Minggu, 06 September 2020

Menyusuri Teori Politik Dalam Muqaddimah

 

Oleh Syaifuddin



Mengurai karakteristik politik kesultanan Ternate dari masa ke masa, tidak terlepas dari kajian sejarah dan tentu dengan pendekatan yang lebih rumit juga filsafat sejarah. Sejak didirikan, kesultanan Ternate terbagi dalam dua kurun zaman yaitu : pertama  Zaman Momole atau zaman pra-Islam dan kedua Zaman Islam. Pada zaman Momole atau pra Islam, sulit mengurai secara lebih detail karena keterbatasan sumber informasi. Keterbatasan sumber tertulis maupun artefak yang mengisahkan tentang zaman tersebut. Bahwa sebelum Islam masuk di Ternate telah terdapat empat kelompok masyarakat yaitu Tubo, Tobona, Tabanga, dan Toboleu, yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole, dan sistem pemerintahannya masih bersifat sederhana. 

Sebutan Kolano kepada Sultan Ternate masih sering dilakukan setelah sistem kerajaan sudah beralih menjadi kesultanan, tapi sistem kesultanan dan sistem kerajaan di masa sebelumnya mempunyai sejumlah perbedaan. Maka pandangan Ibnu Khaldun dalam Muqaddiman cukup komprehensif dan relevan untuk mengurai karakteristik sistem politik dan tata negara yang dijalankan oleh kesultanan Ternate. 

Muqaddimah memuat berbagai teori sosial mulai dari asal muasal pembentukan negara atau pemerintahan, sosiologi masyarakat, berbagai bentuk pemerintahan (Khilafah, Imamah dan Sulthanah), siklus peradaban masyarakat dan bentuk bentuk kekuasaan. 

Untuk mengkaji dinamika tumbuh dan berkembangnya, naik turunnya kemajuan kesultanan Ternate maka diperlukan kerangka analisis yang lebih lengkap. Kerangka teori politik dan tata negara yang dirumuskan oleh Ibnu Khaldun semestinya diperkuat dengan berbagai teori politik dan tata negara yang berkembang di dalam kajian politik Islam dan kesultanan di Indonesia. Kerangka teori yang dibangun digunakan untuk menjelaskan dan menganalisa kemampuan Kesultanan Ternate dan Sultan Ternate dalam mempertahankan kedaulatannya di tengah berbagai tantangan perubahan. Yang paling penting memberi alat analisis yang memadahi ketanggapan sistem tata negara dan politik dalam menghadapi perubahan politik di Indonesia pada periode pasca reformasi.

Kedaulatan Kesultanan Ternate telah berhasil melakukan adaptasi pada lima tantangan perubahan yaitu masa konversi menuju sistem politik Islam, masa menghadapi pertikaian dengan negara negara Eropa ( Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda), masa dibawa fazal kerajaan Belanda, berada dalam pangkuan Republik Indonesia, dan masa reformasi dengan otonomi daerah. Grand Teori Politik Ibnu Khaldun digunakan untuk menjelaskan kesesuaian prinsip prinsip itu dengan dinamika politik dan tata negara yang terjadi di kesultanan Ternate.

Selain sembilan prinsip tata negara dan sistem politik yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun dan telah disampaikan dalam tulisan sebelumnya maka ada enam prinsip lainnya, yang dapat dijadikan kerangka teori untuk menganalisis sejarah politik kesultanan Ternate.

Prinsip kesepuluh : menjadi karakteristik inheren negara menjadi kontraproduktif setelah mencapai puncaknya. Kekuasaan didapatkan dengan penuh perjuangan, dengan peluh darah dan air mata. Kemenangan mengantarkan pada berdirinya suatu negara. Setelah tujuan tercapai, manusia cenderung abai.  Setelah lewat masa perjuangan dan menikmati hasil perjuangan, watak manusia cenderung ingin santai, menghabiskan waktu dengan bersenang senang, mengutamakan mencari hiburan, berujung pada sikap bermalas malasan. Masyarakat, terutama golongan elit politik kehilangan motivasi dan menjadi kontraproduktif.

Mereka mendirikan istana dan taman taman yang megah, menciptakan surga dunianya. Mulai berlebih lebihan dalam hal makanan, pembangunan fisik, pakaian dan mengagungkan kemewahan dunia lainnya. Motivasi berprestasi tidak dianggap penting lagi, berkebalikan dari masa masa perjuangan. Kebiasaan ini menjadi turun temurun sampai pada ahirnya dinasti dengan segala kemegahan runtuh karena keropos di dalam sistem ketatanegaraan. 

Prinsip kesebelas : sistem kenegaraan yang tidak produktif, pemusatan kekuasaan, boros menjadi indikasi menurunnya kualitas dinasti. Ketika keadilan dirasakan oleh semua komponen kenegaraan, tidak ada perbedaan perlakuan karena pemusatan kekuasaan, maka solidaritas dan saling bekerjasama masih berjalan baik. Tapi kalau kekuasaan sudah cenderung terpusat, sebagian besar merasa diperlakukan tidak adil, sehingga merenggankan hubungan antara pelaku pelaku politik. Ini sumber pertama keroposnya bangunan dinasti

Perilaku hidup mewah yang mewabah pada ahirnya menjadi budaya yang berlaku turun temurun. Kebiasaan yang mudah bergerak secara horizontal dalam budaya masyarakat. Ahirnya pengeluaran negara lebih besar daripada pemasukan. Tingkat konsumsi lebih tinggi dibandingkan tingkat produksi. Anggaran negara terkuras habis untuk pembiayaan tidak produktif. Kas negara semakin menipis dan tidak dapat membiayai pembangunan di berbagai bidang. Kekecewaan masyarakat akan memuncak menjadi potensi kelemaha kedua yang berpotensi menggerogoti struktur sosial masyarakat. 

Prinsip keduabelas : Siklus sebuah peradaban atau dinasti seperti siklus kehidupan manusia. Ibnu Khaldun membuat kesimpulan dari pengalaman hidup manusia yang paling lama hidupnya tidak lebih dari 120 tahun. Usia dinasti berdasarkan survai sejarah kebanyakan dinasti tidak lebih dari tiga generasi. Masing masing generasi berkuasa maksimal 40 tahun. Dia mendasarkan argumentasi pada ayat alqur’an : “Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ....”

Sampai dengan abad 13 umur dinasti jarang sekali yang mencapai tiga generasi. Generasi pertama bercirikan pengembara, mobile dan tangguh. Perebutan kekuasaan mempersyaratakan kekuatan, kecepatan dan ketepatan. Generasi ini menjadi cepat dan tangguh. Generasi kedua sudah mulai menetap. Kekuasaannya mulai stabil. Produktifitas masyarakatnya meningkat sehingga kemakmuran mulai mendatangi. Generasi kedua mulai meninggalkan budaya kasar dan kuat menuju generasi yang halus dan lembut. Semangat ekspansi telah menurun drastis, dan lahirlah generasi penikmat. Meskipun demikian generasi ini masih merasakan masa masa revolusi sehingga mempunyai sedikit semangat juang. Generasi ketiga tidak pernah sama sekali mengalami dan terpapar dengan kesulitan atau masa pencapaian puncak yang membutuhkan perjuangan. Mereka hanya tahu enaknya menikmati hasil pembangunan sehingga sama sekali tidak mempunyai etos kerja unggul. Generasi ketiga ini nantinya akan mengalam kekalahan dan diambil alih oleh dinasti lain untuk melanjutkan siklus peradaban baru. 

Prinsip ketigabelas : hubungan kemakmuran, kekuatan pemerintahan dan kehancuran. Pada awalnya kemakmuran merupakan situasi positif buat negara. Pasukan dan kelengkapan penopang kekuasaan, sistem tata negara, administrasi tata kelola pemerintahan, pemenuhan sumber daya manusia dapat dijamin semua kesejahteraannya. 

Prinsip keempatbelas : transformasi dari kekuasaan berdasarkan agama menuju kekuasaan sekuler. Ibnu Khaldun membuat dua bentuk pemerintahan yang sekuler dan pemerintahan yang berdasarkan agama. Kedua bentuk pemerintahan tidak ada salah selama dilakukan dengan cara yang baik. Bentuk kerajaan dinilainya sebagai bentuk pemerintahan dunia atau sekuler sedangkan khilafah adalah bentuk pemerintahan berdasarkan agama. Bani Abasiyah dinilai awalnya berbentuk khilafah tetapi pada ahir dinasti berbentuk khilafah tetapi berparaktik raja. Bergeser dari pemerintahan berdasarkan agama ke pemerintahan berdasarkan motif dunia atau sekuler. 

Prinsip ketigabelas : kezaliman membawa kehancuran pemerintahan. Pemerintah yang otoriter pada ahirnya akan melemahkan negara, karena partisipasi rakyat akan berangsur menghilang. Kezaliman akan menimbulkan antipati dan lemahnya solidaritas sosial. Keadaan ini akan mendorong dinasti menuju kehancuran.

Kajian sosiologi lebih spesifik kajian politik pemerintahan Islam diuntungkan dengan kajian yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun. Pengantarnya memberikan generalisir teori sosiologi yang tidak terkonsentrasi di bidang tertentu saja tetapi secara menyeluruh dalam lapangan sosial. Ilmuwan berikutnya dapat memilah sesuai dengan relevansinya pada subyek kajian, misalnya politik, hukum dan ekonomi. Muqaddimah menawarkan pendekatan yang berbeda dibandingkan kitab sejarah atau tarikh sebelum-sebelumnya.

Tak pelak para para ilmuwan sosial modern terperangah dengan pendekatan kajian Ibnu Khaldun yang sangat modern untuk ukuran abad 13, karena sampai masyarakat zaman ini teori-teori dan pendekatannya masih dipakai. Buku jilid satu ini seperti diniatkan untuk membuat teori teori umum di bidang sosial sehingga dapat membaca secara metodologis 6 jilid buku berikutnya dalam kitab al-Ibar. 

Ibnu khaldun secara totalitas mampu menulis karya ini, serius, detail dan ilmiah. Dalam versi modern kitab al-Ibar telah dicetak 2208 halaman dalam bahasa Arab. Mulai tahun 1697 karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa terutama di bagian jilid 1 Muqaddimah atau Prolegomena. Ilmuwan ini berkebangsaan sama dengan masyarakat Arab yang datang ke nusantara yaitu seorang Hadramy yang melintas ke semenanjung Iberia dan terdampar di Tunis akibat gejolak politik pada masa itu, dunia Islam mengalami kemunduran dan masyarakat Arab terdiaspora ke berbagai penjuru dunia.

Sangaji Ternate 

6 September 2020

#119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar