Senin, 14 September 2020

Belajar Ikhlas

 

Oleh Syaifuddin



Dalam beberapa pekan bertubi tubi datang pelajaran. Pelajaran yang membuat saya menengok kembali. Hikmah hikmah apa dalam rentang panjang perjalanan sebagai manusia, yang setiap hari pasti membaca surat ini. Surat pendek dalam Alquran yang mengajarkan aqidah, theologi, keimanan, namun nama suratnya al-Ikhlas.

Bukan hal baru, tetapi pasti mengejutkan. Putusan yang menghawatirkan seperti vonis kanker, atau lebih mengagetkan dari kabar kematian. Langsung pikiran melayang pada kejadian kemarin, kemarinnya lagi dan yang sebelumnya. Merasa, tak henti dirundung malang. Biasanya hal seperti ini menurunkan semangat sejatuh jatuhnya.

Sejenak langsung teringat pengalaman sahabat tentang makna ikhlas, atau setidaknya rela secepatnya. Karena ikhlas membuat kita terbebas dari tersakiti. Penyangkalan, perlawanan, dongkol, jengkel, tidak menerima kenyataan membuat kita tersakiti dua kali, sudah kehilangan sesuatu dan akan ditambah beban.

Dia membagikan cerita, pada satu waktu bersama anaknya yang masih kecil datang ke sebuah mall. Karena sibuk mengerjakan sesuatu sambil jalan dia serahkan tas yang berisi uang ratusan juta. Ditengah keramaian tanpa sadar terpisah satu sama lain. Setelah ketemu kembali tas kulit yang dipegang anaknya sudah tidak ada. Dengan polos si kecil bercerita kalau tasnya dibawakan sama om.  Langsung pucat pasi. Rasanya semua jenis kekesalan, histeris dan tindakan pelampiasan akan segera dilakukan.

Sejenak menarik nafas, menenangkan diri sejenak, semua kalimat kekesalan dengan berbagai model dan ragam oktav ditariknya kembali. Tindakan untuk melepaskan kejengkelan dan penyesalan dimasukkan kembali. Apa manfaatnya menyesali yang sudah lepas dari genggaman, yang tidak mungkin dapat diraih kembali. Memarahi anaknya, apalagi sampai diluar kendali, hanya akan menyakiti jiwanya dan melukai hatinya sendiri.

Dia menasehati, berdasarkan pengalaman. Setiap kehilangan sudah ditakdirkan. Ketidakikhlasan tidak akan mengembalikan yang sudah tiada. Segeralah lupakan, anggap saja tidak pernah terjadi apa apa. Segera hapus rasa marah terhadap orang yang mengambil, terhadap anak yang menghilangkan, terhadap diri yang teledor. Kalau tiga hal itu masih diingat hanya akan mendatangkan penyesalan yang diikuti oleh rasa marah, meskipun tidak terlampiaskan, akan melukai ke dalam.

Nasihatnya itu yang mengambang kembali membuat saya harus memungut hikmah-hikmah yang terabai dalam perjalanan hidup saya. 

Secepatnya saya menghentikan perasaan kehilangan dan kalah. Saya rela dan memaafkan siapa yang khilaf atau berbuat salah. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhan. Bagi dia medan pertanggungjawaban, bagi saya pelajaran. Saya tidak ingin kalah dua kali. Kalah menerima hukuman dari apa yang seharusnya dapat saya pertanggungjawabkan, kalah berikutnya saya terpuruk, terbebani dan tidak produktif.

Pelajaran ini mendorong saya kembali mengingat tentang pelajaran lama yang juga sudah terabaikan ahir ahir ini. Menyandarkan segala sesuatu hanya kepada-Nya. Mengiringkan dalam setiap tindakan bersama-Nya. Mendapatkan dengan bahagia, kehilangan tak membuat sengsara. Ego milik tidak melekat pada sesuatu. Kita ditakdirkan sebagai perantara.

Teringat saya pada pimpinan Muhammadiyah yang terkenal sederhana, Pak AR. Fachruddin. Sepanjang masa pengabdiannya tidak pernah membawa amplop sampai ke rumah. Lebih sering menolak pemberian daripada menerimanya. Kalaupun terpaksa harus menerimanya, segera disalurkan ke orang lain yang lebih membutuhkan. Kepada para pelajar atau disumbangkan di jalan dakwah. Padahal Pak AR juga hidup sangat sederhana, sampai ahir masa pengabdiannya bahkan tak ada rumah. Sebagai pemimpin organisasi yang mempunyai aset besar, tidak sulit untuk mendapatkan fasilitas mobil, tetapi beliau lebih memilih menggunakan sepeda motor bebek lama. Suatu ketika ada anggota keluarga yang “mengeluh”, kok talang airnya tidak pernah basah?

Ada pelajaran tentang hidup sederhana, tetapi yang paling penting adalah keikhlasan dan menyertakan Tuhan dalam setiap tindakan, atau melangkah hanya karena-Nya.

Rasul penghulu para nabi, teladan kita, orang yang semestinya paling kita cintai, juga memberikan contoh yang demikian relasinya dengan harta benda. Nabi akan segera mendermakan hartanya kepada orang lain. Tidak pernah sepanjang hidup beliau ada emas yang tinggal di rumahnya melebihi waktu tiga hari.

Pelajaran pelajaran itu membuat pikiran saya lapang, jiwa saya bebas. Membuat saya tidak kehilangan kesempatan mensyukuri anugerahNya, yang jauh lebih besar daripada kehilangan-kehilangan kecil. Nikmat yang jauh lebih berharga, memberikan kesempatan menghidupkan ruhani yang tidak punya orientasi. Menyalakan kembali semangat untuk membuat hidup lebih berarti. Khairunnas ‘anfa’uhum linnas. Liyabluakum ayyukukum akhsanu ‘amala.

14 September 2020

#127


12 komentar:

  1. Melo nopo slendro niku seratan kulo pak Dr.?πŸ˜€

    BalasHapus
  2. Wah pak subag sudah sampai di dunia tulis menulis ini.πŸ‘πŸ˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. tulisannya dalam,,menyentuh..sukses slalu Pak Dr

      Hapus
    2. tulisannya dalam,,menyentuh..sukses slalu Pak Dr

      Hapus
  3. Terima lasih Pak Doktor tulisan ini benar2 inspiratif

    BalasHapus
  4. Penutupnya kurang: wabillahi Taufiq walhidayah warridho walinayah

    BalasHapus
  5. Sukses kembali Pak Syahrani. Sampai ekspedisi bukit lope lopeπŸ˜€πŸ‘Œ

    BalasHapus
  6. Nek diteruske Mas Aris, bisa nambah
    wallahul muwafiq ala aqwamit toriq
    Billahi taufiw was sa'adah
    Nashrun minallah wa fathun qarib...
    Macem2 versiπŸ˜πŸ‘Œ

    BalasHapus