Oleh Syaifuddin
Dalam budaya masyarakat kita titel seakan segalanya. Bungkus lebih diutamakan daripada isi. Kemasan diagungkan ketimbang substansi. Pulang dari Makkah tidak dipanggil pak haji, tidak menjawab. Sudah mencapai guru besar, lupa dipanggil dengan gelar profesor, merajuk. Tidak dipanggil doktor, merasa turun kelas. Kalau sudah jadi pejabat hilang namanya jadi pak Menteri, bu Wali, pak camat, pak lurah.
Akibatnya ada yang tergila gila dengan gelar pangkat, meskipun dengan cara culas dan berbohong. Berapa tahun yang lalu banyak dijual Dr., MBA, Ph.D abal abal yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi di Amerika. Perguruan tinggi yang menyaru nama kampus terkenal, padahal lembaga kursus. Untuk menyamarkan diberilah lebel honoris causa. Yudisiumnya di hotel. Hanya demi gelar rela membayar sekian juta, tanpa proses studi selayaknya dengan menghasilkan karya akadmik tesis atau disertasi. Itu karena masyarakat gila gelar.
Belum terlalu lama publik dibuat heboh dengan wawancara di youtube antara Erdian Aji Prihartanto atau Enji dengan Hadi Pranoto, seputar klaim penemuan obat Covid-19. Dua orang ini dilaporkan ke polisi karena dugaan penyebaran berita bohong. Hadi Pranoto mengaku sebagai Dr. dan memanggil dirinya profesor. Belakangan hari dia meralat, bahwa atribut itu hanya panggilan kesayangan.
Main tipu tipu dengan gelar palsu bukan barang baru, di tahun 60 an, ada Djokosutomo yang menambahkan gelar profesor di depan dan gelar M.A dibelakang namanya. Ternyata M.A itu adalah kependekan dari namanya sendiri, Marto Atmodjo. Nipunya lebih berkelas dan gemblung.
Di tanah air, gelar pendidikan jenjang sarjana yang pertama kali ada tiga yaitu : gelar meester in de rechten (Mr.) untuk bidang hukum, dokter (Arts.) untuk kedokteran dan insinyur (Ir.) untuk teknik. Disiplin ilmu yang dianggap penting oleh Belanda di wilayah jajahan yaitu ilmu hukum, kedokteran, teknik dan arsitektur. Penamaan tiga gelar tersebut mengikuti aturan di negeri Belanda. Pada tahun 1930 an jenjang pendidikan diperluas sampai jenjang doktoral dan memperluas disiplin ilmu baru.
Setelah Indonesia merdeka, di tahun 1950 an perguruan tinggi pada zaman Belanda telah berubah menjadi universitas. Gelar akademik di tingkat sarjana pun berkembang dengan hadirnya gelar baru Drs., M.A., dan M.Sc.
Kebingungan penerapan gelar Dr. untuk doktor dan dokter juga pernah memantik polemik di tahun 1960 an. Menimbulkan salah panggil dalam wisuda wisuda. Memicu kerancuan di masyarakat. Dokter bukanlah gelar akademik, tetapi sebutan profesi seseorang yang telah menempuh profesi kedokteran. Singkatan Dr. hanya untuk pemegang gelar doktor, yang diberikan kepada seseorang yang telah menempuh promosi atas karya disertasinya atau penghargaan universitas atas jasa jasa seseorang (doctor honoris causa).
Gila pangkat/titel ini juga sudah berlangsung sejak tahun 1960 an. Orang menampilkan semua gelar berderet deret meskipun keilmuannya linier. Dr. yang sudah menyelesaikan jenjang sarjana dan magisternya dalam bidang yang sama, lazimnya menggunakan gelar tertinggi saja. Boleh memakai gelar yang lain bila disiplin ilmunya berbeda beda.
Kalau zaman dulu gelar ini digunakan untuk menipu dengan berlagak sebagai Mr. Fulan dan Nyonya Ir. Empok. Sekarang tipuan ini naik kelas biasanya digunakan calon anggota legislatif di semua tingkat atau calon kepala daerah. Dengan gelar yang berenteng diharapkan dapat menaikkan citra. Penipuannya naik level.
Ada sebagian orang yang fanatik dengan gelar, waktu guru besar minta dipanggil profesor, tapi sebelum itu jabatannya lektor kepala, tidak minta dipanggil bapak lektor kepala doktor bla bla bla, padahal kedua duanya sama jabatan akademik. Profesor atau lektor kepala disematkan kepada seseorang yang masih menjadi dosen, kalau sudah pensiun atau alih bertugas di bidang lain, jabatan akademiknya tidak ada.
Di sisi lain rasio jumlah doktor (yang beneran, bukan doktor palsu) menentukan kualitas pendidikan. Dalam 1 juta penduduk di Indonesia terdapat 143 doktor, dibawah Malaysia dengan rasio 509 doktor, India dengan 1.410 doktor, Jepang dengan 6.438 doktor, Amerika serikat dengan 9.850 doktor.
Di Indonesia jumlah doktor mencapai 75.000 akan sampai pada angka 100.000 di tahun 2022 dan 150.000 doktor akan tercapai pada 2026. Ini doktor asli semua, karena negara betul betul menggenjot kualitas pendidikan pada tingkat doktoral dengan berbagai beasiswa seperti LPDP dan program 5000 doktor. Mulai tahun 2016 LPDP dan program 5000 doktor sudah memanen ribuan doktor lulusan dalam dan luar negeri.
Ayo sana cari ilmu yang bener. Gelar itu bonus, bukan tujuan.
28 September 2020
#142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar