Kamis, 18 Juni 2020

Menumbuhkan Budaya Literasi Di Lingkungan Akademik


Mengapa mahasiswa kesulitan mengerjakan tugas makalah tugas kelas? Acap kali, makalah dibuat untuk sekedar menggugurkan kewajiban, tak sedikit yang sekedar melakukan copy paste atau mengumpulkan potongan makalah di internet, disambung sambung sehingga menjadi makalah struktur penuh. Gagah, seperti karyanya sendiri.

Budaya membaca yang rendah dan kemudahan mencari materi di internet, seakan mematikan kreatifitas, sehingga tugas makalah untuk mahasiswa seringkali tidak efektif untuk mendorong mahasiswa membaca dan mencerna materi yang disampaikan dalam perkuliahan.

Mengapa banyak dosen yang kurang menghasilkan naskah jurnal penelitian, proposal penelitian dan karya akademik lainnya? Mengapa perpustakaan kampus sangat kurang diminati baik oleh mahasiswa atau dosen? Mengapa perpustakaan hanya ramai ramai pada saat saat tertentu, selebihnya sepi pengunjung?

Kampus sebagai lingkungan akademik, mestinya riuh dengan aktifitas membaca dan menulis oleh civitas akademik, mahasiswa, dosen dan pegawai. Berbagai pertanyaan di atas yang seharusnya mengandung kondisi kontradiksi, paradoks mengusik saya untuk mengulasnya dalam essai singkat ini.

Sekilas Pengamatan

Kampus dengan 4000 mahasiswa, pengunjung perpustakaan tidak lebih dari 50 orang setiap hari. Dari 150 dosen setiap tahunnya kurang dari 29 usulan proposal penelitian, hanya 8 publikasi ilmiah setiap semesternya, 7 buku setiap tahunnya. Maka rata rata produktifitas dosen sangat rendah, nyaris di bawah 5 persen. 

Kelompok literasi yang digagas untuk menaikkan semangat menulispun, dengan anggota 32 orang, yang betul betu menulis secara konsisten tidak lebih dari 10 Kasus dari contoh angka angka ini hanya satu dari potret 4 ribuan perguruan tinggi di tanah air. Meski tidak 100 persen seperti gambaran itu, tapi mayoritas rendah dalam budaya literasi dan akademik. Bahkan menurut riset CSIS tahun 2018 kalangan milennial, yaitu generasi yang lahir dari tahun1981-1998, budaya menulisnya sangat rendah. Padahal jumlah mereka cukup besar, yaitu 35 % dari penduduk Indonesia, atau sekitar 85 juta. kondisi yang cukup menghawatirkan.

Koleksi perpustakaan mendukung, fasilitas jaringan internet juga sangat bagus, tempat untuk membaca dan menulis juga sangat memadai. Buku buku berkualitas setiap tahun juga bertambah, koleksi perpustakaan makin lengkap. Tersedia pula maktabah syamilah dan koleksi buku digital lainnya yang bisa dibaca dan dicopy. Jaringan internet juga selalu diperbaiki. 

Fasilitas perpustakaan daerah jumlah gedung dan koleksinya melimpah. Akses masuk ke perpustakaan perpustakaan di seluruh kota tersedia dengan gampang. Dengan fasilitas jaringan internet yang prima, akses terhadap sumber bacaan dan referensi digital, ebook di perpustakaan nasional sangat mudah.  Koleksi buku buku digital open akses dalam berbagai bahasa, dengan mudahnya didapatkan oleh dosen dan mahasiswa. Pendeknya semua referensi bisa hadir di depan mata tanpa berdiri.

Dengan fasilitas yang demikian lengkap dan mudah dibaca seharusnya tidak sulit bagi dosen maupun mahasiswa menghasilkan makalah kelas, jurnal jurnal berkelas, proposal dan laporan penelitian berkualitas, publikasi ilmiah yang dikirim ke pengelola jurnal dan penerbit nasional maupun internasional. Syarat referensi untuk jurnal terakreditasi Shinta 6-1 sedemikian mudahnya tersedia secara online, sebab semua jurnal terakreditasi di Indonesia sudah menggunakan Online Jurnal System (OJS). Apa yang menjadi syarat referensi jurnal internasional terakreditasi dan terindeks secara kredibel sebagian besar bisa diakses gratis. Bahkan negara juga memberikan fasilitas gratis ke jurnal berbayar dengan harga langganan puluhan milyar.

Rendahnya budaya literasi dan menulis di tingkat perguruan tinggi ini juga lebih riskan ditemukan pada sekolah sekolah menengah dan sekolah dasar. Bila birokrasi kampus saja tidak bisa mengisi publish website secara kontinue dan bermutu, maka birokrasi pemerintahan di luar kampus kondisinya sama menyedihkan. Di beberapa tempat pemerintah harus menggunakan jasa jurnalis untuk sekedar membuat laporan dinas atau mengisi opini dan advertorial. Bila kampus pun misalnya melakukan hal yang sama, alangkah mengerikan masa depan dunia pendidikan kita.

Spirit Literasi Civitas Akademik

Perguruan tinggi dengan civitas akademik, adalah habitat terbaik pabrik ilmu pengetahuan dan inovasi. Membaca, menulis, perkuliahan dan forum ilmiah adalah aktifitas utamanya. Karena itu seharusnya karya civitas akademika adalah tulisan. Bila demikian rendah produktifitas menulis dosen dan mahasiswa demikian rendah, maka harus ada yang dicurigai, apakah proses akademiknya sudah betul.

