Oleh Syaifuddin
Zainal Abidin sepulang dari madrasah pusat penyebaran Islam di Jawa, Giri, membawa pulang oleh oleh peci atau kopiah. Pada abad 14 peci Giri sangat dihargai dan dianggap mempunyai tuah magis, ditukar dengan cengkih yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebelum kedatangan masyarakat Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris dan Eropa, harga cengkih di eropa ribuan kali lebih mahal dibandingkan harganya di kepulauan Maluku Kieraha.
Juni 1921 di Surabaya diselenggarakan rapat Jong Java. Pemuda paruh baya usia 20 an berdebat dalam dirinya sendiri sebelum masuk ke ruangan. Memakai peci atau tidak. Dia gelisah menatap kawan kawan seperjuangan yang minder menggunakan pakaian yang menjadi identitas bangsanya. Mereka lebih bangga berpakaian ala barat, tanpa tutup kepala. Kalau dia meyakini dirinya sebagai pemimpin berarti harus pakai peci, kalau tidak berarti dia hanya follower, pembebek, pecundang.
Setelah menarik nafas dalam dalam, dan meyakinkan dirinya, bahwa dia adalah pemimpin Soekarno masuk ke ruang pertemuan. Para delegasi pertemuan melihat dengan heran pada pemuda ini, tanpa berkata apapun. Mereka yang disebut kaum intelektual pada masa itu memandang rendah pakaian tradisional seperti sarung, blangkon dan peci.
Soekarno berpidato singkat mempertegas pilihan dan alasannya. “.... Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia....”, “ Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci sebagai lambang Indonesia Merdeka”.
Maka sejak itu si Bung Besar tidak pernah menanggalkan peci sebagai identitas nasionalisme pada saat tampil di depan publik. Termasuk pada saat pembacaan pledoi heroiknya di Pengadilan Landraad Bandung dalam “Indonesia Menggugat”. Bung Karno mengkombinasikan peci dengan jas dan dasi sebagai ciri khas penampilannya.
Sejak itu hingga tumbangnya orde lama, peci menjadi simbol identitas kebangsaan dan berpakaian kaum intelektual Indonesia dari semua agama dan golongan. Setelah berahirnya orde lama dan setelah revolusi kemerdekaan yang mempertahankan peci dalam kehidupan sehari hari hanya di kalangan santri dan tentara.
Sebelum Bung Karno sebenarnya tiga pejuang Republik sudah menggunakan fashion tertentu sebagai ciri khas. Ki Hajar Dewantara menggunakan topi fez Turki berwarna merah, Tjipto menggunakan kopiah dari beludru hitam dan Douwe Dekker tanpa penutup kepala. Bung Karno lebih tertarik mengikuti jejak gurunya Dr. Cipto menggunakan peci hitam.
Ada beragam pendapat tentang asal usul peci. Menurut Bung Karno peci yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia mirip dengan yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu. Peci dalam sebutan orang Melayu baik yang di Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia dengan sebutan songkok.
Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” menyebut bahwa yang memperkenalkan songkok adalah pedagang arab. Songkok untuk masyarakat biasa sedangkan serban atau turban dikenakan oleh para ulama’ atau cerdik pandai agama. Songkok sudah menjadi pemandangan umum sebagai tutup kepala pada kepulauan Malaya abad 13.
Tapi banyak yang sangsi dengan pendapat ini, sebab songkok tidak terlihat lagi diantara budaya masyarakat Arab, sementara yang seperti songkok tetap populer di negara lain, seperti fes di Turki, tarboosh di Mesir dan Peci di Indonesia, Roman Cap/Rumi Cap (Topi Romawi atau topi Rumi) di wilayah Asia Selatan, India, Pakistan dan Bangladesh. Di Istanbul, fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Dekat ya dengan penyebutan kata peci.
Bila pada abad 14 peci sudah dijadikan cinderamata oleh sultan Ternate untuk dibawa ke wilayah Maluku Kieraha, maka industri songkok ini tetap bertahan hingga saat ini. Bahan, warna dan model yang digunakan juga relatif sama dipakai selama lima abad di Nusantara. Pada tahun 80-an songkok yang paling mahal di daerah sentra industri sekitar Giri adalah Songkok Tjap Palu, dengan harga seribu rupiah. Sekarang industri songkok dirajai oleh merk Awing, masih sama di daerah Tlogoagung wilayah Giri Kedaton masa lampau. Harganya bervariasi mulai dari seratus ribu hingga jutaan rupiah. Kalau peci anti air itu biasa, sekarang suda ada peci ber AC dan anti lecek.
Bila di masyarakat umum peci hanya digunakan pada saat acara acara resmi dan kenegaraan, maka di pesantren peci menjadi identitas keagamaan sekaligus kebangsaan.
Sangaji Ternate
3 September 2020
#116
Di pesantren rata2 pecinya putih kyk haji
BalasHapusAnyar berarti pak Aris. Nek gontor ketu ireng, dudu kupluk kaji.😀
BalasHapus