Oleh Syaifuddin
Kini belum di ujung ahir tahun, tapi rasanya ingin cepat mengahiri. Supaya semua cepat berlalu. Seperti yang dirasakan semua orang di belahan dunia manapun, tahun 2020 seperti tidak ada. Hampir 12 bulan waktu bergerak terus, tetapi semua hal seperti jalan di tempat. Bisa dikatakan kita mengalami kemunduran. Aura negatif dan murung menyelimuti. Pertumbuhan ekonomi minus, yang artinya masyarakat lebih miskin dari tahun lalu.
Penuh tanda tanda negatif. Kehilangan, kekurangan. Kalau diteruskan mungkin sekujur tulisan ini sampai penutup dan bahkan berseripun tidak akan cukup untuk menampung semua perasaan nestapa. Tetapi tidak akan mengubah apa apa. Sebaiknya yang perlu ditata ulang, yang perlu dibetulkan adalah sikap kita menghadapi pandemi, bersikap terhadap bencana.
Menurut Konfusius ada tiga cara untuk menjadi bijaksana : melakukan refleksi, dengan meniru tindakan bijaksana, mengalami untuk menjadi bijaksana. Mendapatkan hikmah dengan melakukan refleksi adalah cara paling mulia. Memperoleh hikmah dengan meniru adalah cara paling mudah. Mengambil hikmah dari pengalaman adalah cara paling pahit.
Sebagian dari kita menemukan sisi yang tak terlihat oleh halayak. Mempunyai waktu lebih banyak untuk melakukan refleksi. Melihat secara jernih perjalanan hidup. Memilah yang baik dan yang buruk. Menetapkan yang berguna dan yang bermanfaat. Punya waktu yang cukup untuk memulihkan jiwa, memperbaiki relasi dalam keluarga, memperbaiki tindakan-tindakan mubazir.
Ada yang menemukan kesempatan untuk menulis buku, membuat catatan catatan penting, menggali pengetahuan terpendam, mengasah keterampilan berkarya. Melanjutkan proyek pribadi yang terhenti, atau bahkan tidak pernah terjamah karena tidak ada waktu. Banyak banyak ide ide baru lahir karena tubuh tidak berpindah pindah. Ketika tubuh bergerak terbatas, pikiran bergerak bebas.
Kalau kita perhatikan riuh rendahnya dunia maya, banyak dibanjiri dengan konten konten kreatif. Hoaks masih ada tapi tidak setinggi saat sebelum pandemi. Para pemikir, kaum intelektual banyak melahirkan buku dan tulisan. Memang masih ada yang memproduksi konten konten negatif, tapi dengan sendirinya terpinggirkan oleh ide ide kreatif.
Tulisan, status, berita lebih positif dan bijaksana, menutupi jagat maya kita yang porak poranda, terpecah belah akibat berbagai momen sosial di tahun tahun sebelumnya. Pandemi seakan menjadi penyiram bara nyala api sikap durjana antar manusia. Pandemi memberi kesempatan semua umat manusia yang mau menggunakan nuraninya untuk melakukan refleksi mandiri. Pandemi memberikan metode mulia untuk menjadi bijaksana. Mumpung pandemi belum selesai jangan ketinggalan untuk terlibat menjadi bijaksana. Perlu seratus tahun lagi mendapatkan kesempatan berharga ini.
Cara lain untuk menjadi bijaksana adalah dengan meniru. Di sepanjang kehidupan, pada setiap berita, kita saksikan orang orang yang bertindak bijak. Di awal pandemi misalnya, penduduk Jepang mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Wuhan dengan kalimat kalimat yang penuh kedamaian, bersimpati dan saling menguatkan. Padahal sebelumnya kedua masyarakat ini punya riwayat perselisihan.
Solidaritas sosial tumbuh di tengah kegersangan ruhani dan individual. Beberapa orang menyediakan bahan makanan dan sayuran gratis kepada siapa saja yang membutuhkan. Menyediakan sembako yang diletakkan di pagar pagar rumah, dipersilahkan mengambil bagi yang memerlukan. Ada pula yang tidak mengambil, tapi justru menaruh bahan makanan lain yang mungkin sangat diperlukan oleh orang lain. Kesadaran sosial yang tumbuh dari kepekaan akal budi yang masih murni. Saling mempengaruhi dan saling menginspirasi. Sikap bijak yang dapat ditiru dari orang lain, tidak perlu repot tapi baik.
Beberapa wali santri yang tidak diperbolehkan menengok anak-anaknya di pesantren, bekerjasama mengirimkan paket makanan yang dapat dimakan bersama. Masing masing berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Tidak perlakuan ini anak siapa, itu putra siapa, semua anaknya dan semua orang tuanya. Gotong royong dan solidaritas sosial yang sulit muncul jika tidak ada wabah dan musibah seperti sekarang ini.
Jalan bijaksana berikutnya yaitu memperoleh dengan cara mengalami sendiri. Anak kecil tidak sembrono bermain api, karena pernah merasakan sakitnya dijilat api. Pengalaman pengalaman pahit memberikan pelajaran untuk tidak mengulangi jalan yang sama, kita menjadi bijaksana. Kita pernah bersikap kurang tepat dalam menghadapi pandemi. Menjadikannya mainan, gurauan. Ahirnya sampailah bencana pandemi menjadi bagian hidup kita. Sudah 200 ribu lebih orang terinfeksi virus, sudah 8 ribu lebih orang meninggal. Tanggal 3 Maret yang terinveksi baru 3 orang, sekarang sudah ratusan ribu, dan masih akan terus bertambah.
Apakah pengalaman pahit ini belum pula membuat kita bijaksana? Semuanya berpulang pada nurani kita.
15 September 2020
#128
Ajiiib, prof. Makasih atas nasihatnya.
BalasHapusPak Dr. Ulis, lama tidak muncul ini. selamat datang.
BalasHapus