Bila menulis tumpul, besar kemungkinan membaca juga sedikit, atau bacaan yang tidak relevan. Jika iklim membaca dan diskusi akademik tidak berkembang, maka pengetahuan yang diserap juga sangat terbatas, tak pernah bertambah lagi. Pengetahuan yang diajarkan tidak pernah beranjak, berputar dari situ ke situ.

Menulis bagi dosen hakekatnya memberi pengayaan terhadap pengetahuan dan materi sebelumnya. Produk pengetahuan yang selalu diperbarui oleh dosen adalah respon terhadap realitas masyarakat yang berkembang. Dosen tidak bisa mendasarkan perkembangan pengetahuan hanya dengan ucapan dan ceramah. Karenanya menulis/berkarya adalah tuntutan kewajiban pendidik mewariskan pengetahuan. Dosen yang tidak menulis berarti tidak puny kepercayaan diri terhadap kepakarannya, dan dia hanya mengajarkan pengetahuan orang lain. Selama dia tidak menulis buku ajar misalnya, maka dia hanya sebagai pembaca pikiran orang lain, dosen lain, pakar lain, ahli lain.

Sebagai pemegang jabatan fungsional dosen asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar, setiap kenaikan pangkat selalu diminta karya ilmiah sebagai produk wajib yang harus dipunyai dosen. Asisten ahli ke lektor syarat utamanya jurnal nasional, lektor ke lektor kepala menggunakan syarat jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional, dari lektor kepala ke guru besar mempersaratkan jurnal internasional bereputasi. Itu yang syarat wajib, ada pula syarat sunnah buku referensi, buku ajar, monograf, modul mengajar, makalah nasional dan internasional. 

Banyaknya syarat karya ilmiah yang harus dihasilkan oleh dosen memberikan petunjuk bahwa kemampuan menulis bagi dosen itu fardhu ain. Karenanya rugi besar apabila dosen tidak mempunyai keterampilan menulis.

Budaya literasi di dunia akademik

Menurut David D. Dill budaya akademik tidak berbeda dengan budaya organisasi sebagaimana yang diuraikan dalam makalahnya yang berjudul The Management of Academic Culture Revisited: Integrating Universities in Iterpreneural. Budaya akademik di perguruan tinggi menentukan dalam membangun budaya masyarakat (civilized Sociaty). Tulisan Badri Munir Sukoco dalam salah satu essainya di koran Jawa Pos menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas perguruan tinggi dengan kemajuan kota. Di Jakarta ada UI, di Jogjakarta ada UGM, di Surabaya ada UNAIR, di Otawa ada Mc Gill University, di Moulbern Australia ada Moulbern University, di California ada UCLA.

David mencatat hal penting dalam budaya akademik adalah budaya disiplin dan budaya profesi akademik. Negara negara yang mendapat manfaat dari budaya ini misalnya dapat kita lihat Jepang, Singapura dan sebagian besar negara Eropa. China dan Korea Selatan dua negara yang sudah mulai memasuki budaya itu dan menikmati kemajuan peradabannya.

Budaya akademik dan budaya profesi dicirikan dengan produktifitas karya ilmiah, komitmen yang kuat dan komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti oleh para akademisi. Literasi para akademisi dan mahasiswa adalah kunci untuk mencapai budaya akademik. Disiplin dan komitmen adalah jalan yang paling pasti untuk menciptakan budaya litersi dan budaya akademik

Organisasi Bisnis Sebagai Benchmark Perguruan Tinggi

Pengalaman Pieter Kemps selama mengamati cara kerja Amazon patut untuk dijadikan rujukan. Menurutnya ada budaya perusahaan yang tumbuh di Amazon yaitu budaya kepemimpinan, rekrutmen pegawai yang tepat dan ekosistem internal yang dinamis dan progresif.

Di Amazon proses kerja organisasi dikendalikan oleh kepemimpinan yang baik di setiap level secara disiplin, dan mengesampingkan proses yang dianggap bertele tele.

Di perusahaan facebook, budaya perusahaan dibangun dengan menempatkan Mark Zuckerberg sebagai role model (uswah al- hasanah) dalam menumbuhkan budaya akademik di perusahaan.

Mark menjadikan membaca sebagai kebiasaan (make reading a habit). Sebagai pengusaha yang sudah sukses, Mark tidak pernah berhenti untuk terus belajar. Prinsip hidupnya yang dia transformasikan menjadi budaya hidup seluruh pegawai facebook.

Sejak tahun 2015 Mark mendisiplinkan diri membaca buku baru setiap minggu untuk berbagai topik, tidak hanya teknologi informasi atau dunia digital. Dan dia menggali hal hal baru melalui buku buku tersebut, bukan bacaan media lain.

Budaya lain yang dikembangkan Mark di Facebook adalah belajar keterampilan baru. Mark dapat berbicara dalam bahasa Mandarin dengan lancar, adalah salah satu pengejawantahan prinsip learn a new skill.

Prinsip prinsip yang dikembangkan dalam kultur perusahaan kelas dunia, bisa menjadi inspirasi bagi upaya membangun budaya akademik di perguruan tinggi, terutama bermula dari budaya literasi menuju budaya akademik unggul. 

Tertarik mencoba?

5 komentar: