Selasa, 08 September 2020

Guru Besar

 

Oleh Syaifuddin


Guru besar atau disingkat Prof., lain dulu lain sekarang. Lain di dalam negeri beda pula di luar negeri. Secara internasional gelar akademik dosen dimulai dari asistant professor, asociate professor dan professor, maka di Indonesia gelar akademik dimulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Di Malaysia guru besar adalah kepala sekolah kata Ipin dan Upin.

Bila di masa lalu gelar Prof., dibawa kemana mana meskipun sudah tidak lagi aktif menjadi dosen, secara sosial kadang masih di bawah sampai ke liang lahat, sekarang sudah berbeda. Karena Prof., terkait dengan tunjangan profesi dan tanggungjawab akademik, bisa dipakai hanya dalam dunia akademik dan syarat birokrasi akademik. Prof., bukanlah gelar seperti SE, MSc, Ph.D atau Dr. yang berhak disandang sesorang sebab telah menyelesaikan persyaratan untuk menyandang gelar gelar tersebut dan boleh dibawa ke mana mana termasuk dipakai berenang dan mancing.

Sekarang ini untuk mencapai besar prosesnya panjang berliku dan dengan syarat akademik yang ketat. Beruntung yang sudah mendapatkannya di masa masa lalu. Karena profesor dulu sulit diraih dan sekarang menjadi sangat sulit. Kesulitan yang wajar, namanya juga guru besar, maha guru, maka harus ‘sembodo’ dengan kebesarannya. Karena ada tanggungjawab intelektual dan keilmuan yang harus melalui berbagai medan ujian, sehingga layak menjadi ilmuwan.

Dosen negeri atau dosen ‘luar negeri’ untuk mencapai derajad sebagai guru besar, menggunakan mekanisme yang sama, syarat dan standar penilaian yang sama. Kepangkatan dimulai dari yang terendah harus diurus dengan menyusun borang dan portofolio kenaikan pangkat. Jika sepuluh tahun yang lalu borangnya berbentuk cetak, maka sekarang banyak menggunakan bukti secara digital. Pengelolaannya secara online datanya secara digital. Paperless, lebih hemat kertas, lebih ramah lingkungan, tetapi tingkat kerumitannya lebih meningkat.

Terasa berat terutama bagi yang tidak meningkatkan kemampuan teknologi informasi, tidak proporsional dalam kerja dan karya intelektual dosen di bidang pengajaran, riset dan pengabdian pada masyarakat. Delapan puluh persen bidang akademik dosen yang dinilai adalah pada penelitian dan publikasi ilmiah. Tantangan yang memberatkan tetapi rasional, karena kerja dosen itu kerja keilmuan yang harus terus diperbaharui dan dikembangkan. Menjadi beban berat kalau dosen tidak menyiapkan diri terampil menulis, dari karya ilmiah yang sederhana sampai dengan karya ilmiah yang kompleks.

Di sinilah letak pentingnya dosen harus membiasakan diri menulis. Menulis yang dilatih setiap hari. Membiasakan menulis dalam berbagai genre. Membiasakan menulis dengan lincah, mengalir, jelas dan ilmiah. Kebiasaan yang tidak dengan sendirinya terbentuk, meskipun sudah melewati enam jengang “S” : SD, SMP, SMA, S1, S2, S3. Maka tidak heran kalau perjalanan akademik dosen bermacam macam. Ada yang 40 tahun sudah guru besar, tetapi ada juga yang sampai pensiun tidak beranjak.

Meneliti yang baik dengan metodologi yang sesuai tanpa dibarengi dengan keterampilan menulis hasil penelitian, maka menghasilkan penelitian yang hambar dan terbatas. Data cukup, tetapi interpretasi kering. Sistematika sudah tepat tapi bangunan logika berpikir dari karya tidak jelas. Sebuah penelitian bisa menjadi berbagai outcomes/keluaran penelitian, kalau dosen cermat dan cerdas mengolah data dan mengolah kata. Hasil penelitian bisa bermuara ke buku referensi, buku ajar, jurnal nasional dan jurnal internasional, bergantung pada kepiawaian peneliti membuat perspektif dan tentu saja harus menyesuaikan dengan standar masing masing karya ilmiah, bukan karya yang sama dimasukkan ke tempat yang berbeda beda.

