Sabtu, 20 Juni 2020

Gagal Paham Bank Syari’ah

Tahun 1990 Bank Syari’ah berdiri, ketika syari’ah diidentikkaan dengan ekstrim kanan, pendirian negara Islam, peristiwa tanjung priok dan Talangsari Lampung. Untuk menghindari stigma negatif, islam phobia maka bank Islam itu bernama Bank Muamalat Indonesia. Setelah 30 tahun kehadiran bank syari’ah,  stigma Islamisasi dan kesalahpahaman lain masih belum luntur dari pandangan masyarakat.

Pertanyaan yang paling sering muncul dari konsumen dan nasabah bank syariah adalah, apakah biaya di bank syari’ah lebih mahal dibandingkan dengan bank konvensional? Beberapa nasabah bank juga mengeluh mengapa saat dia mengambil pembiayaan di bank angsurannya lebih tinggi dibandingkan ketika dia mengambil kredit di bank konvensional?

Misalnya, mengapa Bank Syari’ah Mandiri lebih mahal dari pada bank Mandiri? Sama sama bank Mandiri, sama sama milik pemerintah, sama sama bank plat merah. Kesimpulan, bank syari’ah lebih mahal dibandingkan yang bukan bank syari’ah. 

Bank syari’ah Mandiri assetnya dibawa sepersepuluh bank Mandiri, sehingga kemampuan memberikan layanan keuangan pun jauh. Seperti membandingkan harga toko eceran dengan agen. Harga di toko eceran lebih mahal karena kemampuan belanjanya lebih kecil dibandingkan toko agen, yang dapat harga lebih murah dari distributor langsung dari pabrik.

Berbagai penelitian di belahan bumi manapun di dunia ini, telah menunjukkan bahwa bank syari’ah lebih menguntungkan nasabahnya dibandingkan bank konvensional. Sebagai bukti bahwa bank syari’ah lebih diminati oleh nasabah, pembiayaan atau ’kredit’ di bank syari’ah selalu habis. Alasannya bukan karena bank Islamnya, tetapi karena dinggap harganya lebih fair bagi nasabah. Di negara yang mayoritas non muslim, yang masyarakatnya rasional seperti Inggris, bank syari’ah diminati oleh nasabah karena lebih ‘murah’ dibandingkan yang bukan syari’ah.

Apakah semua perilaku bank syari’ah baik, tidak ada penyimpangan, tidak ada kesalahan? Sebagai produk ijtihad, bank syari’ah adalah hasil pemikiran di ranah mu’amalah, karenanya Islam memberikan ruang bebas berinovasi untuk terus melakukan perbaikan terhadap ketidaksempurnaan. 

Sistem bank syari’ah didesain sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga penyimpangan ketidakadilan bisa segera auto koreksi. Walaupun sama sama sebagai lembaga intermediasi (jembatan) keuangan antara nasabah yang ‘kelebihan’ uang dan nasabah yang ‘kekurangan’ uang, tapi di bank syari’ah keuntungan terdistribusi secara proporsional kepada setiap orang yang berkontribusi dalam pengelolaan uang. Keuntungan yang didapatkan bank syari’ah besar atau kecil, pasti akan didistribusikan kembali ke nasabah pemilik dana di bank, dalam bentuk bagi hasil (mudharabah). Desain ini secara tidak langsung menempatkan nasabah adalah pemilik bank sesuai dengan penempatan uang/assetnya di bank syari’ah.

Praktik ini tidak akan ditemukan di bank konvensional karena hubungan yang dibangun bank konvensional dengan nasabah adalah hubungan debitur kreditur, peminjam dan pemberi pinjaman. Nasabah memberi pinjaman kepada bank dalam bentuk simpanan, bank membayar bunganya. Bank untung besar atau untung kecil, tidak berpengaruh ke pemilik dana. Ada gambling, untung untungan. Di dalam peran lain, bank memberikan kredit kepada nasabah dengan bunga tertentu. Bank pasti untung sesuai dengan target yang ditetapkan bank, meskipun nasabah usahanya untung kecil. Ada untung untungan nasib nasabah, sementara bank mendapat kepastian profit. Desain dasar bank konvensional sudah tidak fair dari sistemnya.

