Rabu, 02 September 2020

Ilusi Penghalang Menulis

 

Oleh Syaifuddin



Mental blok, stigma membuat kita terkungkung dengan batasan pikiran kita sendiri. Tidak mungkin saya jadi penulis, usia sudah senja, tidak punya waktu dan hambatan lain yang menghalangi kita menerobos batasan. Batasan itu ilusi yang dibuat oleh pikiran kita. Cerita berikut ini, semoga dapat membongkar pikiran negatif dan batasan yang membelenggu kita.

Prof. Jerzy Neyman, maha guru matematika di University of California Amerika Serikat, sudah selesai memberikan kuliah perdana. Seorang mahasiswa, terlambat kuliah. Dia tiba di kelas ketika sudah tidak ada mahasiswa sama sekali. Dia mendapati ada dua soal matematika tertulis di papan. Dengan cekatan dia menyalin soal tersebut untuk dikerjakan di rumah. Mahasiswa baru tersebut memperkirakan dua soal matematika tersebut adalah tugas yang diberikan kepada seluruh mahasiswa kelas matematika.

George Dantzig berhari hari mencoba menyelesaikan tugas tersebut. Dia mencoba berkali kali, tetapi tidak segera menemukan pemecahan. Soal itu dirasakan sangat sulit, berbagai cara dicoba. Tidak biasanya soal matematika begitu berat dibandingkan dengan dua soal yang dihadapinya saat itu. Dengan berprasangka baik, dikerjakannya berbagai metode. Dia yakin setiap soal pasti ada jawabannya. Tak terbersit sedikitpun prasangka bahwa soal itu tidak akan terpecahkan, terus mencobanya, karena tugas mahasiswa ya belajar menyelesaikan masalah matematika.

Beberapa hari kemudian dia dapat menyelesaikan soal nomor satu dan segera menemui profesor untuk menyerahkan tugas. George minta maaf atas keterlambatan. Karena sudah terlambat dia bertanya pada Prof. Neyman, apakah masih bersedia menerima tugasnya. Neyman tidak menanggapi, karena sedang sibuk. Dia meletakkan tugas matematika di meja dosennya yang berantakan. Dia tidak yakin profesor akan mempedulikan hasil kerjanya, bisa saja terselip.

Enam mingggu berlalu, di suatu pagi George terbangun karena pintu kamarnya diketuk dengan sangat keras. Saat membuka pintu ada profesor dengan wajah antusias. Dengan bersemangat ia berkata : “saya akan mempublikasikan hasil karyamu dalam seminar internasional matematikawan”. George masih keheranan. “soal yang kamu selesaikan adalah soal tersulit di dunia yang selama puluhan tahun tidak terpecahkan, dan kamu telah membuat penyelesaian dan jawaban dengan baik.

George berkata: “soal di papan itu saya kira pekerjaan rumah yang bapak berikan untuk seluruh mahasiswa matematika, makanya saya berusaha dengan segala cara untuk memecahkan soal tersebut”. Selanjutnya George menjelaskan semua usahanya untuk memecahkan soal matematika itu. 

Soal itu bukan hukuman untuk mahasiswa yang terlambat ataupun tugas untuk mahasiswa baru. Prof. Neyman sedang menjelaskan tentang dua buah soal tersulit di muka bumi dan sampai saat itu belum ada satupun yang bisa memecahkan termasuk Neyman. Soal itu disampaikan untuk memberikan gambaran fenomena yang muncul dalam bidang matematika.

George Dantzig yang kelak dikemudian hari menjadi matematikawan kelas dunia di masa sekitar perang dunia kedua.

Seandainya George hadir dalam perkuliahan tersebut, mungkin ujung ceritanya lain. Ketidaktahuan telah menyelamatkan dia dari blog mental. Atribut bahwa soal itu sulit dipecahkan, dan puluhan tahun para matematikawan tak sanggup memecahkan, jauh lebih berat daan sulit dibandingkan kesulitan soalnya sendiri. Tanpa beban dan blok mental membuat dia tanpa beban bisa menyelesaikan soal dengan sungguh sungguh dan optimal.

Pelabelan bahwa saya tidak pintar, saya tidak bisa, saya bukan penulis adalah atribut atribut yang kita sandangkan sendiri sehingga kita tidak berusaha melangkah. Seperti George sebenarnya pikiran dan kemampuan kita sangat hebat, belenggu pikiran yang membuat kita membuat batasan batasan. George secara tidak sengaja terselamatkan karena ketidaktahuan. Dia tidak menerima informasi yang membuat batasan batasan pada pikirannya. Di pikiran dia, ini pekerjaan rumah biasa, dan karena itu semua mahasiswa pasti bisa menyelesaikannya. 

Banyak diantara kita yang sebenarnya punya kemampuan menulis yang baik. Trauma masa lalunya dan pelabelan oleh pembimbing dan gurunya akhirnya membebani dan menghalangi dia untuk menulis. “Ini tulisan apa ceramah, ini tesis atau berita koran” atau kalimat kalimat lain yang melabeli atau menegaskan bahwa sang mahasiswa kemampuan menulisnya jelek. Label ini melekat di alam bawah sadar dan membuat yang bersangkutan berpikir betul betul bodoh, tidak mampu menulis.

Kritik terhadap orang yang belum siap dapat berubah menjadi label, belenggu, atribut yang membuat menjadi kenyataan bagi yang bersangkutan. Soal dalam kasus matematika yang dipecahkan George sebenarnya sulit, dan menjadi lebih sulit ketika diberi label sulit, dan tidak mungkin untuk dipecahkan, apalagi hanya levelnya mahasiswa. Menjadi tidak mustahil, karena George menganggap soal yang cukup sulit tapi pasti bisa diselesaikan.

Dalam hal menulis misalnya, atribut atribut penghalang, yang membuat kita tidak langsung menulis, atau tidak mampu menulis terus menerus, adalah ilusi. Tidak berbakat, tidak bisa, enggan, malas, sulit, berat, tidak penting dan atribut negatif lainnya adalah ilusi. Enyahkan. 

Sangaji Ternate 

2 September 2020

#115


2 komentar: