Oleh Syaifuddin
Orang awam yang membaca peta dan perilaku politik. Saya awam tentang politik, tidak pernah belajar tentang teori teori politik. Satu satunya yang saya punya adalah hak politik. Maka yang saya sampaikan berikut ini adalah refleksi pembacaan orang awam, dengan nalar awam.
Saya mulai tertarik mengamati dinamika partai politik PDI Perjuangan sejak peralihan dari orde baru ke era reformasi. Sekarang ini disebut era reformasi atau pasca orde baru? Yang menarik bagi saya adalah partisipasi rakyat dengan mendirikan posko PDI perjuangan bahkan sampai di lorong lorong kumuh, menandai kemenangannya. Pada masa transisi, partai ini mampu mengambil hati beragam segmen maasyarakat. Di wilayah wilayah basis nahdhiyin pun pendukung banteng moncong putih cukup banyak, nyaris sama jumlahnya dengan pendukung PKB zaman Gus Dur.
Semacam arus balik dukungan, atau perlawanan dari orang orang yang tertekan. Rakyat mendukung partai banteng, sebagai pelampiasan dari rasa frustasi. Sebagaimana kita ketahui bersama PDI pro Mega dikuyo kuyo, diadu domba dengan PDI Suryadi. Kesan saya cukup mendalam di masa transisi ini, karena pada masa itu peralihan PDI ke PDI perjuangan sangat terasa di Surabaya, apalagi sekjend PDI perjuangan yang pertama adalah Ir. Sucipto, yang arek Suroboyo. Kedung Doro sebagai markas banteng di Surabaya gemuruhnya sangat terasa.
Tapi semakin ke sini partai ini tidak menarik saya secara pribadi. Karena di lingkungan saya pendukung partai ini adalah orang abangan, yang sering bikin kisruh atau di jalan jalan, yang tidak jelas. Apalagi di saat kampanye, sebagai masyarakat umum, perilaku konstituennya menjengkelkan.
Di tahun 2004-2014 kita kerap membaca berita yang menunjukkan perilaku negatif partai ini. Sering terkait dengan dunia hitam, bromocorah dan mafia politik, atau tersangkut kasus korupsi. Kerusuhan dan pembakaran di Tuban karena kekalahan calon bupati dari PDI perjuangan juga menambah tidak simpatik kita.
Namun dibalik semua itu ada satu fenomena yang berbeda. Apakah itu karena keterbatasan bacaan dan kemampuan saya membaca realitas, tapi yang jelas ada beberapa anomali yang menarik. Saya akan membuat perbandingan dua tempat tinggal saya yaitu Ternate dan Surabaya. Secara de facto saya tinggal di Ternate, tetapi secara de jure saya tinggal di Surabaya. Bingung? Ya sudah.
Sejak bu Risma naik jadi walikota Surabaya, secara pribadi saya punya kesimpulan, bahwa PDI Perjuangan mempunyai daya penciuman yang baik dalam menominasikan seseorang menjadi kepala daerah. Pilihan ini masih on the track, pada saat memilih pengganti bu Risma yaitu pak Eri Cahyadi pada hajatan pemilihan umum kepala daerah di Surabaya pada Desember 2020.
Bu Risma awalnya bukan kader partai, seorang birokrat yang serius dan mumpuni. Saya beberapa kali terlibat dalam kegiatan bersama saat bu Risma masih kepala Bapeko dan Kepala Dinas pertamanan. Visi kepemimpinan, pelayanan dan pembangunan sudah bisa dilihat pada saat belum masuk ke radar partai politik. Kerjanya cak cek, shat shet, tangkas, efektif dan efisien. Surabaya dengan pemilih lebih dari tiga juta, mempunyai dinamika politik yang tinggi dan menjurus keras.
Kehebatan dalam memilih orang yang tepat dan meyakinkan tokoh tokoh PDI perjuangan di daerah konstituen gemuk, tidak kemampuan biasa. Harus kita akui jam terbang Bu Mega dalam mengendalikan dan memimpin PDI perjuangan, semakin matang. Salah satu dari beberapa elemen politik reformasi yang masih memegang peranan kunci. Pak Bambang dan pak Sakti dapat secara legowo menerima keputusan politik yang tidak menguntungkan. Bu Mega sendiri juga cukup rasional secara legowo menyerahkan tiketnya kepada presiden Jokowi. Ini salah satu poin penting yang dipunyai bu Mega dan tidak dimiliki oleh para politisi senior.
Rakyat Surabaya secara umum puas dengan kinerja Bu Risma dan punya kepentingan untuk memperjuangkan keterpilihan oleh orang yang didukung bu Risma, pak Eri Cahyadi. Sebagai orang yang pernah tinggal lebih dari 20 tahun di Surabaya, saya merasakan perubahan yang sangat pesat sejak Surabaya dipimpin bu Risma. Mulai dari masalah banjir, sampah, keindahan kota, pelayanan kependudukan, kelancaran jalan raya, fasilitas pendidikan dan sebagainya. Sangat jauh perbedaannya dengan walikota walikota sebelumnya, mulai dari Pak Sunarto Sumoprawiro sampai pak Bambang DH.
Kesimpulan saya pemilihan walikota dan wakil walikota di Surabaya betul betul dengan pertimbangan suara masyarakat dan tidak terasa aroma politik uang. Bekerjanya para preman atau mafia politik. Rasanya kadang tidak bisa dipercaya, tapi melihat rekam jejak bu Risma dan Pak Eri sangat bersih. Tentu bersih dalam pengertian dunia politik yang memang begitulah.
Lain di Surabaya lain pula di Ternate. PDI Perjuangan telah mempunyai kandidat kuat calon walikota dan wakil walikota pengganti Haji Bur yang sudah menjabat dua periode. Nuansa oligarkhi, penyandang dana dan pat gulipat uang mahar santer terdengar, seakan menjadi rahasia umum. Bahkan ada anggapan yang berkembang, sekuat apapun calon kepala daerah akan terasa berat menang jika tidak memakai kendaraan partai tertentu. Kalau di Surabaya PDI Perjuangan mampu memilih calon dengan pertimbangan aspirasi masyarakat secara jernih, sedang di Ternate partai kembali ke perilaku umumnya. Di Surabaya saya rasakan sebagai anomali perilaku politik PDI Perjuangan.
Sebagai masyarakat awam yang kita rasakan, partai sangat begitu berkuasa. Kalau partai-partainya baik maka baiklah sistem politik kita dan pemimpin pemimpin yang dihasilkannya. Demikian pula sebaliknya. Partai politik nampaknya masih menjadi alat untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Belum ada partai yang sangat ideologis. Apa yang disebut sebagai ideologi dan dijajakan oleh partai politik tak lebih dari pepesan kosong, yang isinya hanya strategi mengelabui konstituen.
Meskipun demikian saya masih meyakini demokrasi masih alternatif terbaik dari pilihan pilihan yang tersedia. Karena dalam sistem demokrasi, masih dibuka ruang interupsi dan partisipasi publik. Jika partai politik sekarang sedang memegang peranan dominan, tapi membuat politik jalan di tempat atau jalan mundur dengan fenomena oligarkhi, mafia dan politik uang semoga kedepan ada perbaikan sistem politik seiring dengan kedewasaan bangsa ini berdemokrasi.
Sangaji Ternate
4 September 2020
#117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar