Sabtu, 19 September 2020

Kekuatan Tradisi Pendidikan

Oleh Syaifuddin



Al Azhar usianya sudah ribuan tahun. Didirikan pada masa dinasti Fatimiyah. Imam Ghazali salah satu dosen yang pernah mengajar di al-Azhar, beliau wafat 1111 M bisa dihitung kira kira usianya lebih dari satu milenium. Alhamdulillah saya belum pernah kuliah di sana, mudah-mudahan anak cucu nanti ada yang tergerak studi di sana, sementara ini yang sudah siap malah perginya ke negerinya Sultan Mehmed al-Fatih.

Fasilitas al-Azhar tidak semegah namanya. Sederhana. Kelas kelasnya cenderung kotor dan berdebu. Tempat duduk jarang digunakan, debu menumpuk dan di sana sini banyak sarang laba-laba. Kelas kelas di Al-Azhar tak lebih dari dua kali dibersihkan selama satu tahun, yaitu masa masa ujian. Mesir memang negeri berdebu. Menjelang dan pasca musim dingin berhari hari debu berterbangan, menumpuk tebal, seperti di Jawa setelah abu vulkanik gunung kelud meletus. Arsitek Italia yang didatangkan untuk membangun Al-Azhar tidak bisa menghindarkan bangunan imbas dari debu.

Meskipun penampilan tua, tetapi al-Azhar tidak pernah sepi melahirkan ulama ulama besar berkaliber internasional di berbagai negeri muslim, di semua bidang ilmu keagamaan. Ada Prof Quraish Shihab (Indonesia), Dr. Said Ramadhan al-Bouthi (Syiria), Dr. Yusuf al-Qardhawi (Qatar), Prof. Wahbah Al-Zuhaili (Syiria), Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. Hamdi Subhi Thaha, Dr. Muhammad Abu Musa, Dr. Ibrahim al-Khouli, Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, Dr. M. Imarah, Syeikh Hasan Isa al-Ma’sharawi, Dr. Hasan al-Syafi’i, Dr. Sa’duddin Hilali, Dr. Yahya al-Qathani, Dr. Ibrahim al-Hud-Hud dan ribuan lagi.

Demikian juga Pondok Gontor, usianya akan memasuki satu abad, cukup tua untuk ukuran pesantren di Indonesia. Berkhidmat pada pendidikan di tingkat menengah yang dikenal sebagai Kulliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI). Meskipun namanya besar, tapi fasilitasnya sederhana. Meskipun semua fasilitas tersedia, tapi jangan bandingkan dengan beberapa pesantren yang memberikan fasilitas bagaikan hotel. Meskipun sederhana, Pondok Gontor tak pernah sepi melahirkan tokoh tokoh berprestasi.

Beberapa nama tokoh nasional sangat familiar dan dikenal dengan baik oleh publik. Ada Prof. Dr. Nurcholis Majid, Prof. Din Syamsuddin, Prof. Amin Abdullah, Kyai Emha Ainun Najib, Kyai Hasyim Muzadi, Lukman Hakim Syaifudin (Mantan Menteri Agama), Maftuh Basuni (Mantan Menteri Agama), Prof. Masdar Hilmi, Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ustaz Abu Bakar Ba’asyir, Dr. Hidayat Nur Wahid, serta ribuan lainnya yang belum dapat disebutkan.

Ada beberapa kesamaan yang membuat dua lembaga ini sukses berprestasi. 

PERTAMA : PENCIPTAAN IKLIM ILMIAH

Di Al-Azhar terdapat puluhan majelis ilmu-atau yang biasa disebut talaqqi, tiada henti mulai dari pagi hingga malam. Majelis ini bisa berjalan karena keikhlasan para masyayikh dalam mengajar. Datang ke majelis majelis dari tempat tempat yang jauh. Bahkan ada yang pulang pergi Alexandri-Kairo seminggu sekali sejauh 5 jam perjalanan mobil.

Para masyayikh inilah yang menyerahkan hidupnya untuk ilmu, berkhidmat sepenuh hati untuk mengajar tanpa lelah. Mereka menjaga ilmu dengan cara mengajar. Dengan mengajarkan secara kontinue semua ilmu di majelis, membuat al-Azhar tidak pernah sepi dari atmosfir pendidikan. Ilmu yang diwariskan dari generasi ke generasi di al-Azhar.

Di Pondok Gontor kegiatan pengajaran dilaksanakan mulai jam 07 pagi sampai jam 23 malam, dengan jeda kegiatan ibadah makan dan mandi. Dilakukan setiap hari selama 10 bulan penuh. Hari jum’at libur pembelajaran kelas, tetapi tidak libur dengan pembelajaran lainnya, berorganisasi, olahraga dan aktifitas pendidikan non kelas lainnya.  Setiap hari ada kelas pagi, sore dan malam. Mata pelajaran yang diujikan antara 36-45 pelajaran, bandingkan dengan SMP dan SMA sekitar 15 pelajaran.

Santri Pondok Gontor belajar dua puluh empat jam sehari, karena aktifitasnya tidak pernah berhenti. Denyut nadi kegiatan pembelajaran berdetak terus. Santri tidak hanya belajar ilmu akademik, juga belajar berbagai hal dalam kehidupan. Setiap santri dibekali ilmu agama, ilmu umum, ilmu kemasyarakatan, khutbah, publik speaking, mengajar, bekal yang lengkap untuk menjadi pemimpin keagamaan di komunitasnya. Dokter, tentara, polisi, politisi, guru, pengusaha, menteri, dosen dan beragam pekerjaan lain adalah profesi. Di dalam diri para santri ditanamkan ilmu untuk menjadi pelayan umat, pembimbing umat, apapun profesinya.

Setiap santri menjadi guru, sehingga Pondok Gontor tidak pernah kehabisan pendidik. Meskipun ribuan santri ratusan kelas dengan berbagai ragam mata pelajaran tidak pernah kekurangan guru. Karena pendidik mengabdi dengan sepenuh jiwa, tidak mengharap bayaran. Secara berjenjang kemampuan mengorganisir, mengelola kegiatan pondok, sampai dengan mengajar dirancang sistemnya.

Sistem ini yang membuat pembelajaran di Pondok Gontor tidak pernah berhenti, tidak pernah kehabisan ustadz, tidak pernah kekurangan Kyai. Bahkan sering surplus ustadz, sehingga diperbantukan di pondok pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya. Setiap tahun ribuan lulusan Pondok Gontor mengabdi satu tahun sebagai guru di ribuan pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Produktifitas dalam menghasilkan pendidik dan mencetak pendidik menjadi satu sistem yang berjalan hampir seratus tahun.

19 September 2020

#132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar