Selasa, 16 Juni 2020

Budaya Menulis



Berlatih menulis dan konsisten mengikuti apa yang menjadi panduan dan arahan mentor itu sangat baik. Kita mungkin merasa tidak penting pada awalnya, berpikiran yang tidak tidak, karena kita terjebak dalam paradigma berpikir kita yang lama. Kita belum siap menerima menjalankan ilmu baru, karena manusia selalu bersifat seperti itu. Belum mau menerima kebenaran baru sebelum masuk di akalnya. Belum menerima kebenaran baru sebelum merasakan manfaatnya. Belum menerima kebenaran baru bila belum dipaksa untuk mencobanya.

Saya termasuk yang terlambat menerima kebenaran baru belajar menulis dan mempraktikkan cara ‘baru’ menulis yang dikembangkan oleh Dr. Ngainun Naim dosen di IAIN Tulungagung. Sama seperti yang dialami oleh banyak orang yang pernah belajar bersama Kyai Naim. Apa efektifnya cara menulis ini, toh banyak latihan menulis dan teori menulis ya caranya begitu begitu saja? Apanya yang baru? Dengan enggan saya menjalankan step demi step yang harus dilakukan oleh seorang penulis. Proses menerima kebenaran bagi saya ternyata berjalan sangat lamban. Setelah satu tahun mempraktikkan dengan modulasi naik turun. Ahirnya saya mulai sedikit merasakan manfaatnya.

Memulai Habit Menulis

Bagi yang belum mempraktikkan sepenuhnya pasti pernah berpikir seperti saya. Sebagai dosen yang sudah menyelesaikan pendidikan sampai dengan jenjang doktoral, 3 tugas akhir sudah saya lewati, skripsi, tesis, disertasi. Sudah menerbitkan empat buku, puluhan modul kuliah, belasan jurnal dan ratusan makalah dalam rentang puluhan tahun. Saya berprasangka metode Kyai Naim kurang cocok dengan saya. Tulisan saya serius, menggunakan standar akademik yang rigid. Tiba tiba saya harus menulis setiap hari, menulis apa saja yang terlintas, tidak perlu ngecek referensi dulu, menulis bebas (free writing), satu hari 5 paragraf dan seterusnya. Kadang saya ikuti, seringkali tidak mengikuti.

Semakin dipikir, direnungkan, ditimbang timbang, semakin berat untuk menulis. Apalagi kalau ditambah dengan pertanyaan bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Wah tidak cocok dengan teori ini, dengan teori itu. Wah gak ilmiah blas. Wah gak ada manfaatnya. Banyak sekali alasan untuk tidak menulis. Semakin pintar semakin canggih argumen untuk tidak memulai menulis. Semakin merenung, semakin banyak kekurangan yang saya punya sebagai alasan untuk tidak segera menulis. Tak punya waktu tak punya ilmu. Takut jelek, takut salah, takut kelihatan bodohnya. Alasan itu semakin kuat dan semakin masuk akal pada saat saya tidak segera menulis.

Menulis pertama, sedikit lega. Menulis kedua mulai lancar. Menulis ketiga makin bersemangat sehingga langsung menulis ke empat sampai kesepuluh. Banyak kesibukan, berhenti.  Memulai menulis lagi,  serasa memulai dari awal,  proses itu berulang sampai 3 atau 4 kali. Stop dan kembali ke kebiasaan lama, menulis berdasarkan kebutuhan. Menulis belum menjadi budaya saya. Setelah itu masuk ke kunci ajaran literasi Pak Naim yang kedua, menulis setiap hari. Tidak menunggu waktu luang, tapi luangkan waktu.  Bukan banyaknya tulisan yang membentuk habit menulis, tapi disiplin waktu dan menulis setiap hari.

Covid-19 membuat saya punya banyak waktu, tidak ada salahnya mencoba apa yang pernah diajarkan Kyai Naim. Semula saya menulis seminggu satu kali, karena saya juga harus tetap menulis serius, laporan penelitian, makalah untuk jurnal terindeks, membuat artikel untuk dikirim ke even internasional, menyusun buku. Setelah empat kali menulis ajeg, berarti satu bulan sudah berlalu. Saya naikkan frekuensi menjadi menulis setiap hari. Saya buat blog bebas bayar untuk mempublish tulisan dengan tujuan supaya saya terpanggil setiap hari untuk menulis. Provokasi blog berhasil. Menulis menjadi kebutuhan, yang semula kewajiban dan pemaksaan diri. Saya sudah merasa sudah di pintu gerbang budaya menulis. Tapi saya belum merasa mendapatkan fiel yang sebenarnya, karena ini kan kondisi abnormal, banyak waktu dan banyak kesempatan, apakah kebiasaan ini bisa istiqamah pada saat kondisi sempit, banyak kesibukan, tidak ada waktu? Makanya saya terus memperbaiki budaya menulis by desain bukan by accident. Budaya yang dibentuk, dipaksa dan dibiasakan. 

Saya berusaha menulis sebagai latihan, saya abaikan baik buruk hasilnya. Saya tidak mau terjebak dengan penilaian atau apresiasi orang, supaya saya tidak terpengaruh oleh penilaian, sebab alasan alasan inilah yang membuat moral menulis saya melemah. Saya percaya dengan penilaian saya sendiri, saya selalu memuji karya saya bukan untuk sombong, tetapi memberi semangat terus sehingga energi menulis tidak melemah. Hanya saya yang bisa selalu memuji diri, kalau itu yang membuat saya semangat terus latihan menulis mengapa bukan itu yang saya lakukan. Pujian orang lain yang saya rasakan bisa menguatkan, kritik melemahkan, mindset pikiran saya tergantung kepada apresiasi orang lain. Ini kurang baik pada tahap saya sedang latihan menulis.

Sebelum saya bermental penulis, melihat evaluasi sebagai point perbaikan penulis, maka saya abaikan dulu faktor apresiasi pembaca. Sebab kritikan kritikan, saran saran, evaluasi evaluasi itu membuat energi menulis saya padam. Pembimbing skripsi, pembimbing tesis, promotor disertasi, reviewer jurnal, pembahas dan reviewer hasil penelitian saya telah memadamkan dan membunuh kemampuan menulis saya. Bukan salah mereka, tetapi mental dan budaya saya sebagai penulis belum terbentuk walaupun sudah puluhan tahun menulis dan meneliti.

Metode menulis Kyai Naim membantu memulihkan  kepercayaan diri kita sebagai penulis. Tidak banyak teori do it! , lakukan !, tulis !

Bisa untuk menulis santai dan serius, tergantung arah mood. Bukan ada mood atau tidak. Karena kalau menulis sudah menjadi budaya, selalu ada mood menulis. Tinggal moodnya di bawa ke mana? Bawaannya kalau komentar ingin panjang panjang. Karena kebiasaan, apa yang tertulis di dalam pikiran cepat berpindah ke dalam bahasa simbol.

Manfaat Habit Menulis

Alhamdulillah sudah berjalan melewati 60 hari mulai merasakan manfaat menulis. Mengerjakan laporan penelitian tidak ada kendala sama sekali. Asal tersedia data, sepakat dengan kerangka teori, dan nyaman dengan metode yang saya pilih. Maka tulisan mengalir dengan lancar. Ajaib, saya bisa menyelesaikan laporan penelitian dengan jauh lebih cepat dibandingkan biasanya. Tetap mengikuti standar penelitian Litapdimas Kementerian Agama. Tinggal setahap lagi, maju ke penilaian reviewer penelitian. Namun saya yakin penguasaan materinya karena laporan penelitian sepenuhnya keluar dari apa yang pernah saya tulis dan saya olah di kepala saya.

Tinggal Outcome penelitian yang belum mulai saya kerjakan, karena laporan penelitian masih perlu disempurnakan dari aspek perintilannya yang kecil njelimet tapi penting, membutuhkan ketelatenan dan ketelitian. Mengedit tata bahasa, membetulkan selingkung penulisan, mendeley referensi dan seterusnya. Walaupun draft artikel jurnal belum tertulis. Tapi selama proses menulis laporan penelitian, gambaran artikelnya sudah terbayang. Menunggu giliran dipindahkan dari pikiran ke tulisan. Kalau menggunakan istilah Dahlan Iskan, semua bentuk tulisan sudah lengkap di pikiran, tinggal dituangkan. 

Manfaat lainnya, rasanya semua hal ingin ditulis. Karena tuntutan untuk menulis meningkat maka kebutuhan untuk mendapatkan asupan informasi melalui bacaan juga meningkat. Secara alamiah struktur pikiran kita, mendorong untuk mencari informasi baru yang diperlukan untuk bahan baku di pikiran yang mulai menipis, atau membeku. Semakin banyak menulis maka semakin banyak yang ingin saya baca. Semakin banyak menulis, semakin banyak waktu yang saya perlukan untuk mengolah (merenungkan, menghubungkan, merefleksikan, menganalisis, menyimpulkan) informasi atau pengetahuan yang saya terima baik melalui bacaan, pendengaran dan ‘pengamatan’.

Berapa lama?

Oprah Winfrey pernah menyebut waktu 30 hari untuk membentuk kebiasan baru. Betulkah bila 30 hari kita menulis terus menerus dengan metode yang sama maka akan terbentu habit menulis? Berdasarkan pengalaman Maxwell Maltz dalam bukunya Psycho Cybernetics, perlu waktu 21 hari untuk menghentikan kebiasaan merokok, minuman keras dapat dihilangkan.

Saya perlu waktu 4 minggu untuk menghentikan kebiasaan merokok yang sudah saya jalani 6 tahun sebelumnya. Memang di masa setelahnya masih ada keinginan untuk merokok, kemungkinan karena faktor ketagihan nikotin. Berangsur berangsur menghilang total keinginan merokok enam bulan. Setelah satu tahun sudah lupa rasa enaknya rokok. Dan selesai sampai sekarang. Habit tidak merokok saya sudah terbentuk.

Hasil Penelitian lain yang dilakukan oleh University College menemukan, bahwa waktu yang diperlukan manusia untuk membentuk kebiasaan baru paling cepat 18 hari, dan paling lama 254 hari. Kompleksitas latar belakang penulis dalam membentuk habit, maka bisa saja ada yang terbentuk habit menulis dalam waktu 18 hari, tapi bisa lama dari itu. Puasa 30 hari berat diangan angan, tapi ringan dijalankan.

4 komentar:

  1. Sangat inspiratip, Sepakat Ust Perlu pembiasaan dan sy termasuk yg semntara berjuang dlaam hal tersebut

    BalasHapus
  2. Saling menguatkan dan tolong menolong dalam kebaikan (membiasakan menulis) Ustadz Irfan,

    BalasHapus
  3. Tak catet pak, aku tiga hari ini bersembunyi dibalik kesibukan, tidak ada waktu, hari ini mau nulis lagi, antusiasme sedikit memudar, mudah2an tidak jadi ambyar, siang ini harus nulis lagi, tidak pakai tunda lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggeh cak Luk. Tetap semangat. Selalu ada waktu yang diluangkan. Gangguan teknis dapat dimaklumi.💪

      Hapus