Dalam tiga tahun belakang muncul pro kontra terkait dengan scopus sebagai standar mutu jurnal internasional. Yang kontra sebenarnya lebih pada kesilafan melihat substansi dan tujuan dari penetapan standar mutu jurnal. Ada kesalahpahaman awal harus terindeks scopus dan lembaga pengindeks seperti scopus mengambil keuntungan dari situasi jurnal di dunia internasional.

Lembaga penilai kenaikan pangkat membuat pernyataan “artikel pada jurnal bereputasi”. Mengapa yang populer hanya scopus padahal ada lembaga pengindeks lain seperti Thomson Reuters dan Alsafire dan seterusnya. Persoalan informasi bias yang berkembang di sini.

Lembaga pengindeks hanya bekerja berdasarkan penampilan dan kinerja publikasi ilmiah dengan standar standar ilmiah yang baku dan terukur. Jadi tidak ada masalah dan kepentingan tertentu lembaga pengindeks. Keberadaan SINTA di kementerian pendidikan dan kebudayaan serta MORAREF di kementerian agama adalah usaha untuk mengelola dan menaikkan standar ilmiah jurnal jurnal nasional, sehingga menjadi jago global, bukan jago kandang. Dalam tiga tahun terahir jurnal jurnal yang dikelola oleh perguruan tinggi Islam mencapai kemajuan pesat dalam bidang publikasi ilmiah, selain 5 jurnal yang mencapai reputasi tertinggi di indeks scopus terutama di Q1, juga ratusan jurnal yang masuk kategori S2 (Sinta 2). Jauh dengan kondisi sebelumnya selama puluhan tahun sebelumnya hanya beberapa gelintir jurnal nasional dan internasional.

Sekali lagi indeks Scopus hanya salah satu instrumen untuk membuat standar mutu publikasi ilmiah yang lebih baik. Tentu saja ada kelemahan dalam sistem pengindeks lembaga ini, karena ada beberapa jurnal bereputasi bagus tidak terindeks oleh Scopus. Tetapi secara umum sistem pengindeks baik Scopus, Sinta atau Moraref adalah untuk menciptakan sistem pemantauan jurnal ilmiah supaya mutunya meningkat atau terstandar.

Bagi dosen yang betul betul menjadikan akademik dunia keilmuwanan sebagai jalan hidupnya pasti mempersiapkan kemampuan menulis. Tidak ada ceritanya guru besar tidak bisa menulis karya ilmiah dengan baik. Dalam sepuluh tahun terahir berkembang metode untuk mengenali kemiripan/similirity antara satu tulisan dengan tulisan lain. Bagi yang enggan menulis dan membiasakan menulis, besar kemungkinan akan terjebak dalam praktik menduplikasikan karya orang lain. 

Untuk menjadi guru besar karya karya yang dipublikasikan dalam publikasi ilmiah akan dicek tingkat kemiripannya dengan similirity check. Sekarang yang populer menggunakan aplikasi turnitin. Dengan turnitin akan diketahui berapa prosentase kemiripan tulisan dengan karya orang lain. Karya tulis yang murni pemikiran sendiri yang cara penulisan dengan menulis mengalir jauh lebih baik dibandingkan orang yang tidak pernah menulis tiba tiba membuat buku, selisihnya bisa mencapai 80%. Inilah salah satu usaha untuk meningkatkan bobot karya ilmiah guru besar dan originalitas karya ilmiahnya.

Dalam peraturan terbaru untuk menjadi guru besar supaya semakin berbobot diberikan syarat tambahan. Syarat tambahannya pernah meneliti menggunakan dana kompetisi, atau pernah terlibat dalam even internasional di luar negeri, atau menjadi promotor mahasiswa program doktor, atau mengajar mahasiswa program doktor, atau menjadi reviewer di beberapa jurnal internasional. Dengan syarat baru yang semakin lama semakin berat ternyata juga tidak menurunkan jumlah guru besar guru besar di usia muda. Apakah ini pertanda bahwa kualitas guru besar di Indonesia makin berkualitas? Mari kita nanti perkembangannya.

7 September 2020

#121

1 komentar: