Rabu, 10 Juni 2020
Nostalgia Masa Sekolah di Kota
Masuk sekolah di MAN Lamongan tahun 1990, di usia 15 tahun. Di sekolah agama negeri terbaik tingkat menengah atas, baru satu satunya ada di Lamongan. Waktu itu sekolah negeri terfavorit SMA N 2 Lamongan yang kebetulan sama sama berada di jalan veteran.
Lulusan yang diterima di MAN Lamongan mayoritas dari MTs N di Glagah dan Babat, sedangkan saya, lulusan madrasah swasta. Mendaftar berdua dengan Gus Glory Islamic, teman sekolah mulai kelas satu SD sampai kelas 3 MTs. Anak desa pemberani, mendaftar berdua saja tanpa diantar orang tua, naik sepeda mini, melewati jalan tanah desa yang halus mulus dimusim kemarau bulan Juli.
Ingin sekali masuk SMAN 2 apa daya nilai DANEM tak sampai. Saat pengumuman, daftar nilai di urutan ketiga dari 180 an siswa yang diterima di atas saya ada nama Moh. Azus Sony Azhar. Ada 4 lokal yang disediakan di angkatan 1990/1991, sehingga angkatan kami sangat kompetitif. Yang tidak diterima juga banyak. Dalam hati, wah lumayan juga nilai anak desa.
Cita cita saya mungkin terlampau tinggi, ingin jadi dokter, masuk sekolah negeri supaya murah dan dapat pendidikan terbaik. Harapannya lulus nilai tinggi ikut UMPTN dapat masuk PTN , kira kira bayangan anak sekolahan masih unyu unyu.
Tak dapat dibayangkan, kecewa akan datang pada masanya. Tidak semudah dan sesederhana itu Ferguso. Lulusan swasta dengan kurikulum dan pelajaran yang longgar, kemampuan dan bekal pas pasan masuk sekolah negeri yang disiplin waktu, disiplin seragam, disiplin pelajaran. Terjadilah gegar budaya.
Masuk sekolah di depan pintu pagar seperti masuk penjara. Sekolah menjadi gerbang penderitaan, tugas menjadi siksaan, boro boro mikir pelajaran.
Persoalan mula studi bertambah dengan masalah transportasi. Dari rumah sampai dengan sekolah berjarak 8 km, mengayuh sepeda. Empat km jalanan yang dilewati jalan berbatu, menjadi kubangan lumpur di musim penghujan.
Pelajaran menaklukan medan jalan, lebih berkesan dari pada pelajaran sekolah. Kadang tidak jadi sekolah karena masuk kolam lumpur. Bagi siswa lain, lebih aman jalan kaki, pakai sepatu bersih di masjid dekat jalan raya.
Perjalanan paling cepat 1 jam, apalagi jika curah hujan sedang tinggi berangkat pulang sekolah adalah perjuangan berat. Sampai rumah setelah isya’ sudah biasa, dan kerapkali tidak makan minum sejak jam 10 pagi. Energi terkuras habis dalam perjalanan, di kelas tinggal sisa tenaga, akibatnya kantuk dan lelah.
Di musim kemarau, ke sekolah lebih ringan dan cepat. Berarak arak siswa SLTA bersepeda lewat jalan tanah, kadang pematang tambak, jalanan jadi halus, lebih mulus dari aspal. Jalan raya sempit sehingga sering turun ke bahu jalan, apalagi kalau lewat bus Widji yang ugal ugalan.
Sepeda angin juga sering bemasalah, hampir tiap minggu ada saja keluhannya, ban bocor, rantai putus, rem habis kanvas, putus tali rem, velg bengkok, ban nggoser. Masalah masalah ini yang membuat selama kelas 1 sering mbolos. Semester 1 peringkat 7, smester 2 peringkat 23.
Apakah naik kelas 2 masalah selesai? Tidak justru semakin parah, tekanan psikologi menjadi jadi. Kelas 2 fisika di MAN Lamongan dari waktu waktu selalu hanya 1 lokal, jurusan lain kerap kali lebih dari kelas, Biologi misalnya. Alasannya bisa jadi karena sepi peminat, namun yang lebih bisa diterima karena persyaratan nilai yang lebih tinggi di pelajaran eksakta.
Penentuan kelas didahului dengan tes psikologi. Hasil skor IQ (Intelegent Quotient) pada angka tertentu yang dijadikan dasar penjurusan. Yang benarnya bagaimana? Tidak tahu yang jelas di jurusan Fisika memang banyak anak pintar. Katanya.
Semakin banyaknya mata pelajaran ilmu pasti semakin memberatkan masalah yang sudah ada sebelumnya. Sekolah semakin malas, bolos semakin sering, semakin takut masuk pelajaran matematika.
Pelajaran matematika materinya banyak yang saling berhubungan, terkait, saling mempengaruhi. Sekali tidak masuk hilang mata rantai, semakin banyak hilang mata rantai semakin kabur pemahaman.
Masalah matematika ini menjadi mimpi buruk tak berkesudahan sampai sepuluh tahun. Seringkali dalam mimpi ada pengumuman, tidak lulus MAN Lamongan karena nilai matematika di bawah 5. Bangun tidur mikir, kan 9 tahun yang lalu sudah lulus, bahkan sudah sarjana. Apakah ini yang dimaksud traumatik? Tapi selama kuliah masih suka matematika, untungnya matematika untuk ilmu sosial lebih mudah.
Seperti dapat diduga, prestasi semakin merosot. Nilai akademik makin amburadul. Hari hari tidak masuk sekolah dalam satu tahun mencapai lebih dari 90 hari. Ini sekolah negeri, alpa 10 hari dalam 1 semester masalah serius.
Sering berpikir, saya ini benar benar sekolah atau main main. Usia 16 tahun, masa penuh kesadaran, pancaroba. Mungkin ada yang berpikir sedang mencari jati diri.
Kalau sedang ketinggalan masuk, daripada kena hukuman lebih baik tidak masuk, duduk di warung depan kumpul dengan anak anak genk dari beberapa sekolah yang sengaja mbolos karena ‘kenakalan remaja’, bengal dan memang suka tawuran. Sedangkan aku tidak punya potongan bandel.
Masalahnya tidak mungkin pulang sebelum waktunya pulang. Masuk kelas tidak mungkin, mau kabur ke mana? Jangkauan terbatas. Ahir tahun, peringkat kelas ke 39. Ada beberapa siswa di belakang saya, dan saya masih rombongan yang naik ke kelas 3. Sebenarnya kenaikan yang mustahil sebab alpa yang tidak bisa ditolerir.
Sebelum raport dibagikan, saya mengambil inisiatif sowan ke walikelas menceritakan semua masalah, beliau memahaminya. Mudah mudahan pak guru sudah lupa dengan kejadian ini. Tapi bagi saya hal ini penting, karena bisa menjadi noda aib seumur hidup. Pernah bintang kelas, tapi tidak naik kelas.
Saking terbatasnya kemampuan finansial, selama SMA tak pernah sebijipun buku dapat saya beli.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar