Senin, 22 Juni 2020

Covid-19 dan kebingungan Ilmu Pengetahuan


Sebelum ada artikel ini saya mengadopsi gambaran masyarakat yang terpolarisasi ke dalam empat mazhab, yaitu mazhab ekonomi, mazhab kesehatan, mazhab dan mazhab halusinasi. Setelah membaca artikel ini, mazhab halusinasi lebih tepatnya disebut mazhab skeptis. Yaitu kelompok masyarakat yang mempertanyakan kebenaran Covid-19 dan data data yang direlease oleh ilmuwan tentang Covid-19. Artikel ditulis oleh Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Haritage Foundation dengan judul Korona dan statistik kepanikan, yang ditulis di Kompas edisi 20 Juni 2020.

Artikel ini menjelaskan bagaimana pandangan dunia tersesat oleh prediksi Dr. Neil Ferguson, epidemiologis Imperial College. “Profesor Lockdown” memprediksi dengan model matematika bahwa bila tidak dilakukan lockdown korban meninggal di Inggris bisa mencapai 510.000 dan korban meninggal di Amerika mencapai 2,2 juta. Karuan saja prediksi ini membuat masyarakat Inggris panik, tak kurang dari presiden Amerika segera melakukan lockdown berdasarkan ketakutan dengan prediksi ini. Mengapa orang langsung percaya? Karena Ferguson seorang saintis dan Kepala Departemen of Infectious Disease Epidemiology School of Public Health.

Pendapat ini semakin dalam masuk ke ingatan bawah sadar publik, karena berita berita dari segala penjuru dunia menampilkan betapa ganas dan masifnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh Covid-19. Pandangan Ferguson semakin mencengkeram pemahaman publik, karena didukung fakta fakta yang seakan akan realitas,sehingga tidak ada yang mempermasalahkan prediksi matematika yang dibuat Ferguson.

Prof. Michael Levit pemegang nobel kimia tahun 2013, ahli matematika biofisika yang berpendapat bahwa model matematika Ferguson mempunyai kesalahan fatal. Kebenaran model matematika tergantung pada pada asumsi dan parameter yang digunakan sebagai dasar pengembangan permodelan. Ferguson ternyata menggunakan asumsi bahwa 81% populasi akan terinveksi Covid-19. Padahal pandemi flu Spanyol 1918-1919 yang dahsyat dan mematikan tingkat infeksinya di bawah 28 persen di Amerika. Kenaikan asumsi yang dipakai Ferguson 300 persen lebih besar dibandingkan flu Spanyol.

Bagi orang orang yang menekuni ekonometrika paham betul bagaimana asumsi yang dipermainkan sangat mempengaruhi hasil permodelan. Sehingga ada istilah garbage in and garbage out ( masuk sampah keluar sampah). Asumsi penelitian statistik yang ngawur menghasilkan kesimpulan yang ngawur pula.

Di artikel yang sama juga menjelaskan bagaimana common sense, akal sehat dapat digunakan untuk menangani Covid-19. Swedia adalah salah satu negara yang menangani Covid-19 dengan common sense tanpa menimbulkan kepanikan. Penasehat perdana menteri Swedia Stevan Lofven, Dr. Anders Tegnell seorang epidemiologis memberikan masukan agar tidak menerapkan lockdown. Semua sekolah dari TK-SMP berjalan seperti biasa, kantor buka normal, kafe dan restoran ramai pengunjung dengan pembatasan sosial maksimal kerumunan 50 orang. Prediksi Ferguson Swedia tanpa lockdown yang meninggal bisa mencapai 40 ribu pada Juni, ternyata sampai dengan ahir Mei yang meninggal 4 ribu, 0,04 persen dari model prediksi Ferguson.

Covid 19 menimbulkan silang pendapat dan polemik yang bermacam macam. Jika para ilmuwan sendiri yang diharapkan lebih mampu untuk menjelaskan fenomena yang tidak dipahami awam, berada dalam kebingungan, apalagi tokoh agama dan bidang ilmu lain yang tidak terkait dengan epidemiologi, virus dan kesehatan.

Wajar bila di awal pandemi respon pemimpin dunia, tokoh tokoh politik kelihatan aneh aneh. Ada yang menganggap hanya flu biasa tidak berbahaya, korbannya lebih banyak yang sakit flu bengek yang ada di lingkungan kita. Ada menteri yang melarang pakai masker, menganjurkan makan nasi kucing, minum jamu. Orang Indonesia tidak bakal kena Covid-19 karena rempah rempah.  Korona tentara Allah yang diturunkan untuk orang Wuhan karena perlakuan China terhadap muslim Uighur. Di India, tokoh masyarakat mengajak minum kencing sapi sebagai obat anti Corona dan seterusnya.

Sikap sikap itu anggaplah sebagai bentuk kepanikan massa. Ketidaktahuan dan kebingungan yang melanda semua orang sehingga melahirkan kesimpulan, saran dan pendapat yang terkesan tak masuk akal dan kadang kadang terdengar konyol. Wajar pula bila ada yang berpendapat bahwa virus ini konspirasi negara negara kaya dan maju. Virus ini bentuk perang baru, virus war, senjata biologi dan seterusnya. Semuanya adalah ekspresi kebingungan. Perlahan masyarakat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, walaupun setelah 4 bulan berlalu, masih banyak misteri yang belum terpecahkan oleh umat manusia.

Yang disesalkan adalah bila para ilmuwan tidak bersungguh sungguh menemukan jawaban yang sebenarnya. Atau bahkan ada yang memanfaatkan situasi dengan menumpang agenda politik atau agenda ekonomi pesanan dari penguasa. Lockdown sebagai suatu solusi akibat kepanikan dari prediksi matematika dengan asumsi yang menyimpang, ahirnya tidak menjadi jalan keluar yang baik. 

Sebagian masyarakat yang masih berdiam diri di rumah, membatasi bepergian, di luar rumah menggunakan masker, hand sanitizer. Ada yang sudah mengikuti standar hidup new normal dengan mematuhi protokol kesehatan. Bekerja di luar rumah untuk menggerakkan roda ekonomi, membuat dapur tetap mengepul. Ada yang berpendapat tidak perlu takut berlebihan, bekerja sewajarnya, berinteraksi seperlunya tidak perlu panik takut berlebihan, ihtiar seperlunya, berserah diri pada Tuhan. Sebagian lagi cuek bebek dari awal. Covid-19 seperti tidak pernah ada. Bila hari ini kita masih menyaksikan beragam respon masyarakat, itu karena beragamnya cara berpikir orang. Semuanya menebak nebak dalam kebingungan. Ilmuwan yang seharusnya menjadi penerang, tidak dapat semua diharapkan sesuai peran. Bukan menunjukkan tapi menyesatkan.

4 komentar:

  1. Percaya pada pendapat ahli bukan percaya pada yang ahli berpendapat (gus miftah)

    BalasHapus
  2. Seng marai bingung iku niteni seng ndi seng ahli, isone kur ndungo tok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahli ndungo mengatasi semua keahlian, terutama para ahli kubur.

      Hapus