Minggu, 20 September 2020

Kesamaan Al Azhar dan Gontor

 

Oleh Syaifuddin


Al-Azhar dengan usianya yang ribuan tahun tetap konsisten berkontribusi mencetak ulama’ dan cendikiawan bagi dunia Islam. Perguruan tinggi Islm tertua yang didirikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 953 berlokasi di Kairo, Mesir. 

Cikal bakal perguruan tinggi ini dari sebuah masjid raya al-Azhar yang dibangun atas perintah Khalifah al-Mu’izz Lidinillah. Universitas al-Azhar semakin masyhur setelah melalui berbagai dinasti diantaranya Fatimiyah, Ayyubiyah, Mamluk, Turki Utsmani, sampai Mesir modern. Tak terhitung penguasa yang menjadi pelindung bagi perkembangan ilmu pengetahuan di universitas ini. Ditopang perpustakaan dengan koleksi 7.700 buku yang berdiri sejak 1872 mendukung sistem lingkar studi (halaqah), diskusi (niqasy) dan dialog (hiwar).

Universitas al-Azhar mempunyai rektor/syekh untuk pertama kalinya pada tahun 1517, saat jawa masih diIslamkan oleh walisanga, Majapahit menjelang kejatuhannya untuk digantikan oleh penguasa penguasa muslim diantaranya Demak. Di wilayah Nusantara lainnya, armada dagang dari Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mulai menjelajah mencari penopang modal ideologi kapitalismenya.

Satu milenium kemudian, setelah berdirinya Universitas al-Azhar, di wilayah pinggiran dunia Islam, Nusantara,  di wilayah Jawa Timur, tepatnya desa Gontor, kecamatan Mlarak, kabupaten Ponorogo, pada tanggal 19 September 1926 berdirilah Pondok Gontor.

Pesantren ini sebagaimana umumnya lembaga pendidikan Islam di Nusantara yang bermula dari masjid, Kyai, Santri, asrama dan pengajaran kitab klasik, tetapi sejak awal sudah menggunakan pendekatan yang modern. Meskipun telah melampaui tiga zaman, yaitu zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang dan zaman Indonesia merdeka Pondok Gontor sudah menerapkan manajemen dan pendekatan orientasi modern sejak awal. Dalam hal manajemen pondok pesantren, tradisi pengajaran, cara berpakaian, sistem asrama, penggunaan dua bahasa (Arab dan Inggris) Pondok Gontor berbeda dengan umumnya pondok pesantren di Indonesia.

Yang membuat dua lembaga pendidikan ini produktif menghasilkan ulama’ dan cendikiawan selain faktor atmosfir pengajaran atau situasi pendidikan juga ditentukan oleh kurikulumnya.

KEDUA : KURIKULUM

Kurikulum al-Azhar sangat memadahi. Menurut para pelajar, kurikulum disusun dan didesain secara berurutan atau tadarruj. Tertib ini penting untuk memudahkan para pelajar mencerna secara optimal suatu disiplin ilmu. Misalnya dalam bidang teologi, di sekolah tingkat menengah diajarkan al-Kharidah, di masa kuliah dilanjutkan dengan Jauharah al-Tauhid, dijenjang lanjut atau spesialis diajarkan al-Mawaqif. Metode ini sudah diterapkan puluhan tahun, sehingga pembelajaran suatu disiplin ilmu dapat berlangsung maksimal, tidak maju mundur dan membingungkan.

Kitab kitab yang diajarkan juga dipilih secara cermat, diseleksi secara ketat. Ratusan tahun proses seleksi kitab. Dibahas dan didiskusikan dalam berbagai majelis dan tingkat sehingga layak untuk diajarkan. Kitab kitab yang pada ahirnya menjadi kajian utama tidak tiba-tiba masuk secara sembarangan. Semua aspek dipertimbangkan, karena al-Azhar menjadi kiblat akademik dunia Islam yang bertahan ratusan hingga ribuan tahun.

Konsistensi penerapan kurikulum menjadi poin penting keunggulan al-Azhar. Kurikulum yang diajarkan, diktat perkuliahan dipilih melalui seleksi tim ahli. Dalam rentang puluhan tahun kurikulum dan diktat tidak mengalami perubahan, kecuali sedikit sekali penyesuaian penyesuaian yang diperlukan. 

Meski seleksi kitab rujukan dan diktat yang diatur sedemikian ketat, tetapi kebebasan berfikir tetap diutamakan. Dalam diktat kuliah selalu dimasukkan keragaman pendapat, perbandingan mazhab. Dalam bidang fiqh, mahasiswa biasa mendiskusikan empat mazhab Maliki, Khanafi, Syafi’i dan Hambali dengan sesekali menyinggung mazhab Syi’ah atau Zhahiri.

Dalam bidang kalam, mahasiswa dibiasakan mendiskusikan pendapat Mu’tazilah, Orientalis bahkan atheis. Bukan hanya mengetahui soal perbedaan pendapat dan memahami pemikiran mazhab, mahasiswa juga diajarkan cara bersikap terhadap perbedaan itu. Yang secara ilmiah benar diterima, bila salah akan ditunjukkan letak kesalahannya. 

Boleh berfikir bebas, tetapi tidak boleh berpikir bablas. Boleh berpikir bebas tetapi tidak berpikir ngawur. Kebebasan bertujuan untuk mencari kebenaran, obyektifitas dan keilmiahan menjadi pegangan. Sedang berpikir bablas mencari cari dalih supaya benar, bukan mencari kebenaran.

Kurikulum Pondok Gontor selama puluhan tahun tidak pernah berubah, terutama pada pelajaran pelajaran yang prinsip. Materinya mengalami penyesuaian dan pengayaan sebagaimana perubahan zaman. Konsistensi dan kekokohan kurikulum yang diajarkan membuat keluaran yang dicapai dalam proses pendidikan juga optimal. 

Kurikulum bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu ilmu keagamaan nyaris tidak pernah berubah selama puluhan tahun. Pondok Gontor menerapkan prinsip 100% pendidikan agama dan 100% pendidikan umum. Terdapat 36-45 mata pelajaran yang diajarkan mulai kelas 1 sampai dengan kelas 6. Yang diajarkan di Pondok Gontor beberapa kali lipat dibandingkan dengan lembaga pendidikan setara di luar pondok. Karena itu perubahan kurikulum yang terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama sudah diterapkan terlebih dahulu di Pondok Gontor.

Pondok dalam menerapkan kurikulum yang unggul juga didukung oleh sistem pengajaran yang efektif, karena dignity, daya juang, kesungguhan para Ustadz. Sistem pengasuhan, pengajaran dan pendidikan yang didukung oleh manajemen Kyai sebagai pengasuh, Ustadz sebagai pengajar, didukung oleh Ustadz muda dan mudhabir membuat sistem pendidikan di Pondok Gontor berjalan dinamis.

Seorang Kyai Pondok Gontor mengilustrasikan hubungan kurikulum dan pengajar seperti orang yang memotong kayu kering dengan golok yang tajam. Perlu waktu yang lama untuk membuat kayu terpotong bila yang digunakan untuk memukul punggung golok, atau dilakukan dengan tidak serius, mungkin malah tidak pernah terpotong kayu tersebut kalau golok itu hanya dibuat main main. Tetapi di tangan pemotong kayu yang terampil, dengan kesungguhan tenaga dan golok yang tajam, sekali tebas kayu akan terpotong dengan sempurna.

Itulah gambaran penerapan kurikulum di Pondok Gontor. Kurikulum yang baik dilaksanakan oleh tenaga pendidik yang alim dan dilakukan dengan kesungguhan hati, diikuti oleh santri yang bersungguh sungguh menuntut ilmu maka hasilnya akan optimal.

Kurikulum yang kuat dan dirancang dengan serius menjadikan Universitas al-Azhar dan Pondok Gontor berhasil melahirkan cendikiawan, ulama’ dan para ahli agama.

20 September 2020

#133


2 komentar: