menuju sekolah normal pada masa pertumbuhan mereka menuju dewasa. Kehidupan jalanan akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap tumbuh kembang anak anak.
Jika literasi ideologis di bawah ke dalam konteks civitas akademik di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka gerakan literasi di kampus punya spirit yang lebih kuat. Sejauh ini literasi kampus Islam masih bercorak literasi otonom yang paling dasar. Kalau ditransfomasikan kedalam literasi ideologis maka gerakan literasi di kampus, spiritnya lebih kuat. Dosen menulis karena didorong oleh keinginan kuat membumikan pendididikan Islam, hukum Islam, ekonomi Islam, Sains Islam, ilmu al-Qur’an, peradaban Islam, ilmu ilmu keagamaan. Menulis, membaca dan mendeseminasikan pemikiran dibingkai dalam spirit ibadah. Membumikan nilai nilai Islam dalam masyarakat tidak lagi sebagai pilihan bebas, tetapi kewajiban.
Transformasi mahasiswa melalui pendidikan terjadi dalam kegiatan literasi ideologis yang mencerahkan dan konstruktif. Mahasiswa sedari awal dipersiapkan aktifitas literasinya secara lengkap. Mahasiswa didorong memaknai pemahamannya melalui menulis, karena menulis membuat mahasiswa berpikir kritis dan mencari sumber bacaan yang relevan. Melalui menulis mahasiswa terlibat langsung dalam transformasi dirinya dari satu titik ke titik berikutnya. Literasi menjadi pengalaman yang membentuk pemahaman yang lebih kuat dan memberikan pilihan pilihan hidup yang lebih terbuka pada masa masa mendatang.
Mengapa literasi keuangan syari’ah misalnya masih menempel di permukaan pemahaman masyarakat? Salah satu sebabnya karena literasi keuangan syari’ah belum menjadi kultur di lingkungan akademik dan para pelaku industri keuangan syari’ah. Literasi ideologis dapat menjadi jawaban terhadap persoalan membumikan ekonomi syari’ah. Semoga.
Benteng Toloko Ternate
1 Agustus 2020
#83