Bila bank syari’ah lebih baik dari bank konvensional, harusnya pertumbuhannya cepat? Di Indonesia pertumbuhan bank syari’ah tidak secepat Malaysia. Berdiri sejak tahun 1990, bank syari’ah di Indonesia baru mencapai 5% sedangkan Malaysia sudah 40%. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskan angka market share itu. 

Pertama, Bank syari’ah di Malaysia mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah sejak awal. Bank bank milik pemerintah langsung diubah menjadi bank syari’ah. Di Indonesia bank syari’ah adalah inisiatif rakyat, inisiatif swasta, berkembang secara alamiah sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Pemerintah tertarik mendirikan bank syari’ah setelah 10 tahun bank swasta syari’ah berdiri. Pemerintah Indonesia juga ragu ragu mendirikan bank syari’ah sehingga bank bank pemerintah hanya buka office channeling, membuka kantor layanan keuangan syari’ah. Paling jauh menyisihkan sedikit modalnya untuk membuat bank syari’ah.

Kedua, Bank Syari’ah di Malaysia langsung mendapat dukungan regulasi secara penuh sejak awal. Pemerintahannya punya niat kuat menjadi terdepan dalam industri keuangan syari’ah, meskipun penduduk muslimnya 19,5 juta (61,3%). Dukungan perundang undangan langsung di gas. Negara hadir dan memobilisir sumberdaya yang dipunyai untuk membesarkan keuangan syari’ah. Malaysia cepat menangkap peluang keuangan syari’ah global, sehingga lembaga lembaga keuangan syari’ah internasional cepat berpaling ke Malaysia sebagai kiblat keuangan syari’ah. Di Indonesia perlu waktu 18 tahun untuk merestui keberadaan bank syari’ah melalui UU No. 21 tahun 2008 walaupun penduduk muslimnya 207 juta (87,2%).

Ketiga, Indonesia perlu waktu 30 tahun untuk menyadari bahwa pengelolaan dana haji, seharusnya dikelola secara syari’ah oleh lembaga keuangan syari’ah. Dana haji yang dibayar jama’ah untuk tujuan ibadah dikelola secara konvensional. Diinvestasikan di sektor abu abu yang penggunaanya pun abu abu. Makanya kita kerap disuguhi fakta fakta penyimpangan penggunaan dana haji di dana abadi ummat. Dana haji yang sekarang jumlahnya mencapai 100 triliun, adalah dana segar yang dibunga bungakan. Baru mulai tahun 2019 dana haji didekatkan pengelolaanya secara syari’ah, itupun masih diperebutkan pemain pemain lama, tidak sepenuhnya memperkuat arsitektur perbankan syari’ah. Malaysia langsung dari awal mendukung bank syari’ah melalui lembaga Tabungan Haji Malaysia yang sekarang assetnya sudah 180 triliun. Bandingkan jamaah haji dengan dana haji di Indonesia dan Malaysia, maka akan tahu perbedaan cara mengelolanya.

Asset bank syari’ah di Malaysia 2,789 triliun dari penduduk muslim 19,5 juta. Asset Bank syariah di Indonesia 494 triliun dari penduduk muslim 207 juta. Perih rasanya melihat angka angka itu. Berprasangka baik saja, mungkin mesin besar lambat panas. Mesin Indonesia terlampau besar sehingga lambat berjalan. Yang lebih penting dari substansi angka angka itu adalah kesungguhan menciptakan sistem yang adil, pemerataan pembangunan ekonomi. Bank syari’ah punya sistem yang mendukung tujuan itu.

2 komentar:

  1. Ladang dakwah njenengan pak,belum banyak yang mau ambil ancak dakwah muamalah.

    BalasHapus
  2. Ya pak. Menebar berkah dengan muamalah.

    BalasHapus