Menulis adalah tugas kecendikiaan. Dalam tradisi agama agama, juga dalam tradisi dan khazanah Islam, menulis buku, mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu adalah perjuangan yang melelahkan.
Imam Bukhari berkelana dari kota ke kota, antar negara meninggalkan kampungnya Bukhara, untuk mengumpulkan dan menyusun kitab hadith. Para imam mazhab fiqh dalam Islam adalah pejuang pejuang pengetahuan, ahli ilmu yang tidak lelah sepanjang hidupnya mengajar dan menulis. Melalui perjuangan sepanjang hidup Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal, maka umat Islam di penjuru dunia dapat membaca Kitab al-Muwatha’, al-Umm, al-Zuhd, Fadhailul Sakhabah, al Mabsuth, al Jamius Saghir dan lain lain.
Semua penulis hebat melalui proses panjang, berliku dan penuh tantangan. Menulis memerlukan ketekunan dan motivasi kuat. Hampir semua penulis melalu jalan terjal dan mendaki. Seakan ada anggapan bahwa yang wajib menguasai keterampilan menulis hanya jurnalis. Para akademis menjadikan menulis sebagai keterampilan minimalis, sekedar untuk syarat memenuhi kewajiban. Sebuah cara pandang yang salah, sebab keterampilan menulis juga tugas akademis, tugas cendikia.
Khalid Abou Fadhl dalam bukunya The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Book menunjukkan bagaimana cara memahami Islam. Menurutnya untuk melihat keindahan Islam, lihatlah tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang begitu kuat. Tradisi kecedikiawanan dan menulis kitab, yang sambung menyambung dari generasi ke generasi. Rangkaian sanat keilmuan tidak pernah terputus dari masa ke masa mulai sejak zaman Rasulullah Saw., sampai para ulama’ di zaman sekarang. Buku atau kitab adalah penanda hidup dan lahirnya tradisi keilmuan. Ketiadaan tradisi menulis buku dan mewariskan ilmu adalah tanda matinya kecendikiawanan.
Menulis apa saja bahkan menulis yang lebih serius adalah tugas ilmuwan, tugas yang tidak bisa dielakkan oleh akaedimisi, oleh cendikia. Mengajar adalah salah satu dari bagian tugas akademisi, dan ada tugas yang jauh lebih penting yaitu menyerap pengetahuan semesta, menjaga tradisi intelektual dengan cara riset dan publikasi. Maka menulis adalah kewajiban mutlak ilmuwan. Alat ukur kecendikiaan diantaranya : budaya literasi, tradisi meneliti, mereview, memperluas dan memperdalam keilmuan, kegunaan atau manfaat ilmunya. Pada semua ukuran kecedikiaan itu dihubungkan dengan kemampuan menulis yang baik.
Menulis yang baik dan berbobot pasti disertai bacaan yang luas. Kedalaman pengetahuan diperoleh dari proses dialektika pengetahuan dan realitas. Manfaat sebuah ilmu atau tulisan tidak bisa dilepaskan dari bobot referensi baik secara kuantitas ataupun kualitas. Jumlah rujukan juga penanda apakah tulisan itu berkualitas atau tidak. Hal yang penting dan prinsip.
Literasi di era digital dan media sosial dihadapkan dengan persoalan kedangkalan pembahasan sehingga melemahkan reproduksi pengetahuan.Tom Nichols dalam The Death of Ekspertise sebagaimana disampaikan oleh Prof. Zakiuddin Baidhowi, Kecenderungan pada literasi instan yang menggejala secara massif sehingga kepakaran dan kecendikiaan terancam mati. Dangkalnya tulisan, sehingga seakan tidak punya bobot keilmuan, sehingga siapa saja yang tidak pakar pun dapat membuat pernyataan. Akhirnya expertise, keahlian dalam bidang intelektual seolah olah tidak dibutuhkan lagi oleh masyarakat.
Masyarakat merasa tidak menganggap penting kehadiran akademisi, kaum intelektual, karena internet sudah menjawab semuanya, mbah Google dan syaikh Youtube sudah menjawab semua pertanyaan. Akibatnya buku dirasakan tidak penting, menulis tidak diperlukan lagi. Prof. Zakiuddin menyebutnya sebagai kecendikiaan di era “Virtual Crowd”. Media sosial menyerupai kerumunan, individu dan individuasi tenggelam di tengah kolektivitas literasi instan yang banal dan dungu. Masyarakat dengan mudah like dan share tanpa melakukan filter dan pendalaman informasi. Dengan mudahnya buzzer memperdungu kerumunan citizen di media sosial.
Kita berada di era kebingungan antara kecendikiaan buku dan kecendikiaan internet. Internet telah melakukan dimassifikasi informasi. Informasi sangat banyak dan beragam. Saking banyaknya tidak semua masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan yang seakan akan benar. Lahirlah hoaks yang beranak pinak. Di era internet tersedia sumber belajar yang variatif dan bebas belajar. Akibatnya lahir otoritas otoritas baru diantara otoritas otoritas yang sudah mapan. Keterampilan menulis yang baik semakin dibutuhkan. Tulisan yang berotoritas, berkualitas sekarang mempunyai identitas, bila penduduk Indonesia punya NIK, nomor induk kependudukan, maka setiap tulisan mantab punya DOI (Digital Objek Identifier). Identitas sebagai penanda bebas similirity, independent, punya hak intelektual dan keistimewaan lainnya.
Menjadi penulis yang baik diperlukan lingkungan yang kondusif, subur dalam budaya intelektual dan pembimbing yang otoritatif. Selalu ada peran mentor yang membentuk pribadi seorang penulis. Kepribadian kita dalam dunia kerja atau apapun dibentuk oleh orang orang hebat. Pak Haji Umar Said Tjokroaminoto adalah mentor yang hebat untuk Soekarno, Maridjan dan Simaoen. Dari Bang Mimar saya dapat pelajaran banyak tentang kecakapan, keterampilan, keahlian, idealisme dan integritas. Bang Miang mengajarkan untuk mencintai proses menulis. Dia juga mengajarkan, kemampuan menulis adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk membawa kebaikan bagi orang banyak. Demikian yang diceritakan pak Ade Armando.
Imam Syafi’i merupakan murid Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Ahmad ibnu Hanbal adalah murid Imam Syafi’i. Meskipun keempat imam ini mempunyai mazhab yang berbeda beda, tetapi mereka mempunyai rangkaian sanat keilmuan yang bersambung satu sama lain. Dan itulah pentingnya mentor, pembimbing, guru dalam tradisi keilmuan.
Menulis adalah bagian dari peran kecendikiaan, peran akademis yang tidak bisa dielakkan.